Saya pernah membuat tulisan yang mengkritik tajam orang yang pamer dengan baju tahadduts bin ni’mah.
Sebab, sebagaimana ditegaskan Ibnu ‘Āsyūr, umat Nabi Muhammad ﷺ tidak maksum dari selipan riya’, sum’ah, dan fakhr saat menceritakan nikmat yang ia klaim sebagai tahadduṡ bin ni’mah. Ibnu ‘Āsyūr berkata,
وَأَمَّا الْأُمَّةُ فَقَدْ يَكُونُ التَّحَدِيثُ بِالنِّعْمَةِ مِنْهُمْ مَحْفُوفًا بِرِيَاءٍ أَوْ تَفَاخُرٍ». «التحرير والتنوير» (30/ 404)
Artinya,
"Adapun umat (islam), ada kalanya tahadduts bin ni'mah dari mereka diliputi (niat) riya'/pamer atau tafakhur/saling berbangga-bangga" (al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 30 hlm 404)
Jadi, orang mengklaim tahadduts bin ni’mah itu memang bisa benar-benar jujur tahadduts bin ni’mah, tapi bisa juga aslinya pamer dengan alasan tahadduts bin ni’mah.
Di sinilah kita harus super hati-hati.
Memeriksa hati kita masing-masing.
Tanpa perlu menuduh orang lain.
Sebab hanya Allah yang bersangkutan yang tahu niat masing-masing.
***
Pamer dengan tahadduṡ bin ni’mah itu beda.
Benar-benar beda.
Apa bedanya?
Pamer itu targetnya “membesarkan diri”, menunjukkan diri lebih unggul daripada hamba Allah yang lain, ingin supaya orang lain tahu dirinya istimewa dari orang kebanyakan.
Adapun tahadduṡ bin ni’mah, maka yang dikejar adalah “membesarkan nama Allah”, sehingga orang semakin kagum kepada Allah, makin cinta kepadaNya dan makin terdorong bersyukur kepadanya.
Agar lebih jelas, saya membuat contoh dengan redaksi seperti ini:
Jika engkau dalam kondisi miskin, tidak punya uang, kelaparan, dan tidak ada orang yang mengetahui penderitaanmu kemudian ada manusia yang bertanya kabar kepadamu, kemudian engkau menjawab,
“Alhamdulillah, aku berada dalam keadaan sehat wal afiat. Nikmat Allah luar biasa banyak diberikan oleh-Nya padaku pada hari ini. Aku bangun tidur dalam keadaan sehat, tidak sakit. penglihatanku normal, pendengaranku normal dan akalku juga normal, tidak gila. Aku bangun juga dalam keadaan aman, tidak ketakutan seperti orang-orang yang berada di negeri konflik. Subhanallah, Masyaallah, Lailahaillallah, Allahuakbar. Alangkah banyaknya nikmat Allah yang diberikan kepadaku”
Nah, jawabanmu seperti itulah yang dinamakan “tahadduts bin-ni’mah”, yakni menceritakan kebaikan-kebaikan Allah dalam rangka bersyukur untuk melaksanakan perintah Allah dalam ayat ini,
{وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ} [الضحى: 11]
“Adapun nikmat tuhanmu, maka kabarkanlah” (Adh-Dhuha; 11)
Engkau memuji-Nya dan menampakkan kebaikan-Nya di saat hawa nafsumu cenderung mengeluh dan meremehkan nikmat-Nya.
Engkau menyebut-nyebut kebaikan-Nya di saat syetan membisikimu untuk mengeluh dan meratapi takdir.
Engkau menyebut-nyebut anugerah dan pemberian-Nya di saat manusia jahil banyak yang memprovokasi agar tidak terima dengan segala kesempitan hidup dan penderitaan.
***
Hari ini, saya sungguh bergembira karena menemukan ungkapan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang menjelaskan perbedaan pamer dan tahadduts bin ni’mah dengan makna serupa dari apa yang saya tulis tersebut. Beliau menulis,
«والفرقُ بين التحدُّث بنعم الله، والفخر بها: أن المتحدث بالنعمة مخبِرٌ عن صفات وليِّها ومحضِ جودهِ وإحسانه، فهو مُثْنٍ عليه بإظهارها والتحدُّث بها، شاكر له، ناشر لجميع ما أوْلاه. مقصودُه بذلك إظهارُ صفاتِ الله ومدحُه والثناءُ عليه، وبعثُ النفوسِ على الطلب منه دون غيره، وعلى محبته ورجائه، فيكون داعيًا إلى الله بإظهار نعمِه ونشرِها والتحدُّثِ بها». «الروح - ابن القيم» (2/ 693 ط عطاءات العلم)
«وأما الفخر بالنعم، فهو أن يستطيل بها على الناس، ويُريهم أنه أعزُّ منهم وأكبر، فيركبُ أعناقهم، ويستعبدُ قلوبهم ويستميلُها إليه بالتعظيم والخدمة. قال النعمان بن بشير: إنَّ للشيطان مصاليَ وفخوخًا. وإنَّ من مصاليه وفخوخهِ البطشَ بنعم الله، والكبرَ على عباد الله، والفخرَ بعطيَّةِ الله، والهونَ في غير ذات الله». «الروح - ابن القيم» (2/ 694 ط عطاءات العلم)
***
Catatan lama saya tentang tafsir singkat ayat “wa amma bi ni’mati rabbika fahaddits” bisa dibaca melalui link di kolom komentar.
Ustadz muafa