Masih tentang Kalamullah dengan Huruf dan Suara
Oleh : Muhammad Atim
Anda mau mengelak bagaimana pun faktanya para ulama Salaf dan yang berpegang kepada aqidah Salaf menyatakan bahwa Kalamullah itu dengan huruf dan suara, seperti dinyatakan oleh Abu Nashr As-Sajzi (w. 444 H) dalam kitabnya "Bantahan terhadap yang mengingkari huruf dan suara".
Di antaranya adalah imam Al-Bukhari (w. 256 H) rahimahullah ketika mengomentari hadits yang menyebutkan secara tegas bahwa Allah memanggil dengan suara,
ثم يناديهم بصوت يسمعه من بعد كما يسمعه من قرب
"Kemudian Allah memanggil mereka dengan suara yang didengar oleh yang jauh sebagaimana didengar oleh yang dekat" (HR. Ahmad, no. 16042).
Beliau mengatakan :
قال أبو عبد الله : وفي هذا دليل أن صوت الله لا يشبه أصوات الخلق لان صوت الله يسمع من بعد كما يسمع من قرب وأن الملائكة يصعقون من صوته فإذا تنادى الملائكة لم يصعقوا وقال عز وجل فلا تجعلوا لله أندادا فليس لصفة الله ند ولا مثل ولا يوجد شئ من صفاته في المخلوقين
Abu Abdillah (imam Bukhari) berkata : "Padanya terdapat dalil bahwa suara Allah tidak menyerupai suara makhluk karena suara Allah didengar oleh yang jauh sebagaimana didengar oleh yang dekat, dan bahwa para malaikat pingsan karena suara-Nya, apabila para malaikat saling memanggil mereka tidak pingsan. Dan Allah Azza wa Jalla berfirman, "Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah." Maka tidak ada bagi sifat Allah itu tandingan dan juga yang semisal, dan tidak ada sesuatupun dari sifat-sifat-Nya yang ada pada makhluk." (Khalq Af'alil 'Ibad, hal. 98).
Menetapkan suara bagi Allah, sama sekali tidak berarti meyerupakan Allah dengan makhluk. Justru kita katakan, sebagaimana imam Bukhari mengatakan, suara Allah tidak sama dengan suara makhluk.
Menetapkan suara bagi kalamullah bukan berarti menetapkan bagaimana/menjelaskan hakikat dari sifat Allah (takyif). Inilah problem cara berpikir mereka (Asy'ariyyah), tidak bisa membedakan antara menetapkan pemahaman terhadap makna asal dengan menetapkan bagaimana/kaifiyyah/takyifnya.
Ketika disebut "suara Allah", mereka sudah berpikiran negatif terlebih dahulu bahwa suara itu berarti sama dengan makhluk. Padahal tidak ada kemestian seperti itu. Sehingga mereka tidak mau memaknainya/mentafwidh maknanya, sebagai cara lain untuk tidak mentakwil, atau dengan terang-terangan mereka menafikan "tanpa huruf dan suara".
Padahal, kita menetapkan suara Allah sebagaimana ditetapkan dalam nash. Nashnya jelas menyebutkan itu. Adapun mereka mengatakan "tanpa huruf dan suara" tidak ada nashnya sama sekali. Dalilnya tiada lain hanya dugaan lemah dari akal mereka saja. Bahkan bertentangan dengan nash yang jelas.
Kita menetapkannya dengan memahami maknanya, maka kita sebut, dengan terjemahannya, "suara Allah". Namun bukan berarti kita tahu bagaimana atau hakikat dari suara tersebut. Kita tidak tahu sama sekali. Kita tidak men-takyifnya. Kita mentafwidh kaifiyyahnya. Jadi kalau dikatakan bahwa Salaf itu men-tafwidh, maka betul, yaitu mentafwidh kaifiyyah/hakikat-nya, namun bukan mentafwidh maknanya. Karena maknanya, secara asal, dapat diketahui.
Wallahul Muwaffiq.
t.me/maisy_institute
t.me/butirpencerahan
Ustadz Muhammad atim