Bolehkah yang berkeyakinan qunut subuh bid'ah mengingkari yang mengatakan qunut subuh sunnah?
PERTAMA
Perlu dipahami bahwa masalah qunut subuh yang sering dipermasalahkan adalah merutinkan doa qunut dalam shalat subuh.
Karena disyariatkan untuk membaca doa qunut ketika terjadi nazilah (musibah) yang menimpa kaum Muslimin, dan ini berlaku di semua shalat yang 5 waktu, tidak hanya shalat subuh.
KEDUA:
Ulama sepakat bahwa membaca qunut di shalat subuh TIDAK WAJIB. Yang diperselisihkan adalah apakah dianjurkan atau tidak?
KETIGA:
Tidak bisa dipungkiri bahwa masalah merutinkan doa qunut di dalam shalat subuh adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah. Ada 3 pendapat di antara ulama:
1. Mustahab (dianjurkan), ini pendapat Syafi'iyyah, Malikiyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad.
2. Bid'ah, ini pendapat Hanafiyah, Imam Al Laits bin Sa'ad, pendapat terakhir Imam Ahmad, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
3. Boleh, ini pendapat Ibnu Hazm dan Ath Thabari.
Dari sini kita ketahui pendapat yang membid'ahkan merutinkan qunut subuh bukanlah pendapat salafi. Tapi ini pendapat para ulama madzhab juga.
KEEMPAT:
Para ulama Ahlussunnah mengatakan masalah merutinkan doa qunut di dalam shalat subuh adalah PERKARA LONGGAR. Artinya tidak sampai membuat orang bisa divonis sesat atau menyimpang jika memilih pendapat yang berbeda.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya mengenai masalah qunut subuh beliau menjawab yang rajih adalah tidak bolehnya merutinkan qunut pada shalat subuh kecuali ketika terjadi nazilah. Kemudian beliau katakan:
هذا ليس تبديعاً للشافعي ولكن من باب تحري الأرجح من الأقوال، من باب تحري الأرجح لأن من قال: إنه بدعة احتج بحديث طارق بن أشيم الأشجعي ومن زعم أنه سنة ومستحب احتج بأحاديث أخرى فيها ضعف والأخذ بالشيء الثابت في الصحيح أولى وأحق عند أهل العلم مع عدم التشنيع على من قنت فإن هذه المسألة مسألة خفيفة لا ينبغي فيها التشنيع والنزاع وإنما يتحرى فيها الإنسان ما هو الأفضل والأقرب إلى السنة
“Ini bukan berarti kita memvonis bid’ah kepada Imam Asy Syafi’i, namun ini dalam rangka memilih pendapat yang lebih rajih dari pendapat-pendapat yang ada. Karena ulama yang berpendapat bahwa qunut subuh secara rutin itu bid’ah berdalil dengan hadits Thariq bin Asyim Al Asyja’i. Dan yang berpendapat bahwa perbuatan tersebut sunnah berdalil dengan hadits-hadits yang lain yang terdapat kelemahan. Dan mengambil hadits yang shahih itu lebih utama dan lebih tepat bagi para ulama. Namun tanpa disertai celaan kepada orang yang berpendapat sunnahnya qunut subuh. KARENA MASALAH INI ADALAH MASALAH YANG LONGGAR, tidak semestinya ada saling mencela dan saling cekcok. Ini adalah masalah yang seseorang memilih pendapat yang menurutnya lebih mendekati sunnah Nabi” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi).
KELIMA:
Adanya qunut subuh atau tidak adanya, tidak mempengaruhi keabsahan shalat subuh. Karena bagi yang berpendapat merutinkan qunut subuh, itu sekedar mustahab (dianjurkan) atau boleh. Bukan rukun atau wajib shalat. Dan tidak ada ulama yang membid'ahkan qunut subuh yang mengatakan tidak sahnya shalat subuh jika ada qunut subuh. Karena amalan ini tidak merusak rukun dan syarat shalat.
KEENAM:
Mengingkari orang lain yang mengambil pendapat berbeda dalam masalah ini perlu dirinci:
a. Jika berupa pengingkaran dengan tangan, maka tidak boleh. Misalnya:
* Mencegah orang supaya tidak membaca qunut subuh
* Memaksa orang supaya qunut subuh
* Mengganti imam yang tidak qunut subuh
* Mengganti imam yang qunut subuh
b. Jika berupa vonis sesat atau menyimpang kepada orang lain yang mengambil pendapat berbeda dalam masalah ini, atau pemaksaan pendapat, maka ini juga tidak boleh. Karena ini masalah ijtihadiyyah dan masalah khafifah (longgar), sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibnu Baz.
c. Jika pengingkarannya berupa bantahan ilmiah, kritik ilmiah atau nasehat untuk meninggalkan bid'ah, maka boleh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
إن مثل هذه المسائل الاجتهادية لا تنكر باليد، وليس لأحد أن يلزم الناس باتباعه فيها، ولكن يتكلم فيها بالحجج العلمية، فمن تبين له صحة أحد القولين: تبعه، ومن قلد أهل القول الآخر فلا إنكار عليه
"Sesungguhnya masalah yang semisal ini, yaitu masalah ijtihadiyyah, tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya. Namun boleh berdiskusi dengan dengan membawa hujjah (dalil) yang ilmiah. Siapa yang jelas kesahihan dalilnya, maka kita ikuti dia. Namun siapa yang tetap mengikuti pendapat yang lain, maka tidak kita ingkari dia (dengan tangan)" (Majmu' Al Fatawa, 30/80).
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah juga berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya” (I'lamul Muwaqqi'in, 3/224).
KETUJUH:
Kaidah-kaidah di atas berlaku untuk semua bentuk masalah khilafiyah ijtihadiyah saaighah (yang ditoleransi). Tidak berlaku untuk semua masalah khilafiyah. Karena tidak semua masalah khilafiyah itu ditoleransi.
Wallahu a'lam.
Join channel telegram @fawaid_kangaswad