Meluruskan Kerancuan Aqidah Ahli Kalam tentang Kalamullah
Mudah sekali untuk mengetahui kerancuan aqidah ahli kalam, tanyakan saja, yang berbicara kepada Nabi Musa 'alaihissalam itu apakah Allah langsung, atau suara yang Allah ciptakan, ataukah perantara yang menyampaikan firman Allah?
Kalau suara yang diciptakan (makhluk) yang berbicara, maka ini keyakinan syirik, karena di dalamnya ada perkataan, "Sesungguhnya Aku adalah Allah." (QS. Thaha : 14). Ini berarti menuhankan makhluk. Tidak boleh makhluk berkata, "Aku adalah Allah."
Kalau perantara yang menyampaikan firman Allah, maka tidak bisa dikatakan, "Allah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benar pembicaraan" (QS. An-Nisa : 164). Kalau dengan perantara tidak bisa Nabi Musa dikatakan sebagai kalimullah, yang itu merupakan kestimewaannya.
Maka tidak ada kemungkinan lain melainkan yang berbicara adalah Allah langsung.
Kalau ini diterima, maka konsekwensinya adalah meyakini bahwa kalamullah itu dengan huruf dan suara, tentu yang sesuai dengan keagungan Allah, tidak sama dengan huruf dan suara makhluk. Karena yang didengar oleh Nabi Musa, sebagai manusia, adalah berupa huruf dan suara.
Kemudian meyakini bahwa kalamullah itu secara satuannya adalah baharu (mutajaddid) dan secara jenisnya adalah qadim (sejak dahulu, tidak bermula). Artinya, secara jenisnya Allah itu mutakallim (yang berbicara), sejak dahulu tidak bermula. Tidak pernah Allah itu tidak mampu bicara lalu berubah menjadi mampu bicara. Namun secara satuannya ia baharu, artinya sebelumnya Allah tidak berbicara kepada Nabi Musa, lalu kemudian berbicara kepadanya. Baharu di sini bukan berarti makhluk yang diciptakan, tidak ada konsekwensi seperti itu. Baharu di sini maksudnya adalah perbuatan Allah yang dilakukan sesuai kehendak-Nya, jika Ia berkehendak Ia berbicara, jika tidak berkehendak Ia tidak berbicara. Ini yang disebut sifat fi'liyyah atau sifat ikhtiyariyyah yang mencakup berbicara, mencintai, murka, meridhai, marah, datang, turun, dsb.
Inilah tiga pokok aqidah Ahlus Sunnah tentang kalamullah, yaitu : (1) menetap pada zat Allah (qaim bidzatillah) artinya Allah langsung yang berbicara, (2) ia berupa huruf, suara dan makna sekaligus, dan (3) qadim secara jenis dan baharu secara satuan (qadimun nau', mutajaddidul aahaad).
Wallahul Muwaffiq
(Muhammad Atim)