Muhammad yanu atmadji blog
blog ini berisikan kumpulan faedah faedah ilmu yang sangat bermanfaat kepada diri saya pribadi
Rabu, 18 Juni 2025
JANGAN SIBUK MENILAI MOTIF ORANG!
JANGAN SIBUK MENILAI MOTIF ORANG!
Makhul rahimahullah:
"Aku melihat seorang laki-laki menangis dlm shalatnya, aku curiga ia menangis karena riya'. Akibatnya, aku dihukum tak bisa menangis selama 1 tahun.
📚 Al-"Uqubat, Ibnu Abid Dunya
Hukum Berobat dalam Mazhab Hanbali
*📚 Hukum Berobat dalam Mazhab Hanbali*
Dalam Mazhab Hanbali terdapat dua pendapat mengenai hukum berobat:
*1. Pendapat Utama dalam Mazhab:*
Yang lebih utama adalah *tidak berobat*, meskipun seseorang menyangka akan mendapat manfaat dari pengobatan tersebut. Pendapat ini berdasarkan sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq *رضي الله عنه*. Ketika beliau sakit, ada yang berkata: *"Tidakkah engkau memanggil dokter?"* Beliau menjawab:
*"Dia (Allah) telah melihatku, dan Dia berkata: *Sesungguhnya Aku Maha Melakukan apa yang Aku kehendaki*.”*
(Lihat: *at-Thabaqāt* karya Ibn Sa‘d)
Para ulama Hanabilah menilai, sikap ini lebih dekat dengan *tawakkal*.
*2. Riwayat Kedua (Dipilih al-Qadhi, Abu al-Wafa', Ibn al-Jauzi):*
Berobat lebih utama, berdasarkan hadits-hadits, di antaranya:
*“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan untuk setiap penyakit obat, maka berobatlah kalian.”*
(HR. Abu Dawud)
Dalam kitab *al-Inshāf* disebutkan:
*"Dikatakan bahwa berobat bisa jadi wajib, jika diduga kuat membawa manfaat."*
—
*📖 Sumber:*
*Al-Hawāsyi As-Sābighāt*, Ahmad Al-Qu'aimi, hlm. 171, cet. Asfar-Kuwait
Ustadz datyadakara
Hakikat Kembali Kepada Al-Qur'an Was Sunnah
Hakikat Kembali Kepada Al-Qur'an Was Sunnah
Seruan kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah hakikatnya mengajak umat Islam kembali kepada kemurnian agamanya, menjadikan dalil-dalil Al-Qur'an, hadits shahih, ijma', atsar, qiyas sebagai rujukan.
Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah dalam kitab beliau "Ar-Risalah" menyatakan,
"Allah tidak mengizinkan kepada seorangpun untuk berpendapat kecuali berdasarkan ilmu yang telah dia ketahui sebelumnya dan sumber ilmu itu adalah Al-Kitab, As-Sunnah, ijma’, atsar, dan mengqiyaskannya kepada dalil-dalil tersebut."
📚 Ar-Risalah (hlm. 508)
Al-Kitab yakni kitabullah Al-Qur'an sedangkan As-Sunnah adalah petunjuk Nabi ﷺ dalam hadits-hadits beliau yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Ijma' yakni kesepakatan para ulama terutama kesepakatan para shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum generasi terbaik umat ini.
Atsar yaitu apa yang ternukil dari shahabat selama tidak menyelisihi dalil Al-Qur'an was Sunnah. Apabila para shahabat berselisih, pendapat yang diikuti yang lebih mendekati dalil.
Qiyas yaitu menyamakan masalah pada fare' (cabang) dengan masalah ashl (utama) dalam suatu hukum dikarenakan adanya illat (sebab) yang bertalian antara keduanya selama memenuhi syarat.
Maka semboyan kembali kepada Al-Qur'an was Sunnah bukan berarti jumud dan letterlijk seperti yang dituduhkan oleh sebagian kalangan.
Bukan pula sebaliknya, beragama hanya mengandalkan pendapat ulama semata dengan dalih ulama Fulan lebih alim dari ulama Allan.
Apabila dijumpai pendapat sebagian ulama terbukti menyelisihi Al-Qur'an was Sunnah atau ijma', maka pendapat tersebut tidak boleh diikuti tanpa dijatuhkan kehormatannya.
Karena pendapat ulama yang menyelisihi dalil itu terkadang dibangun di atas hadits dha'if yang disangkanya shahih, atau karena belum mengetahui adanya riwayat yang shahih, atau karena ada faktor lain yang dimaklumi.
Adapun bagi yang belum memiliki perangkat yang memadai di dalam mengkaji dalil-dalil syar'i, kewajiban dia bertanya kepada para ahlinya yang akan menuntun dirinya kepada ilmu dan pemahaman yang benar.
Allah ta'ala mengatakan di dalam firman-Nya,
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
"Maka bertanyalah kepada ahlinya apabila kalian tidak mengetahui."
(QS. Al-Anbiya': 7)
#manhajulhaq
Barang siapa yang mengajarkanmu satu huruf dari sesuatu yang kamu butuhkan dalam urusan agama, maka dia adalah bapakmu dalam agama
قال العلامة الزرنوجي رحمه الله: من علَّمك حرفاً مما تحتاجُ إليه في أمور الشرع فهو أبوك في الدين.
Al-‘Allāmah Az-Zarnūjī rahimahullāh berkata: Barang siapa yang mengajarkanmu satu huruf dari sesuatu yang kamu butuhkan dalam urusan agama, maka dia adalah bapakmu dalam agama.
Saluran fiqh hambali
Barangsiapa yang bertekad untuk mengerjakan sesuatu dan sudah mengerjakan apa yang ia mampu, maka kedudukannya sama dengan orang yang telah mengerjakannya
[ Mendaftarlah Haji Reguler ]
Dalam masalah haji, kami punya keyakinan dari awal saat dahulu menyetor nomor porsi haji bahwa hal itu insya Allah sudah tercatat pahala dan penggugur kewajiban. Tanpa perlu memaksakan diri kami untuk membeli paket haji plus atau bahkan plus plus.
Belakangan di Islamweb kami baca pertanyaan serupa dari seorang yang telah lama menanti undian haji, berikut jawabannya.
اعلم أنك إذا بذلت جهدك في أداء الحج, وعلم الله تعالى صدق نيتك, وأنه لم يمنعك من الحج, إلا عدم القدرة عليه, فإنه يكتب -إن شاء الله تعالى- ثواب ما نويته من الحج
Ketahuilah, jika kamu telah bersungguh-sungguh mengerahkan upaya dalam melaksanakan haji, Allah Ta'ala pasti mengetahui keikhlasan niatmu. Dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangimu untuk melaksanakan haji kecuali ketidakmampuanmu, maka insya Allah, Dia mencatat pahala haji yang telah kamu niatkan.
يقول شيخ الإسلام ابن تيمية في الفتاوى الكبرى: وهذه قاعدة الشريعة: أن من كان عازماً على الفعل عزماً جازماً، وفعل ما يقدر عليه منه، كان بمنزلة الفاعل، كما جاء في السنن في من تطهر في بيته، ثم ذهب إلى المسجد فوجد الصلاة قد فاتت، أنه يكتب له أجر صلاة الجماعة. انتهى
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra, "Inilah kaidah dalam syariat Islam : Barangsiapa yang bertekad untuk mengerjakan sesuatu dan sudah mengerjakan apa yang ia mampu, maka kedudukannya sama dengan orang yang telah mengerjakannya, sebagaimana ditegaskan dalam sunnah tentang orang yang bersuci di rumahnya, kemudian pergi ke masjid, ternyata ia tertinggal shalat, maka baginya pahala shalat berjamaah".
- selesai nukilan Islamweb -
Semoga Allah Ta'ala juga demikian, mencatat pahala atas niat kita berhaji ke Baitullah dengan sempurna seperti yang telah mengerjakannya. Aamiin.
Ustadz yhouga pratama
I'lamu Al-Muwaqi'in Ibnu Al-Qayyim rahimahullaah.
Kalau kita perhatikan fatwa-fatwa fikih itu sangat tergantung dengan asumsi terhadap realita, sehingga tidak jarang kita dapatkan fatwa ulama mengatakan "jika benar demikian maka menjadi tidak wajib" nah "demikian" itu bersifat asumsi artinya jika asumsi tidak terpenuhi maka fatwa itu batal dengan sendirinya, artinya kembali ke hukum asal, sebaliknya ada fatwa yang memang kembali ke hukum asal, kecuali jika tidak terpenuhi syaratnya. Bagi saya kedua fatwa itu pada hakikatnya sama saja. Kadang fatwa itu bersifat preventif karena melihat realita, contoh muamalah dengan kripto, ada fatwa yang kembali ke hukum asal sehingga sangat relatif dan tidak perlu dibenturkan. Dalam khasanah sains modern, semua teori itu dibangun berdasarkan beberapa asumsi, ketika asumsi tidak berlaku maka teori itu tidak akan akurat sehingga kadang orang mengatakan teori kok beda dengan realita, ya karena teori dibangun di atas asumsi yang belum tentu terpenuhi. Sebagian ilmuwan ada yang berkata semua teori itu "salah" tetapi ada manfaatnya. Bagi yang mau lebih paham silakan mengkaji I'lamu Al-Muwaqi'in Ibnu Al-Qayyim rahimahullaah.
Ustadz noor akhmad setiawan
Langganan:
Postingan (Atom)