KESALAHAN SEBAGIAN DAI DALAM PERMASALAHAN KHILAF FIQH DAN DAKWAH
Segala puji hanya milik Allah-ta’ala-, sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam-, ahlul bait, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman. ‘Amma ba’du,
Setiap kali ada sebuah ceramah yang mengharamkan beberapa permasalahan fiqh dan dakwah kontemporer seperti: hukum pemilu dan mencoblos, hukum ormas dakwah, hukum donasi dakwah, shaf sholat yang renggang di masa pandemi, safari dakwah dengan membawa rombongan kru dan memasang tarif dakwah, selalu saja membahas hal tersebut dianggap tidak beradab dan toleran dalam perbedaan pendapat.
Bukannya menjawab permasalahan dengan tulisan atau ceramah ilmiyah, namun sering kali justru malah dibalas dengan ejekan, cemoohan dan sindiran. Kalau sekiranya perbedaan tersebut dibahas hujjah dengan hujjah, dalil dengan dalil tentu hal ini bermanfaat bagi para pelajar seperti kami. Akan tetapi ketika perbuatan yang biasa dilakukan sebagian dai dilarang dan disalahkan oleh sebagian dai lainnya, yang terucap justru kalimat:
“Jangan terlalu ekstrem!”
“Hargai pendapat yang berbeda!”
“Beradablah dalam ikhtilaf!”
“Ulama yang lebih kibar berfatwa membolehkan!”
Dari ucapan tersebut dan semisalnya, nampak beberapa kesalahan mereka dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah fiqh dan dakwah. Secara langsung maupun tidak langsung justru mereka yang tidak menghargai pendapat yang mengharamkan, atau ketika ada dua pendapat yang membolehkan dan mengharamkan, maka pihak yang mengharamkan atau yang tidak membolehkan, tidak boleh menjelaskan tentang keharamannya dengan alasan ada pendapat yang membolehkan. Jika kita menjelaskan keharamannya maka itu adalah sikap intoleran menurut mereka. Inilah yang tersirat dari ucapan, sikap, tulisan dan ceramah mereka menanggapi hal-hal di atas.
Berikut ini adalah beberapa point yang perlu diluruskan dari polemik perselisihan yang ada.
[1] SEORANG ALIM HARUS MENJELASKAN HUKUM SESUAI DENGAN KITABULLAH DAN SUNNAH NABINYA , TIDAK BOLEH BERPENDAPAT MENYALAHI KEDUANYA.
Ketika berfatwa, menjelaskan hukum atau menjawab pertanyaan, maka seorang alim harus menjelaskan sesuai dengan kebenaran, dalil, dan hujjah yang ia yakini. Tidak boleh ia berfatwa menyelisihinya atau menjawab sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu. Hal ini sangat jelas keharamannya, bahkan telah terjadi ijma tentang wajibnya menjelaskan kebenaran dan berfatwa sesuai dengan hujjah. Apabila ia berpendapat wajibnya sesuatu maka ia harus menjelaskan kewajibannya kepada yang bertanya. Apabila ia berpendapat haramnya sesuatu maka ia harus menjelaskan keharamannya.
Imam Asy-Syathibi -rahimahullah- berkata:
...وهذا مما لا خلاف بين المسلمين ممن يعتد به في الإجماع أنه لا يجوز ولا يسوغ ولا يحل لأحد أن يفتي في دين الله إلا بالحق الذي يعتقد أنه حق، رضي بذلك من رضيه، وسخطه من سخطه، وإنما المفتي مخبر عن الله تعالى في حكمه؛ فكيف يخبر عنه إلا بما يعتقد أنه حكم به وأوجبه، والله تعالى يقول لنبيه عليه الصلاة والسلام: { وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُم} ... الآية (المائدة: 49)
فكيف يجوز لهذا المفتي أن يفتي بما يشتهي، أو يفتي زيدا بما لا يفتي به عمرا لصداقة تكون بينهما أو غير ذلك من الأغراض؟ وإنما يجب للمفتي أن يعلم أن الله أمره أن يحكم بما أنزل الله من الحق، فيجتهد في طلبه، ونهاه أن يخالفه وينحرف عنه، وكيف له بالخلاص مع كونه من أهل العلم والاجتهاد إلا بتوفيق الله وعونه وعصمته؟!
“… Dan ini termasuk perkara yang tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin yang ijma’nya dianggap bahwa: tidak boleh dan tidak halal bagi seseorang berfatwa tentang agama Allah kecuali dengan kebenaran yang ia yakini bahwa hal itu adalah kebenaran. Dengan (sebab) itu dia diridhoi oleh orang yang meridhoinya atau dibenci oleh orang yang membencinya (dengan sebab menjelaskan kebenaran, pent.); karena seorang mufti mengabarkan hukum dari Allah -ta’ala-. Lalu bagaimana ia boleh mengabarkan suatu hukum kecuali ia meyakini bahwa Allah menghukumi dengannya dan mewajibkannya. Allah -ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُم
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” QS. Al-Maidah: 49
Bagaimana boleh bagi seorang mufti ia berfatwa sesuai dengan keinginannya? Atau ia berfatwa kepada Zaid bukan yang ia fatwakan kepada Amr karena persahabatan antar keduanya atau karena sebab lainnya? Sesungguhnya wajib bagi seorang mufti mengetahui bahwa: Allah -ta’ala- memerintahkannya untuk menghukumi dengan apa yang Allah turunkan berupa kebenaran dan dia berijtihad untuk mencarinya. Dan Allah melarang seorang mufti menyelisihi dan menyimpang dari (kebenaran). Bagaimana ia bisa selamat dari penyelewengan padahal ia adalah ahli ilmu dan ijtihad? yaitu dengan taufiq dari Allah, pertolongan dan penjagaan dari-Nya”
[Al-Muwafaqat (V/91) cet. Dar Ibnu ‘Affan, tahqiq: Syaikh Masyhur Hasan Salman]
[2] SEORANG ALIM HARUS MEMBERIKAN NASIHAT DAN MELAKUKAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR. TERMASUK NASIHAT ADALAH MENJELASKAN KEPADA DAI’ HAL YANG DIPERSELISIHKAN DAN MEREKA JATUH KEDALAMNYA.
Sudah diketahui dalam agama islam bahwa nasihat merupakan kewajiban setiap muslim, dan amar makruf nahi mungkar termasuk salah satu bentuk nasihat. Dalam masalah perselisihan, ketika seorang alim mengemukakan dalil dan hujjah atas pendapatnya, pada hakikatnya hal ini juga merupakan nasehat kepada alim lainnya yang pendapatnya bersebrangan agar semua perselisihan dikembalikan kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Berkata Syaikh Fauzan -hafidzahullah-: “Tidak boleh bagi umat Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- mereka berpecah belah dalam aqidahnya, dalam ibadahnya, dan dalam hukum agamanya, yang ini mengatakan ‘halal’ dan yang ini mengatakan ‘haram’ tanpa dalil, hal ini tidak diperbolehkan.
Tidak diragukan bahwa berselisih merupakan tabiat dasar manusia sebagaimana firman Allah -ta’ala-:
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ اِلَّا مَنْ رَّحِمَ رَبُّكَ ۗ
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” QS. Hud: 118-119
Akan tetapi ikhtilaf bisa dikurangi dengan kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Apabila saya dan anda berselisih maka wajib bagi kita untuk kembali kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Allah -ta’ala-berfirman:
فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” QS. An-Nisa: 59
Adapun apa yang dikatakan: ‘setiap orang tetap pada madzhabnya’, ‘setiap orang tetap pada aqidahnya’, ‘manusia merdeka dengan pendapatnya’ dan mereka meminta agar merdeka dalam beraqidah dan merdeka dalam berkata dan berpendapat, ini adalah kebatilan yang dilarang Allah. Allah -ta’ala- berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,” QS. Ali Imran: 103
Wajib bagi kita bersatu menghadapi perselisihan kita di atas kitabullah, termasuk dalam permasalahan fiqh. Apabila kita berselisih, kembalikanlah kepada dalil! siapa saja yang (pendapatnya) disaksikan dalil maka kita bersamanya. Dan siapa saja yang disalahkan dalil sesungguhnya kita tidak mengambil pendapat yang jelas-jelas salah.” [Syarah al-Ushul As-Sittah, hal 17-18 cet: Dar Umar bin Khattab]
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- membawakan atsar dari Ibnu Abbas -radhiyallah ‘anhu-:
يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء، أقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، وتقولون: قال أبو بكر وعمر؟
“Hampir saja kalian dihujani batu dari langit, aku berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, sedangkan kalian berkata: “Telah berkata Abu bakar dan Umar?”
Syaikh Abdurahman bin Hasan-rahimahullah- berkata:
وفي كلام ابن عباس رضي الله عنهما ما يدل على أن من يبلغه الدليل فلم يأخذ به- تقليدا لإمامه- فإنه يجب الإنكار عليه بالتغليظ لمخالفته الدليل.
“Dalam perkataan Ibnu Abbas -radhiyallah ‘anhu- ada faedah yang menunjukkan bahwa siapa saja yang telah sampai dalil kepadanya dan tidak menerimanya karena taklid kepada imamnya MAKA WAJIB DIINGKARI DENGAN KERAS karena menyelisihi dalil.”
[Fathul majid (hlm. 453) tahqiq Dr. Al-Walid alu Furoyyan]
[3] SEORANG ALIM BOLEH MENGINGKARI ALIM LAINNYA DALAM PERMASALAHAN YANG DIPERSELISIHKAN.
Ketika menjelaskan haramnya sesuatu yang diperselisihkan maka sering kita mendengar kaidah: “tidak ada pengingkaran dalam masalah khilaf” atau “tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihad”. Perlu diketahui bahwa kaidah ini tidak disepakati oleh para ulama. Kalaupun kaidah ini diamalkan, tidaklah diamalkan secara muthlak; karena jika diamalkan secara muthlak maka: banyak sekali syariat di dalam islam yang dibatalkan, seperti: wajibnya amar makruf nahi munkar, wajibnya memberikan nasehat, wajibnya menyampaikan ilmu dan al-haq, dan yang lainnya.
Berkata Sohibul Azhar -rahimahullah-: “Tidak boleh keras dalam mengingkari kemungkaran apabila cukup dengan berlemah lembut dan tidak mengingkari perkara yang diperselisihkan ketika dia berpegang kepada madzhabnya”
Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata mengomentari perkataan ini:
هذه المقالة قد صارت أعظم ذريعة إلى سد باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وهما بالمثابة التي عرفناك والمنزلة التي بيناها لك وقد وجب بإيجاب الله عزوجل وبإيجاب رسوله صلى الله عليه وسلم على هذه الأمة.
الأمر بما هو معروف من معروفات الشرع والنهي عما هو منكر من منكراته ومعيار ذلك الكتاب والسنة فعلى كل مسلم أن يأمر بما وجده فيهما أو في أحدهما معروفا وينهي عما هو فيهما أو في أحدهما منكرا.
وإن قال قائل من أهل العلم بما يخالف ذلك فقوله منكر يجب إنكاره عليه أولاثم على العامل به ثانيا وهذه الشريعة الشريفة التي أمرنا بالأمر بمعروفها والنهي عن منكرها هي هذه الموجودة في الكتاب والسنة.
وأما ما حدث من المذاهب فليست بشرائع مستجدة ولا هي شرائع ناسخة لما جاء به خاتم النبيين صلى الله عليه وسلم وإنما هي بدع ابتدعت وحوادل في الإسلام حدثت فما كان فيها موافقا للشرع الثابت في الكتاب والسنة فقد سبق إليه الكتاب والسنة وما كان منها مخالفا للكتاب والسنة فهو رد على قائله مضروب به في وجهه كما جاءت بذلك الأدلة الصحيحة التي منها: "كل أمر ليس عليه أمرنا فهو رد"
فالواجب على من علم بهذه الشريعة ولديه حقيقة من معروفها ومنكرها أن يأمر بما علمه معروفا وينهى عما علمه منكرا فالحق لا يتغير حكمه ولا يسقط وجوب العمل به والأمر بفعله والإنكار على من خالفه بمجرد قول قائل أو اجتهاد مجتهد أو ابتداع مبتدع.
“Perkataan ini menjadi sarana terbesar untuk menghalangi pintu amar makruf nahi munkar, dan keduanya (amar makruf nahi munkar) memiliki keutamaan dan kedudukan yang sudah kami jelaskan serta telah diwajibkan dengan pewajiban dari Allah –‘azza wajalla- dan Rasulnya -shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap umat ini .
Memerintahkan kepada yang makruf berupa hal-hal yang makruf dari syari’at, dan melarang dari kemungkaran berupa hal-hal munkar dari syariat yang timbangannya adalah Al-Kitab dan As-Sunnah. Maka wajib bagi setiap muslim untuk memerintahkan apa yang terdapat pada keduanya atau pada salah satunya dalam hal yang makruf, dan melarang apa yang terdapat pada keduanya atau salah satunya dalam hal yang munkar.
Apabila ada orang yang berkata dari ahli ilmu yang menyelisihi hal ini, maka: perkataanya adalah kemungkaran yang wajib diingkari terlebih dahulu, kemudian diingkari pelakunya setelah itu. Dan syariat yang mulia ini yang memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang mungkar adalah syariat yang ada pada Al-Kitab dan As-Sunnah.
Adapun aturan-aturan yang ada dari madzhab-madzhab maka bukanlah syariat yang diperbaharui dan bukan juga syariat yang menghapus syariat yang dibawa oleh penutup para Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Sesungguhnya ia adalah bid’ah yang dibuat-buat dan hal-hal baru yang diada-adakan dalam Islam. Apa yang ada pada madzhab yang sesuai dengan syariat yang ditetapkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah maka sudah didahului di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan apa yang ada padanya (madzhab-madzhab) yang menyelisihi Kitab dan Sunnah maka tertolak kepada orang yang mengucapkannya dan terpukul wajahnya dengannya, sebagaimana telah datang dari dalil-dalil yang shahih di antaranya: “Setiap perkara yang tidak ada perintah kami terhadapnya maka ia tertolak.”
Maka wajib bagi setiap orang yang mengetahui tentang syariat ini, dan ia mengetahui hal yang makruf dan hal yang munkar secara hakiki untuk memerintahkan kepada yang makruf sesuai ilmunya dan mencegah dari hal yang munkar sepengetahuannya. Kebenaran tidak akan berubah hukumnya, tidak gugur kewajiban untuk mengamalkannya, perintah untuk melaksanakannya dan mengingkari orang yang menyelisihinya, dengan sebatas pendapat seseorang (ulama), atau ijtihad seorang mujtahid atau bid’ahnya seorang mubtadi’.”
[As-Sail Al-Jarrar, Imam Asy-Syaukani (IV/559-560) cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Tahqiq: Muhammad Ibrahim Zayed]
Imam Ibnu Qayyim -rahimahullah- juga menjelaskan bahwa kaidah ‘tidak ada pengingkaran terhadap masalah khilaf’ tidaklah benar. Ia berkata:
وقولهم: "إن مسائل الخلاف لا إنكار فيها" ليس بصحيح؛ فإن الإنكار إما أن يتوجه إلى القول والفتوى أو العمل.
أما الأول فإذا كان القولُ يخالف سنةًأو إجماعًا شائعًا وجب إنكاره اتفاقًا، وإن لم يكن كذلك فإنَّ بيان ضعفه ومخالفته للدليل إنكار مثله، وأما العمل فإذا كان على خلاف سنة أو إجماع وجب إنكاره بحسب درجات الإنكار، وكيف يقولُ فقيهٌ: لا إنكار في المسائل المختلف فيها، والفقهاءُ من سائر الطوائف قد صرَّحوا بنقضِ حكم الحاكم إذا خالف كتابًا أو سنةً وإن كان قد وافق فيه بعض العلماء؟ وأما إذا لم يكن في المسألة سنةٌ ولا إجماعٌ وللاجتهاد فيها مَسَاغٌ لم يُنكر على مَنْ عمل بها مجتهدًا أو مقلدًا.
“Dan perkataan mereka: ‘Sesungguhnya permasalahan khilaf tidak ada pengingkaran terhadapnya’ tidaklah benar. Karena sesungguhnya pengingkaran bisa jadi ditujukan kepada perkataan, fatwa, atau perbuatan.
Adapun yang pertama (perkataan), apabila perkataan tersebut menyelisihi sunnah, atau ijma’ yang tersebar maka wajib diingkari berdasarkan kesepakatan para ulama, dan apabila tidak seperti itu maka sesungguhnya penjelasan terhadap kelemahan (pendapatnya) dan (bahwa pendapatnya) menyelisihi dalil, maka harus diingkari sama seperti sebelumnya.
Adapun (pengingkaran terhadap) perbuatan, apabila ia menyelisihi sunnah, atau ijma’, maka wajib diingkari sesuai dengan derajatnya. Dan bagaimana bisa seorang faqih mengatakan: ‘Tidak ada pengingkaran dalam masalah yang diperselisihkan?? padahal para fuqoha dari seluruh kelompok telah menyatakan dengan tegas untuk membatalkan hukum dari hakim apabila menyelisihi Kitab dan Sunnah walaupun hukumnya sesuai dengan pendapat sebagian ulama??
Adapun ketika dalam permasalahan tidak ada sunnah, ataupun ijma’ dan ijtihad diperbolehkan di dalamnya maka (permasalahan ini) tidak diingkari bagi yang mengamalkannya baik dia mujtahid maupun dia muqallid.
[I’lamul Muwaqqi’in, (V/242-243), cet. Dar Ibnu ‘Affan, tahqiq: Syaikh Masyhur Hasan Salman]
JIKA MEREKA BERKATA: “Yang boleh diingkari hanya masalah ushul bukan masalah furu”
KITA KATAKAN: “Para salaf terdahulu mereka biasa mengingkari perkara-perkara furu’ bukan hanya masalah ushul. Diantaranya:
• Syaibah bin Utsman Al-‘Abdari mengingkari Umar bin Khottab -radhiyallah ‘anhu- yang ingin membagikan emas dan perak perbendaharaan ka’bah dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan Abu Bakar Ash-Shiddiq-radhiyallah ‘anhu-.
عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: جَلَسْتُ إِلَى شَيْبَةَ فِي هَذَا المَسْجِدِ، قَالَ: جَلَسَ إِلَيَّ عُمَرُ فِي مَجْلِسِكَ هَذَا، فَقَالَ: «لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ لاَ أَدَعَ فِيهَا صَفْرَاءَ وَلاَ بَيْضَاءَ إِلَّا قَسَمْتُهَا بَيْنَ المُسْلِمِينَ»، قُلْتُ: مَا أَنْتَ بِفَاعِلٍ، قَالَ: «لِمَ؟»، قُلْتُ: لَمْ يَفْعَلْهُ صَاحِبَاكَ، قَالَ: «هُمَا المَرْءَانِ يُقْتَدَى بِهِمَا»
Dari Abu Wail ia berkata: “aku duduk menghampiri Syaibah di masjid ini kemudian ia berkata: “Umar duduk mengampiriku di masjid ini, sebagaimana dirimu menghampiriku, kemudian ia berkata: “Aku berkeinginan untuk tidak meninggalkan emas dan perak kecuali aku bagikan kepada kaum muslimin.” Aku berkata: “Engkau tidak akan melakukannya!” Ia berkata: “Kenapa?” Aku berkata: “Tidak dilakukan oleh kedua sahabatmu” Ia berkata: “Kedua orang itu patut untuk dicontoh” HR. Bukhori (7275)
• Abdullah bin Umar -radhiyallah ‘anhu-yang mengingkari ayahnya Umar bin Khattab-radhiyallah ‘anhu-, ketika melarang haji tamatu’.
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللهِ، حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلاً مِنْ أَهْلِ الشَّامِ، وَهُوَ يَسْأَلُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ عَنِ ال تَّمَتُّعِ بِالعُمْرَةِ إِلَى الحَجِّ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: هِيَ حَلاَلٌ، فَقَالَ الشَّامِيُّ: إِنَّ أَبَاكَ قَدْ نَهَى عَنْهَا، فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ أَبِي نَهَى عَنْهَا وَصَنَعَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَأَمْرَ أَبِي نَتَّبِعُ؟ أَمْ أَمْرَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟، فَقَالَ الرَّجُلُ: بَلْ أَمْرَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَقَدْ صَنَعَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dari Ibnu Syihab sesungguhnya Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan kepadanya: “Bahwasanya ada seorang lelaki dari syam bertanya kepada Abdullah bin Umar -radhiyallah ‘anhu- tentang haji tamatu’, kemudian Abdullah bin Umar -radhiyallah ‘anhu- berkata: “Ia (tamatu’) hukumnya boleh. Berkatalah orang Syam tersebut: “Sesungguhnya bapakmu melarang hal itu” Ibnu Umar -radhiyallah ‘anhu- berkata: “Bagaimana pendapatmu jika bapakku melarangnya dan Rasululullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melakukannya, apakah perintah bapakku yang engkau ikuti? Atau perintah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-? Berkata lelaki tersebut: “Bahkan perintah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- harus ditaati.” Ibnu Umar -radhiyallah ‘anhu- berkata: “Hal itu telah dilakukan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. HR. At-Tirmidzi (824)
• Salim bin Abdullah bin Umar mengingkari kakeknya Umar bin Khattab -radhiyallah ‘anhum- ketika ia mengharamkan memakai minyak wangi setelah melempar jumroh sebelum thawaf ifadhoh.
عن سَالم بنِ عَبْدِ اللَّهِ: أنَّ عُمَرَ بْنَ الخطابِ نَهَى عَن الطِّيبِ قبلَ زِيارَةِ البَيْتِ وبعد رَمْيَ الجَمْرَةِ قال سَالمٌ: فقالت عائشةُ طَيَّبتُ رسُولَ اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم بيَدَيَ لإحرامِهِ قبل أنْ يُحْرِمَ وَلِحِلّهِ قبل أنْ يطُوفَ بالبَيْتِ وسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أحَقُّ.
Dari Salim bin Abdullah sesungguhnya Umar bin Khattab -radhiyallah ‘anhu- melarang memakai minyak wangi sebelum thawaf di Baitullah dan setelah melempar jumroh. Berkata Salim: “Aisyah -radhiyallah ‘anha-berkata: “Aku memakaikan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- minyak wangi dengan kedua tanganku untuk ihramnya sebelum beliau ihram, dan setelah halalnya sebelum thawaf di baitullah. Dan sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lebih berhak untuk diikuti. HR. Asy-Syafi’i dalam Tartib Musnad Asy Syafi’i, Tartib As-sindi (no. 780), Kitabul Hajj
• Ibnu Abbas -radhiyallah ‘anhu- mengingkari Ali bin Abi Tholib -radhiyallah ‘anhu- ketika membakar orang yang murtad.
عَنْ عِكْرِمَةَ، قَالَ: أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ، فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ، لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ» وَلَقَتَلْتُهُمْ، لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ»
Dari Ikrimah ia berkata: “Didatangkan kepada Ali -radhiyallah ‘anhu- kaum zindiq kemudia ia membakar mereka, maka sampailah hal itu kepada Ibnu Abbas -radhiyallah ‘anhu- kemudia ia berkata: “Kalaulah aku, tentu aku tidak akan membakar mereka, karena larangan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Janganlah kalian mengadzab dengan adzab Allah” dan tentu aku akan membunuh mereka berdasarkan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- “Barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia” H.R. Bukhori (6922)
• Ibnu Abbas mengingkari Mu’awiyah -radhiyallah ‘anhum- ketika menyalami dua rukun Syam pada thawafnya.
عن مجاهد عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه طاف مع معاوية رضي الله عنه بالبيت، فجعل معاوية يستلم الأركان كلها فقال له ابن عباس لم تستلم هذين الركنين ولم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم يستلمهما؟ فقال معاوية ليس شيء من البيت مهجورا فقال ابن عباس لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة فقال معاوية صدقت
Dari Mujahid dari Ibnu Abbas -radhiyallah ‘anhu- sesungguhnya ia thawaf bersama Mu’awiyah -radhiyallah ‘anhu- di baitullah. Mulailah Mu’awiyah menyalami semua rukun yang ada. Berkata Ibnu Abbas kepadanya: “Kenapa kamu menyalami dua rukun ini (rukun Syam) yang tidak disalami oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-? Muawiyah berkata: “Tidak ada satupun dari Baitullah yang ditinggalkan.” Ibnu Abbas berkata: “Sungguh ada dalam diri rasulullah suri tauladan yang baik bagi kalian” Muawiyah menjawab: “kamu benar.”
(lihat Fathur Robbani, kitabul hajj wal umroh, (no.245))
• Ibnu Umar -radhiyallah ‘anhu- mengingkari Ibnu Abbas -radhiyallah ‘anhum- ketika ia melarang orang yang berhaji melakukan thawaf qudum sebelum wukuf di Arofah.
عَنْ وَبَرَةَ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: أَيَصْلُحُ لِي أَنْ أَطُوفَ بِالْبَيْتِ قَبْلَ أَنْ آتِيَ الْمَوْقِفَ، فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ: فَإِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: لَا تَطُفْ بِالْبَيْتِ حَتَّى تَأْتِيَ الْمَوْقِفَ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: «فَقَدْ حَجَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَافَ بِالْبَيْتِ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ الْمَوْقِفَ» فَبِقَوْلِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَقُّ أَنْ تَأْخُذَ، أَوْ بِقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا
Dari Wabaroh ia berkata: “Aku duduk di sisi Ibnu Umar, maka datanglah seorang lelaki seraya berkata: “Apakah boleh bagiku untuk thawaf di baitullah sebelum aku mendatangi tempat wukuf?” Ibnu Umar -radhiyallah ‘anhu- menjawab: “Boleh.” Lelaki itu berkata: “Sesungguhnya Ibnu Abbas -radhiyallah ‘anhu- mengatakan: “Janganlah engkau Thawaf di baitullah sampai engkau mendatangi tempat wukuf!” Ibnu Umar menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- berhaji, kemudian ia thawaf di baitullah sebelum mendatangi tempat wukuf, Perkataan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lebih berhak untuk engkau ambil atau perkataan Ibnu Abbas kalau engkau jujur??. HR. Muslim (187-1233)
[masih banyak contoh pengingkaran salaf kepada sebagian lainnya dalam permasalahan fiqh, bagi yang ingin mendapatkan contoh lebih banyak lihat kitab Hukmul Inkar fii Masailil Khilaf, Dr. Fadhl Ilahi Dzohiir, Hal 22]
JIKA MEREKA BERKATA: “Mengingkari pendapat ulama merupakan perbuatan tidak beradab kepada ulama tersebut”
KITA KATAKAN: “Mengingkari mereka bukanlah bentuk merendahkan mereka, justru mengingkari mereka adalah bentuk kecintaan kepada Alhaq, dan kecintaan terhadap mereka, bukan untuk menjatuhkan dan merusak martabat mereka.”
Diriwayatkan dari Imam Ibnul Mubarok –rahimahullah- sesungguhnya dia berkata:
كنا في الكوفة فناظروني في ذلك -يعني: في النبيذ المختلف فيه-، فقلت لهم: "تعالوا فليحتج المحتج منكم عمن شاء من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم بالرخصة، فإن لم نبين الرد عليه عن ذلك الرجل بشدة صحت عنه فاحتجوا."
فما جاءوا عن واحد برخصة إلا جئناهم بشدة، فلما لم يبق في يد أحد منهم إلا عبد الله بن مسعود، وليس احتجاجهم عنه في رخصة النبيذ بشيء يصح عنه. قال ابن المبارك: "فقلت للمحتج عنه في الرخصة: "يا أحمق! عد أن ابن مسعود لو كان ههنا جالسا فقال: هو لك حلال، وما وصفنا عن النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه في الشدة، كان ينبغي لك أن تحذر أو تحير أو تخشى."
فقال قائلهم: يا أبا عبد الرحمن! فالنخعي والشعبي وسمى عدة معهما كانوا يشربون الحرام؟ فقلت لهم: دعوا عند الاحتجاج تسمية الرجال؛ فرب رجل في الإسلام مناقبه كذا وكذا وعسى أن يكون منه زلة، أفلأحد أن يحتج بها؟
فإن أبيتم؛ فما قولكم في عطاء وطاوس وجابر بن زيد وسعيد بن جبير وعكرمة؟ قالوا: كانوا خيارا. قال: فقلت: فما قولكم في الدرهم بالدرهمين يدا بيد؟ فقالوا: حرام. فقال ابن المبارك: إن هؤلاء رأوه حلالا فماتوا وهم يأكلون الحرام؟؟ فبقوا وانقطعت حجتهم". هذا ما حكي.
والحق ما قال ابن المبارك، فإن الله تعالى يقول: { فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ } الآية النساء: 59 .
فإذا كان بينا ظاهرا أن قول القائل مخالف للقرآن أو للسنة، لم يصح الاعتداد به ولا البناء عليه.
“Kami berada di Kufah, kemudian mereka (ahli Kufah) mendebat saya dalam permasalahan ini (yaitu permasalahan nabidz yang diperselisihkan para ulama keharamannya)
Maka aku berkata kepada mereka : “Kemarilah! berhujjahlah di antara kalian dengan siapa saja dari para sahabat Nabi –shallallahu alaihi wa salam- yang menganggapnya rukhshoh (dibolehkan)! Apabila kami tidak membantahnya dengan membawakan riwayat yang sah dari sahabat itu juga berupa syidah (larangan terhadap nabidz) maka berhujjahlah kalian dengan pendapatnya!”
Maka tidaklah mereka mendatangkan satupun riwayat dari seorang sahabat yang berpendapat rukhshoh (membolehkan), kecuali kami mendatangkan riwayat lain yang menerangkan pendapatnya yang syiddah (melarang).
Maka ketika tidak tersisa lagi argumentasi di tangan mereka kecuali pendapat Abdullah bin Mas’ud -radhiyallah ‘anhu- (padahal argumentasi mereka dengan pendapat Abdullah bin Mas’ud tentang bolehnya nabidz tidak ada yang sahih darinya) berkatalah Abdullah bin Al-Mubarok -rahimahullah-: “Aku berkata kepada orang yang berhujah dengannya tentang rukhshohnya nabidz: “Wahai bodoh! Anggap bahwa Abdullah bin Mas’ud -radhiyallah ‘anhu- duduk di sini dan dia berkata: “Bagimu nabidz itu halal”, kemudian yang kami datangkan adalah dari Nabi –shallallahu alaihi wa salam- dan dari para sahabatnya yang melarangnya dengan keras. Harusnya kalian berhati-hati, atau bingung (dengan pendapat Abdullah bin Mas’ud yang membolehkan), atau kalian takut! (ketika berpendapat menyelisihi Hadits dan Jumhur Sahabat. Pent.)
Maka berkatalah salah seorang dari mereka : “Wahai Abu Abdirahman! Imam An-Nakhoi’ dan Imam Asy-Sya’bi (dan dia menyebut beberapa ulama lagi yang membolehkan nabidz) apakah mereka meminum yang haram?!”
Aku berkata : “Tinggalkanlah ketika berhujjah menyebutkan nama-nama orang !! karena betapa banyak orang yang ia memiliki kedudukan tinggi di dalam Islam akan tetapi bisa jadi dia memiliki ketergelinciran. Apakah boleh bagi seseorang berdalil dengan ketergelincirannya?!
Kalau kalian masih enggan (menerima), bagaimana pendapat kalian tentang Imam ‘Atho, Imam Thowus, Imam Jabir bin Zaid, Imam Said bin Jubair serta Imam Ikrimah?”
Mereka berkata : “Mereka adalah orang-orang baik”
Aku berkata : “Apa pendapat kalian apabila satu dirham ditukar dengan dua dirham secara tunai?
Mereka berkata : “Haram”
Maka berkatalah Imam Ibnul Mubarok -rahimahullah- : “Sesungguhnya mereka berpendapat halal. Kemudian mereka telah meninggal, apakah mereka telah memakan harta yang haram juga?”
Maka mereka terdiam dan terbantahkanlah hujah mereka.
Berkata imam Asy-Syatibi setelah membawakan kisah ini:
“Dan yang haq adalah apa yang dikatakan Imam Ibnul Mubarok; karena Allah -ta’ala- berfirman:
فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ
“Apabila kalian berselisih dalam sesuatu hal maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” QS. An-Nisa: 59
Apabila telah jelas dan terang bahwa pendapat seseorang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah; tidak boleh menganggap pendapatnya dan membangun hukum di atasnya.
[Al-Muwafaqat, (V/137-138)]
[4] SEORANG ALIM TIDAK BOLEH MENJADIKAN PERSELISIHAN ALASAN DIBOLEHKANNYA SESUATU HAL.
Realita yang kita temukan pada hari ini adalah ketika kita menjelaskan haramnya sesuatu, mereka akan mengingkarinya dengan mengatakan bahwa perkara ini diperselisihkan, tidak disepakati keharamannya. Maka secara tidak langsung mereka berdalil dan berhujjah bahwa perselisihan ulama adalah dalil bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini telah dibantah oleh para ulama. Imam Syatibi -rahimahullah- berkata:
فصل: وقد زاد هذا الأمر على قدر الكفاية؛ حتى صار الخلاف في المسائل معدودا في حجج الإباحة، ووقع فيما تقدم وتأخر من الزمان الاعتماد في جواز الفعل على كونه مختلفا فيه بين أهل العلم، لا بمعنى مراعاة الخلاف؛ فإن له نظرا آخر، بل في غير ذلك. فربما وقع الإفتاء في المسألة بالمنع؛ فيقال: لم تمنع والمسألة مختلف فيها، فيجعل الخلاف حجة في الجواز لمجرد كونها مختلفا فيها، لا لدليل يدل على صحة مذهب الجواز، ولا لتقليد من هو أولى بالتقليد من القائل بالمنع، وهو عين الخطأ على الشريعة حيث جعل ما ليس بمعتمد متعمدا وما ليس بحجة حجة.
حكى الخطابي في مسألة البتع المذكور في الحديث عن بعض الناس؛ أنه قال: "إن الناس لما اختلفوا في الأشربة، وأجمعوا على تحريم خمر العنب، واختلفوا فيما سواه؛ حرمنا ما اجتمعوا على تحريمه وأبحنا ما سواه".
قال: "وهذا خطأ فاحش، وقد أمر الله تعالى المتنازعين أن يردوا ما تنازعوا فيه إلى الله والرسول".
قال: "ولو لزم ما ذهب إليه هذا القائل للزم مثله في الربا والصرف ونكاح المتعة؛ لأن الأمة قد اختلف فيها".
قال: "وليس الاختلاف حجة وبيان السنة حجة على المختلفين من الأولين والآخرين} . هذا مختصر ما قال.
والقائل بهذا راجع إلى أن يتبع ما يشتهيه، ويجعل القول الموافق حجة له ويدرأ بها عن نفسه، فهو قد أخذ القول وسيلة إلى اتباع هواه، لا وسيلة إلى تقواه، وذلك أبعد له من أن يكون ممتثلا لأمر الشارع، وأقرب إلى أن يكون ممن اتخذ إلهه هواه.
“PASAL: Dan perkara ini bertambah lebih dari cukup, sehingga jadilah perselisihan dalam masalah-masalah fiqh dianggap sebagai hujjah atas pembolehannya. Dan telah terjadi di jaman dahulu dan jaman belakangan penyandaran bolehnya suatu perbuatan karena perbuatan itu diperselisihkan oleh para ahli ilmu, bukan dengan makna muro’atul khilaf karena ia memiliki pandangan yang lain, akan tetapi dalam selainnya.
Terkadang muncul fatwa untuk melarang suatu permasalahan; kemudian dikatakan: “tidaklah terlarang, permasalahan ini diperselisihkan.”
Mereka menjadikan perselisihan dan khilaf sebagai hujjah bolehnya suatu permasalahan dengan sebatas permasalahan tersebut diperselisihkan yang tidak ada dalil menunjukkan benarnya pendapat yang membolehkan, dan bukan taklid kepada orang yang lebih utama untuk taklid kepadanya dibandingkan orang yang berpendapat melarangnya. Ini jelaslah merupakan inti kesalahan terhadap syariat dimana menjadikan sesuatu yang bukan sandaran menjadi sandaran dan yang bukan hujjah menjadi hujjah.
Imam Al-khattabi -rahimahullah- menghikayatkan dari sebagian manusia dalam masalah al-bit’u (nabidz yang dibuat dari madu) yang disebutkan dalam hadits, orang itu berkata: “Sesungguhnya manusia ketika mereka berselisih dalam minuman-minuman dan mereka ijma’ (sepakat) terhadap haramnya khamr dari anggur dan berselisih ketika dibuat dari selainnya, maka kami mengharamkan apa yang disepakati keharamannya dan membolehkan selainnya”
Imam -rahimahullah- berkata: “Ini merupakan kesalahan yang buruk! Sungguh Allah -ta’ala- telah memerintahkan orang yang berselisih untuk mengembalaikan perselisihan mereka kepada Allah dan Rasul.”
Ia -rahimahullah- berkata: “Dan pendapat orang yang berkata ini mengharuskan apa yang semisalnya dalam masalah riba, Ash-Sharf, dan nikah mut’ah (ada ulama yang membolehkan hal-hal tersebut); karna umat telah berselisih tentangnya.”
Ia -rahimahullah- berkata: “Bukanlah ikhtilaf sebagai hujjah, menjelaskan sunnah adalah hujjah bagi orang yang menyelisihi dari orang terdahulu maupun orang yang belakangan” ini adalah ringkasan perkataannya.
Orang yang mengucapkan hal ini IA KEMBALI UNTUK MENGIKUTI APA YANG IA SUKA. DAN IA MENJADIKAN PENDAPAT YANG SESUAI DENGAN KEINGINANNYA SEBAGAI HUJJAH BAGINYA DAN SEBAGAI ALASAN MENGELAK (MENERIMA KEBENARAN) BAGI DIRINYA. Dia telah menjadikan pendapat tersebut sebagai wasilah untuk mengikuti HAWA NAFSUNYA bukan wasilah untuk ketakwaannya. Orang itu sangatlah jauh dari menegakkan perintah Pembuat Syariat dan lebih dekat kepada orang yang MENJADIKAN HAWA NAFSUNYA SEBAGAI SESEMBAHANNYA.
[Al-Muwafaqat, (V/92-94)]
[5] SEORANG ALIM HARUS MELIHAT KEPADA FIQH MA’AALAT (KESUDAHAN DAN AKHIR FATWANYA) DAN MENIMBANG MASHLAHAT DAN MAFSADAT.
Bagi seorang alim, sebatas tidak mendapati pengharaman terhadap sesuatu karena berpegang kepada kaidah : “Asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil yang mengharamnkannya”, tidaklah berarti ia bisa membolehkan hal tersebut secara muthlak. Bisa jadi hal tersebut ketika dilakukan tidaklah membawa kemashlahatan, bahkan hal tersebut mungkin saja menjerumuskan kepada kemudhorotan yang besar, walaupun, efek kemudhorotan tersebut tidak terjadi secara spontan , akan tetapi terjadi di masa yang akan datang. Hal inilah yang mendasari ulama Malikiyyah menganggap adanya Saddu dzariah (melarang sesuatu yang halal karena bisa menyeret kepada suatu yang haram atau keburukan). Setiap wasilah yang menyeret kepada mafsadah atau kerusakan maka ia adalah mafsadah.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” QS. Al-An’am 108
Pada dasarnya mencela sesembahan kaum musyrikin ini dibolehkan, akan tetapi Allah mengharamkannya karena akan menyeret pada celaan mereka kepada Allah.
Demikian pula yang dilakukan jumhur ulama dalam membantah bolehnya hiyal/hilah (melakukan perbuatan yang halal dengan tujuan sesuatu yang haram) yang dibolehkan oleh ulama Hanafiyyah. Seperti seorang yang sengaja safar agar bisa tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Jumhur membantahnya karena efek buruk dari hiyal yang menyebabkan orang akan mengakali syariat dan hukum Allah.
Lantas, siapakah ahli ilmu yang berhak untuk berfatwa dan menentukan sebuah hukum?
Imam Asy-Syathibi -rahimahullah- menjelaskan tentang kadar keilmuan seorang alim yang membolehkannya untuk berijtihad. Beliau membagi menjadi tiga tingkatan. Dan tingkatan yang ketiga ini beliau berkata dan menjelaskan sifat seorang Alim yang disepakati ulama bolehnya berijtihad:
ويسمى صاحب هذه المرتبة: الرباني، والحكيم، والراسخ في العلم والعالم، والفقيه، والعاقل؛ لأنه يربى بصغار العلم قبل كباره، ويوفي كل أحد حقه حسبما يليق به، وقد تحقق بالعلم وصار له كالوصف المجبول عليه، وفهم عن الله مراده من شريعته
“Pemilik tingkatan ini dinamakan: Ar-Robbani, Al-Hakim (orang yang hikmah), Ar-Rosikh (orang yang matang ilmunya), Al-‘Alim (Ahli ilmu), Al-Faqih, dan Al-‘Aqil (orang yang berakal). Karena ia mendidik manusia dengan ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar, dan memberikan hak kepada setiap orang sesuai dengan kelayakannya. Dan ilmu telah terealisasi padanya dan menjadi seperti sifat yang ditabiatkan kepadanya, dan ia memahami dari Allah -ta’ala- apa yang Dia inginkan dari Syariat-Nya.”
Kemudian Imam Asy-Syatibi -rahimahullah- menjelaskan karakteristik tingkatan Ini:
ومن خاصيته أمران:
أحدهما: أنه يجيب السائل على ما يليق به في حالته على الخصوص إن كان له في المسألة حكم خاص، بخلاف صاحب الرتبة الثانية، فإنه إنما يجيب من رأس الكلية من غير اعتبار بخاص.
والثاني: أنه ناظر في المآلات قبل الجواب عن السؤالات، وصاحب الثانية لا ينظر في ذلك ولا يبالي بالمآل إذا ورد عليه أمر أو نهي أو غيرهما ...
“Dan diantara karakteristiknya adalah dua hal:
[PERTAMA] bahwa ia menjawab orang yang bertanya sesuai dengan keadaan penanya secara khusus apabila ia memiliki permasalahan khusus, berbeda dengan tingkatan kedua karena ia menjawab dari keumuman perkara tanpa melihat kepada kekhususannya.
[KEDUA]: ia melihat kepada ma’aalaat (kesudahan fatwanya, apakah berefek mashlahat atau mudhorot) sebelum ia menjawab pertanyaan. Orang yang berada pada tingkatan kedua tidak melihat hal itu, dan tidak peduli terhadap kesudahan ketika datang suatu perintah ataupun larangan, atau selainnya .... (Al-Muwafaqot (V/233) Tahqiq: Syaikh Masyhur)
Dari sini, kita mengetahui bahwa ketika seorang menghukumi sesuatu atau berfatwa, maka seorang Alim Robbani harus melihat kepada dua hal: yaitu keadaan penanya dan kesudahan dari fatwanya, apakah memberikan mashlahat atau justru memberikan kemudhorotan. Padahal Agama Islam dibangun untuk menarik kemashlahatan dan menolak kemudhorortan.
Selain itu, seorang Alim dan Dai harus bisa membedakan masalah yang pelik dalam mashlahat dan mudhorot, yaitu memilik yang terbaik dari dua hal yang baik, dan menentukan yang paling jelek dari dua hal yang mudhorot. Bukan hanya bisa membedakan antara baik dan buruk, antara maslahat dan mafsadat. Hal ini menambah jelas bagi kita bahaya memberikan fatwa dan hukum dengan tergesa-gesa (prematur) terhadap boleh atau tidaknya suatu hal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata:
ليس العاقل الذي يعلم الخير من الشر وإنما العاقل الذي يعلم خير الخيرين وشر الشرين وينشد: إن اللبيب إذا بدا من جسمه مرضان مختلفان داوى الأخطرا وهذا ثابت في سائر الأمور
“Orang yang berakal bukanlah orang yang mengetahui kebaikan dari keburukan. Akan tetapi orang yang berakal hanyalah orang yang mengetahui yang paling baik dari dua hal yang baik, dan yang paling buruk dari dua hal yang buruk. Dan dalam senandung : “Sesungguhnya orang yang cerdas apabila nampak pada tubuhnya dua penyakit yang berbeda, ia akan mengobati yang paling berbahaya” dan hal ini berlaku dalam semua perkara” [Majmu’ Fatawa (XX/54)tahqiq: Ibnu Qasim]
Bahkan Syaikhul Islam -rahimahullah- menegaskan bahwa hal ini merupakan sikap wara’ yang harus dimiliki bagi seorang tholib dan dai sebagai kehati-hatian.
وتمام " الورع " أن يعم الإنسان خير الخيرين وشر الشرين، ويعلم أن الشريعة مبناها على تحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد وتقليلها وإلا فمن لم يوازن ما في الفعل والترك من المصلحة الشرعية والمفسدة الشرعية فقد يدع واجبات ويفعل محرمات.
“Dan kesempurnaan wara’ adalah seseorang meliputi (mengetahui) hal yang terbaik dari dua hal yang baik dan hal terburuk dari dua hal yang buruk. Dan ia mengetahui bahwa syariat dibangun untuk menghasilkan kemaslahatan, dan menyempurnakannya. Serta menghilangkan mafsadat dan mengecilkannya, jika tidak, maka siapa saja yang tidak menimbang antara melakukan perbuatan atau meninggalkannya: apakah termasuk mashlahat syar’iyyah atau mafsadat syar’iyyah maka terkadang ia meningggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram ...” [Majmu’ Fatawa (X/512)
Demikianlah beberapa hal yang perlu diluruskan dalam berselisih, semoga bermanfaat dan mencerahkan.
Karawang, 22 Maret 2022
19 Sya’ban 1443 H
Penulis,
Dika Wahyudi Lc.