Terkait permasalahan yang belakangan sedang viral, saya pernah menulis ini sekitar 8 tahun lalu:
https://adniku.blogspot.com/2014/07/bidadara-untuk-wanita.html?m=0
☆ ☆ ☆ ☆ ☆
"BIDADARA" UNTUK WANITA?
Syaikh Ibn 'Utsaimīn—rahimahullāh—pernah ditanya, “Jika seorang wanita dari kalangan ahli surga belum pernah menikah di dunia, atau ia menikah namun suaminya tidak masuk surga, maka siapakah yang akan bersama wanita itu (di surga)?”
Beliau menjawab, “Jawaban atas pertanyaan ini dapat diambil dari keumuman firman Allah Ta’ālā:
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ نُزُلاً مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيم
“Dan bagi kamu di dalamnya (akhirat) apa yang kamu inginkan dan bagi kamu (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Rabb yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat/41: 31-32)
Juga dari (keumuman) firman Allah Ta’ālā:
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنتُمْ فِيهَا خَالِدُون
“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.” (QS. Az-Zukhruf/43: 71)
Jika seorang wanita termasuk ahli surga dan ia belum pernah menikah (di dunia), atau ternyata suaminya (di dunia) tidak termasuk ahli surga, maka apabila wanita itu memasuki surga niscaya ia akan mendapati bahwa di surga ada pria-pria yang juga belum menikah (di dunia), yang mana pria-pria tersebut memiliki istri-istri dari kalangan bidadari dan wanita-wanita dunia—jika mereka menghendaki dan jiwa mereka menginginkan hal itu. Maka begitu pula yang kita katakan terkait dengan wanita tadi—(yaitu) apabila ia belum memiliki suami (di dunia) atau ia memiliki suami di dunia namun suaminya tidak masuk surga bersamanya—bahwa apabila ia ingin menikah maka ia pasti akan mendapatkan apa yang ia inginkan tersebut, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas. Pada saat ini saya belum mendapati nash yang khusus dalam permasalahan ini, dan ilmu adalah milik Allah Ta’ālā.” [Ref.: Fatāwa al-'Aqīdah, hlm. 312]
Dalam kesempatan lain, beliau juga berkata, “Termasuk hal yang umum diketahui bahwa pernikahan termasuk perkara yang paling diinginkan oleh jiwa, dan hal ini terealisir bagi penduduk surga, baik laki-laki maupun wanita.”
Beliau juga berkata, “Hanyalah disebutkan istri-istri bagi para lelaki, sebab lelaki adalah pihak yang mencari dan menginginkan wanita. Karena itulah hanya disebutkan istri-istri bagi para lelaki di surga dan tidak disebutkan suami-suami bagi para wanita. Namun hal ini bukan berarti para wanita tersebut tidak memiliki suami (di surga), bahkan wanita-wanita tersebut memiliki suami-suami dari kalangan anak Adam.” [Ref.: Fatāwa al-'Aqīdah, hlm. 313]
☆ ☆ ☆ ☆ ☆
Bagaimana dengan Wanita yang Pernah Memiliki Lebih dari Seorang Suami?
Apabila wanita tersebut pernah memiliki memiliki lebih dari satu suami di dunia, dan hanya satu dari suaminya yang masuk surga, maka wanita itu akan bersama suaminya yang masuk surga. Namun, bagaimana sekiranya seluruh suaminya masuk surga? Sependek pengetahuan kami, setidaknya terdapat dua pendapat di kalangan ulama dalam hal ini:
Pendapat Pertama: Wanita Tersebut Memilih Suami yang Dikehendakinya
Syaikh Ibn 'Utsaimin juga pernah ditanya, “Jika seorang wanita pernah memiliki dua orang suami di dunia (suami pertama meninggal dunia lalu wanita tersebut menikah lagi, kemudian kedua suami dan wanita tersebut masuk surga), maka siapakah yang akan bersama wanita tadi?”
Beliau menjawab, “Jika seorang wanita memiliki dua orang suami di dunia, maka pada hari kiamat ia akan diperintahkan untuk memilih (salah satu) di antara keduanya di surga. Dan apabila wanita itu belum menikah di dunia, maka Allah akan menikahkannya dengan orang yang akan menjadi penyejuk mata baginya di surga. Kenikmatan surga tidaklah terbatas untuk pria, akan tetapi mencakup pria dan wanita, dan di antara kenikmatan tersebut adalah pernikahan.” [Ref.: Fatāwa al-'Aqīdah, hlm. 313]
Pendapat Kedua: Wanita Tersebut Bersama Suaminya yang Terakhir
Pendapat yang paling kuat dalam hal ini—insyaallah—dan didukung oleh hadits serta atsar adalah, ketika di surga, wanita mukminah akan bersama dengan suami terakhirnya di dunia. [Lihat al-Jannah wan Nār, Dr. 'Umar Sulaimān al-Asyqar, hlm. 245-246]
Nabi—shallallāhu 'alaihi wa sallam—bersabda,
الْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Seorang wanita adalah untuk suaminya yang terakhir.”
[Lihat: Shahīh al-Jāmi', no. 6691; dan ash-Shahīhah, no. 1281]
Imam ath-Thabrāni meriwayatkan, bahwa Mu’āwiyah pernah meminang Ummu ad-Dardā` setelah Abū ad-Dardā` meninggal dunia. Maka Ummu ad-Dardā` berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Abū ad-Dardā` menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, ‘Siapa saja wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, lalu ia menikah lagi, maka ia diperuntukkan bagi suaminya yang terakhir.’ [Hadits ini dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni dalam Shahīh al-Jāmi', no. 2704.] Dan tidaklah aku lebih memilihmu dibandingkan Abū ad-Dardā`." [Ref.: Al-Mu'jam al-Ausath no. 3130]
Imam al-Baihaqiy meriwayatkan, bahwa Hudzaifah berkata kepada istrinya, “Jika engkau ingin untuk menjadi istriku di surga maka janganlah engkau menikah lagi sepeninggalku. Sebab wanita di surga itu diperuntukkan bagi suaminya yang terakhir di dunia. Karena itulah Allah mengharamkan istri-istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau, sebab mereka adalah istri-istri beliau di surga.” [Sunan al-Baihaqiy al-Kubrā no. 13199]
Imam Ibn Sa’d meriwayatkan, bahwa Asmā` pernah mengadukan sikap keras suaminya, az-Zubair Ibn al-’Awwām, kepada ayahnya, Abū Bakr. Maka Abū Bakr berkata, “Wahai puteriku, bersabarlah. Sebab apabila seorang wanita memiliki suami yang shalih lalu si suami meninggal dunia dan ia tidak menikah lagi, niscaya Allah akan mengumpulkan keduanya di surga.” [Ref.: Ath-Thabaqāt al-Kubrā, vol. VIII, hlm. 251. Lihat pula ash-Shahīhah, penjelasan hadits no. 1281]
Penting untuk diingat kembali, bahwa di surga tidak ada kesedihan dan kegundahan, hanya ada suka cita dan kegembiraan. Karena itu, meskipun seorang wanita di surga akan bersanding suaminya yang terakhir—padahal bisa jadi ketika di dunia ia lebih mencintai suaminya yang lain—namun ia tetap akan bahagia dan bersuka cita. Wallāhu a’lam.
Salam,
4K - Adni Kurniawan