*Shalat Dua Rakaat Duduk Tawaruk atau Iftirasy?*
Pertanyaan ini sering sekali disampaikan kepada kami, dan bahkan ada yang salah paham sampai mengatakan hal ini mengikuti Sunnah dan tidak mengikuti Sunnah. Sebenarnya bagaimana duduk masalahnya.
Para ahli Fikih Rahimahumullahu ta'ala telah berbeda pendapat dalam hal ini sebagai berikut:
1. Madzhab Hanafiyah berpendapat laki-laki disunnahkan duduk Iftirasy sedang wanita disunnahkan duduk tawarruk karena cara duduk ini lebih bisa menutupi bagi mereka. Tidak ada bedanya hal ini pada shalat yang memiliki dua tasyahud atau satu tasyahud. (Al Binayah Syarh Al Hidayah li Badruddin Al 'Aini 2/264)
2. Madzhab Malikiyah berpendapat cara duduk yang sunnah di seluruh duduk shalat adalah dengan Tawaruk, baik laki-laki maupun perempuan. (Al Kafi fi Fiqh Ahlil Madinah Li Ibni Abdil Barr, 1/204)
3. Madzhab Syafi'iyah berpendapat duduk Tawarruk disunnahkan pada tasyahud akhir pada semua shalat, baik shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun shalat yang hanya memiliki satu tasyahud. Demikian karena tasyahud akhir disunnahkan untuk diperlama maka disunnahkan cara duduknya dengan tawaruk. Sedang duduk Iftirasy dilakukan pada semua duduk selain tasyahud akhir.
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
Hikmah duduk Iftirasy pada tasyahud awal dan Tawaruk pada tasyahud akhir adalah cara ini lebih bisa mengingatkan shalat, dan tidak menimbulkan keragu-raguan dalam hal jumlah rakaatnya. Dan Sunnah juga adalah mempersingkat tasyahud awal sehingga cara duduknya adalah dengan Iftirasy supaya lebih mudah untuk kemudian bangkit berdiri lagi, dan sunnah memanjangkan tasyahud kedua atau akhir karena tidak akan berdiri lagi selepasnya. Maka duduk tawaruk lebih tepat dan mudah untuk menyempurnakan doa juga. Orang yang masbuq pun saat melihat akan langsung tahu tasyahud yang mana yang sedang dilakukan (oleh imam). (Al Majmu' Syahr Muhadzzab Li An Nawawi: 3/451).
4. Al Hanabilah berpendapat apabila shalat itu hanya satu tasyahud seperti shalat subuh atau shalat yang dikerjakan hanya dua rakaatan maka hendaknya duduk Iftirasy. Adapun jika shalat itu memiliki dua tasyahud maka hendaknya duduk Tawaruk di tasyahud akhirnya. (Masail Al Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih 2/554 dan Al Mughni Li Ibni Qudamah 2/227)
*Mana yang Rajih?*
Al Imam Mubarokfury setelah beliau menyebutkan dalil-dalil dari berbagai madzhab ini maka beliau merajihkan sebagai berikut:
*Duduk di tasyahud awal adalah dengan cara Iftirasy dan duduk di tasyahud akhir adalah dengan tawarruk (berapapun tasyahudnya).*
Beliau berkata:
Disimpulkan bahwa tidak ada Nash dalil yang jelas yang digunakan oleh Imam Malik dan siapapun yang sepakat bersama beliau, dan tidak ada dalil juga pada apa yang dipendapatkan oleh Abu Hanifah serta yang sepaham dengan beliau. Adapun apa yang diutarakan oleh Asy Syafi'i dan siapapun yang sepaham dengan beliau maka padanya nash dalil yang jelas, dan inilah madzhab yang Rajih. (Tuhfatul Ahwadzi Li Mubarokfury: 2/155)
Perhatikan dalil berikut ini:
dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Humaid jelas-jelas membedakan,
فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .
“Jika beliau (Rasulullah shalallahu alaihi wa salam) duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).”
Kemudian dalam riwayat An Nasaai (1262), terdapat lafazh,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.”
Jadi sudah jelas dalil yang paling kuat dalam hal ini. Namun demikian permasalahan ini hanya masalah fiqih dan inipun tidak terkait dengan sah dan tidak sahnya shalat seseorang. Siapapun dari kita harus toleransi dan lapang dada menyikapi perbedaan ini, dan terus belajar mencari mana yang paling mendekati dalil sunnah Nabi.
Barakallahu fikum
Ust. Rohmanto,Lc.,M.S.I
Pengasuh Pesantren Riyadhul Quran