Rabu, 14 Agustus 2019

Harta orang yang bertaubat dari riba atau pekerjaan haram, bagaimana dengan status harta yang telah diperolehnya?

Harta orang yang bertaubat dari riba atau pekerjaan haram, bagaimana dengan status harta yang telah diperolehnya?

Anda mau tahu jawabannya?

Simak ulasan Imam Ibnu Taimiyah berikut ini: "Demikian pula halnya dengan berbagai akad, dan kepemilikan harta yang dimiliki oleh orang yang tidak mengetahui keharamannya, dikarenakan ia bodoh yang beralasan (ditoleransi kebodohannya) atau karena tak'wil (kesalah pahaman), maka menurut salah satu pendapat ulama' sama halnya dengan harta dan akad yang dimiliki oleh orang kafir yang kemudian masuk Islam, bahkan lebih utama.

Dengan demikian bila ia melakukan suatu transaksi yang ia anggap halal karena suatu pemahaman, baik itu transaksi yang mengandung riba, atau perjudian, atau hasil penjualan khamer, atau pernikahan yang terlarang, atau lainnya, kemudian ia mengetahui kebenaran dan selanjutnya itu bertaubat, atau meminta keputusan hukum kepada kita, atau meminta fatwa kepada kita, maka ia dibiarkan (direstui) tetap memiliki apa yang telah ia dapatkan melalui berbagai transaksi ini, dan direstui pula pernikahan yang terlanjur terjadi tersebut, semisal (karena kebodohan) ia menikah tanpa wali, atau tanpa dihadiri oleh saksi, dikarenakan ia meyakini hal semacam itu boleh, atau ia menikahi wanita kelima pada masa iddah dari istrikeempat yang ia ceraikan, atau pernikahan yang diperselisihkan di kalangan ulama' atau lainnya, maka walaupun di kemudian hari terbukti untuknya bahwa pernikahannya itu salah, maka (karena sudah terlanjur) maka ia tetap dibiarkan melanjutkan pernikahannya tersebut (tidak harus mengulang)".

Selajutnya beliau memberi catatan: bahwa ketentuan di atas berlaku selama alasan haramnya transaksi atau pernikahan telah berlalu. Adapun bila alasannya masih tetap ada (eksis) semisal menikahi saudari kandungnya maka pernikahannya tetap harus dibatalkan, atau khamer yang ia perdagangkan masih tersisa, maka sisa khamer setelah ia bertaubat harus ia musnahkan, adapun hasil pedagangannya yang telah lalu, boleh tetap ia manfaatkan.

Beliau mendasarkan pendapatnya ini kepda sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِنَّ الْإِسْلَامَ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ وَإِنَّ الْهِجْرَةَ تَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهَا
Sesungguhnya Islam menutupi semua dosa yang dilakukan sebelumnya dan hijram juga menutupi dosa yang dilakukan sebelumnya (Ahmad dan lainnya)

Beliau menjelaskan metode pendalilan dari hadits ini, dengan menyatakan bahwa bila taubatnya orang kafir saja menghapuskan seluruh dosa yang dia lakukan semasa kufurnya, dan menjadikan seluruh harta yang ia dapat baik dari riba, jual beli haram atau lainnya dan pernikahan yang ia jalani menjadi halal, maka taubatnya seorang muslim lebih layak untuk menghapuskan dosa dosa yang ia lakukan sebelumnya, dan lebih layak untuk menjadikan halal harta yang ia dapat sebelum ia bertaubat.

Karena bila tidak demikian, sehingga siapa saja yang bertaubat harus melepaskan istri atau seluruh harta yang ia miliki, maka fatwa semacam ini akan menghalangi ummat Islam bertaubat, atau minimal menjadikan mereka harus tersiksa akibat taubatnya tersebut, atau memikul beban yang hampir hampir tidak akan kuasa ia pikul, padahal orang yang baru saja bertaubat masih lemah imannya dan sangat butuh kepada kasih sayang atau ta'lif qulub.

Lebih lengkapnya silahkan berwisata ke Majmu' Fatwa Ibnu Taimiyyah 22/10-38.

Semoga mencerahkan dan membangkit semangat
bertaubat.

Dr Arifin Badri MA rektor stdi imam Syafi'i jember