Pemimpin
Dalam organisasi keislaman seringkali kepemimpinan ditentukan oleh senioritas dan kedalaman ilmu (knowledge). Padahal kepemimpinan (leadership) itu adalah kemampuan untuk mempengaruhi, memotivasi, mengawasi, dan mengarahkan orang lain untuk menyelesaikan tugas-tugas.
Contoh kasus di zaman Nabi pun tidak kaku pemimpin itu harus senior dan ilmu agamanya mendalam. Dalam Perang Mu'tah, Tsabit bin Arqam yang merupakan sahabat senior dan veteran Perang Badr, ia menunjuk Khalid bin al-Walid menjadi pimpinan Perang Mu'tah tatkala Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhum gugur.
Contoh lain, Abu Dzar radhiallahu 'anhu dipuji oleh Ali bin Abu Thalib dengan:
أَبُو ذر وعاء مليء علما.
“Abu Dzar bagai sebuah wadah yang penuh dengan pengetahuan…”
Tapi Nabi tidak mengangkatnya sebagai pemimpin. Justru orang seperti Amr bin al-Ash diangkat Rasulullah memimpin Perang Dzatus Salasil setelah hanya 5 bulan saja ia memeluk Islam. Di pasukan tersebut terdapat Abu Bakr dan Umar.
Kalau seseorang hanya memiliki kemampuan mangarhkan/menasihati, ada pos yang lebih layak untuknya yaitu sebagai penasihat bukan pimpinan. Di antara penyebab organisasi macet dan vakum adalah kelemahan kita dalam membedakan mana umurud dun-ya dan ahkamud din. Kita mengira pengetahuan seseorang tentang ahkamud din berbanding lurus dengan pengetahuannya terhadap umurud dun-ya.
Ustadz nurfitri hadi