*Syubhat Suami Pelaku KDRT #3:*
_Istri tidak boleh cerita kepada orang lain bahwa ia dipukul oleh suaminya. Jika ia menceritakannya, berarti ia mengghibah suami dan mengumbar aib keluarga!_
*Jawab:*
Pelaku KDRT yang memiliki keyakinan demikian sebenarnya menyadari apa yang ia lakukan adalah kesalahan. Buktinya ia malu jika diketahui oleh orang lain. Andaikan KDRT yang ia lakukan adalah kebenaran, mengapa ia enggan diketahui oleh orang lain? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ
“Kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu” (HR. Ahmad no.17545, Al Albani dalam Shahih At Targhib [1734] mengatakan: “hasan li ghairihi“).
Dahulu para sahabat dan sahabiyah biasa berkonsultasi menceritakan prahara rumah tangga mereka kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, dalam rangka mencari solusi dan bantuan. Dan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam tidak menganggapnya sebagai ghibah atau membongkar aib.
عَنِ الْحُصَيْنِ بْنِ مِحْصَنٍ أَنَّ عَمَّةً لَهُ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ فَفَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ كَيْفَ أَنْتِ لَهُ قَالَتْ مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ قَالَ فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
Dari Al Hushain bin Mihshan bahwa bibinya pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk suatu keperluan. Setelah urusannya selesai, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya kepadanya: "Apakah kamu mempunyai suami?" ia menjawab, "Ya." Beliau bertanya lagi: "Bagaimanakah sikapmu terhadapnya?" ia menjawab, "Saya tidak pernah mengabaikannya, kecuali terhadap sesuatu yang memang aku tidak sanggup." Beliau bersabda: "Camkanlah selalu, akan posisimu terhadapnya. Sesungguhnya yang menentukan surga dan nerakamu terdapat pada (sikapmu terhadap) suamimu." (HR. Ahmad no.19025, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no.1933).
Dari jalur ‘Amr bin Maimun dari ayahnya, ia berkata:
من طريق عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ , عَنْ أَبِيهِ , قَالَ: قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ:”أَيْنَ تَعْتَدُّ الْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا؟ فَقَالَ: فِي بَيْتِهَا ، فَقُلْتُ لَهُ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ؟ فَقَالَ: تِلْكَ الْمَرْأَةُ فَتَنَتِ النَّاسَ , وَاسْتَطَالَتْ عَلَى أَحْمَائِهَا بِلِسَانِهَا ، فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ ، وَكَانَ رَجُلًا مَكْفُوفَ الْبَصَرِ
“Aku berkata kepada Sa’id bin Musayyab: Di mana seorang wanita yang ditalak tiga menjalani masa iddah? Beliau menjawab: “Di rumahnya”. Lalu aku berkata: Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyuruh Fathimah binti Qais untuk menjalani masa ‘iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum? Maka Sa’id bin Musayyab menjawab: “Wanita tersebut telah menimbulkan fitnah bagi banyak orang, panjang lisannya kepada saudara suaminya (menyakiti suaminya dengan lisannya), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya untuk menjalani masa ‘iddah di rumah Abdullah bin Ummi Maktum, beliau termasuk orang yang tidak bisa melihat.” (Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar, 3/69).
Permasalahan rumah tangga Abdullah bin Umar radhiallahu'anhuma:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما : «أنه طلق امرأته وهي حائض، فذكر ذلك عمر لرسول الله صلى الله عليه وسلم ، فَتَغَيَّظَ منه رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ثم قال: لِيُرَاجِعْهَا، ثم لِيُمْسِكْهَا حتى تَطْهُرَ، ثم تَحِيضُ فَتَطْهُرَ، فإن بدا له أن يطلقها فليطلقها طاهرًا قبل أن يَمَسَّهَا، فتلك العِدَّةُ، كما أمر الله عز وجل ». وفي لفظ: «حتى تَحِيضَ حَيْضَةً مُسْتَقْبَلَةً، سِوَى حَيْضَتِهَا التي طَلَّقَهَا فيها». وفي لفظ «فحُسِبَتْ من طلاقها، ورَاجَعْهَا عبدُ الله كما أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم ».
[صحيح] - [متفق عليه]
Dari Abdullah bin Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- bahwa ia menceraikan istrinya yang sedang haid. Lalu Umar menceritakannya pada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- langsung marah karena hal tersebut, kemudian bersabda, "Hendaknya ia merujuknya, kemudian mempertahankannya sampai ia suci, kemudian haid lalu suci lagi. Jika ia masih ingin menceraikannya, maka silahkan menceraikannya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah masa iddah seperti yang diperintahkan Allah -Azzā wa Jallā-." Dalam redaksi lain, "sampai ia haid satu kali berikutnya, bukan haid yang saat itu ia menceraikannya." Dalam redaksi lain lagi, "Ia dihitung dari talaknya itu, dan Abdullah lalu merujuknya sebagaimana diperintahkan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-." (Muttafaq ‘alaihi).
Dan contoh-contoh lainnya. Oleh karena itu menceritakan masalah rumah tangga kepada orang yang dapat memberikan solusi dan bantuan tidaklah termasuk ghibah yang terlarang.
Disebutkan dalam bait syair Muhammad bin Aujan:
القدح ليس بغيبة في ستة *** متظلم ومعرّف ومحذّر
ومجاهر فسقا ومستفت *** ومن طلب الإعانة في إزالة منكر
Menyebut keburukan orang bukan ghibah dalam 6 keadaan
1. mutazhallim (orang yang dizalimi)
2. mu'arrif (orang yang sedang menyebutkan identitas)
3. muhadzir (orang yang sedang mentahdzir)
4. mujahir fisqan (bicara tentang orang yang menampakkan maksiat terang-terangan)
5. mustaftin (orang yang sedang meminta fatwa)
6. man thalabal i'anah li izaalati munkarin (orang yang sedang meminta pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, "Jika aku mengeluh kepada orang tuaku tentang kezaliman suami yang dilakukan suamiku, apakah ini termasuk ghibah dan namimah?"
Beliau menjawab:
"Ini bukan termasuk ghibah dan bukan pula termasuk namimah. Karena Allah ta’ala berfirman:
لَّا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi” (QS. An Nisa: 148).
Maka orang yang dizalimi boleh mengadukan kezaliman yang ia alami kepada orang yang bisa memberikan jalan keluar dari kezaliman tersebut"
(Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=Y2V-kiQLk1E).
Selain itu KDRT adalah perkara yang membahayakan diri. Dan Islam mensyariatkan untuk menjauhkan diri dari kondisi bahaya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”. (HR. Ahmad I/313 no.2867, dan Ibnu Majah no.2431, dihasankan oleh An Nawawi dalam Al Adzkar no.32).
Oleh karena itu, istri yang menjadi korban KDRT oleh suaminya boleh menceritakannya kepada orang tuanya atau kepada pihak-pihak yang bisa memberikan bantuan kepadanya. Dan ini tidak termasuk ghibah dan tidak termasuk membongkar aib. Bahkan termasuk perkara yang disyariatkan untuk menghindarkan diri dari bahaya.
Wallahu a'lam.
Join channel telegram @fawaid_kangaswad