Penjelasan Rinci tentang Sikap Tarahum (Mendoakan Rahmat) kepada Ahlul Bidah
Syaikh Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili hafizhahullah berkata (yang maknanya):
(Terkait masalah menyalati dan memintakan ampun secara terang-terangan bagi ahlul bidah)
Ahlussunnah wal Jamaah -wahai Saudaraku-, mereka tidaklah melarang dari memohonkan ampunan bagi seorang mukmin walaupun dia seorang pelaku bidah ataupun pelaku maksiat. Akan tetapi, memohonkan ampunan bagi para pelaku kesesatan dan kebidahan itu tidaklah dilakukan terang-terangan, hal ini sebagai bentuk teguran atas perbuatan-perbuatan bidahnya.
(Maka tidak mengapa) apabila seseorang memohonkan ampunan bagi mereka secara pribadi. Namun, jangan ditampakkan terang-terangan di khalayak umum (orang-orang awam). Karena hal tersebut akan menjadikan perkara maksiat itu sepele di hati orang awam, dan akhirnya mereka pun melakukannya.
Demikian pula perkara menyalatkan mereka (ahul bidah dan maksiat), maka Ahlussunnah wal Jamaah tidaklah melarang menyalatkan ahlul bidah, tidak melarang pula menyalatkan pelaku zina, ataupun pencuri. Akan tetapi yang menjadi ketetapan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah adalah bahwasanya para ulama (yang memiliki ilmu dan keutamaan) tidaklah menyalatkan mereka, adapun orang awam (tidak dilarang) untuk menyalatkan mereka. Hal ini sebagai bentuk sikap pengingkaran terhadap bidah-bidah dan maksiat-maksiat berbahaya yang mereka lakukan tersebut.
Sikap ini (tentunya) ada asal/contohnya. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila didatangkan kepada beliau seseorang (yang meninggal) dan dia memiliki utang -dan utang tidak termasuk maksiat-, akan tetapi dia memiliki utang dan saat disebutkan bahwa dia memiliki utang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Salatilah teman kalian ini (namun beliau sendiri tidak mau menyalatinya-red).”
Nah, bagaimana dengan para pelaku bidah dan pelaku maksiat? Maka tentu saja lebih utama bagi para ulama untuk tidak menyalatinya. Dan ini tentunya perkara yang sangat penting.
Para pelaku bidah dan pelaku maksiat yang besar (parah), hukum asalnya, para ulama secara zahir tidak menampakkan kecuali kebencian. Kecuali apabila ada masalah atau sebab darurat atau keadaan terpaksa. Adapun di dalam hati, maka kita tidak membenci mereka secara mutlak.”
(Diraasaat fil Manhaj, hal 146-147)
Ustadz muadz mukhadasin