Selasa, 08 Agustus 2023

Penjelasan sederhana masalah perbedaan ulama dalam pendefinisian hakikat bid'ah, dan adakah bid'ah hasanah secara hakiki?:::....

...:::Penjelasan sederhana masalah perbedaan ulama dalam pendefinisian hakikat bid'ah, dan adakah bid'ah hasanah secara hakiki?:::....

Berkata Yahya bin Mu'adz Arroozy: "Perselisihan manusia (dalam agama) semua kembali pada 3 hal dan semuanya ada lawannya, terjadi pada tauhid berlawanan dengan syirik, Sunnah berlawanan dengan bid'ah, ketaatan berlawanan dengan maksiat" 

Allah ﷻ memerintahkan kita untuk mengikuti Nabi-Nya, dan menjadikan hal ini sebagai bukti cinta, dan tidak mengada-adakan cara ibadah yang bertujuan taqorrub kepadaNya, 
mencari pahala dan ridhoNya, 
kecuali dengan petunjuk nabiNya ﷺ.

*Cara mengenal bid'ah.
Dari praktek tabdi' para sahabat kita akan faham, bahwa bid'ah terjadi saat seseorang melakukan inovasi dalam ibadah yang seharusnya butuh bimbingan wahyu namun dia mengarang sendiri didalam penetapan fadhilah dalam cara, pengkhususan waktu, atau tempat dalam urusan agama yang mana itu seharusnya hal itu membutuhkan wahyu karena tak dapat dicerna akal. Jikalah manuasia diizinkan melakukan hal itu tentu tak ada faedahnya Allah mengutus para Rasul. Mereka para sahabat radhiallahu 'anhum selalu mengingkarinya dengan keras saat terjadi hal itu, namun ketika datang ilmu bahwa itu ada petunjuk dari Nabi ﷺ baru mereka ruju' jika tidak, maka mereka ingkari dengan keras. Banyak contoh riwayat pada masalah ini silahkan ruju' salah satunya kitab ilmu usul bida' Syaikh Ali Hasan alhalaby rahimahumallah. Contoh praktek sahabat diantaranya adalah pengingkaran Sa'ad bin Abi waqqash saat mendengar talbiyah seorang sahbaat :'labaik dzal ma'arij' beliau mengingkari dan berkata : "ucapanmu haq namun caramu belum aku dengar dari Nabi ﷺ!!" Lalu ketika beliau mendengar kabar taqrir Nabi ﷺ beliau pun ruju', sebab dzikir dalam ibadah sifatnya adalah tertentu dan perlu dalil beda dengan doa. Jika hal itu dibolehkan inovasi yang penting baik tentu Sa'ad tidak akan mengingkarinya. Begitu juga pengingkaran Nabi ﷺ pada Abi bakrah saat merubah lafadz dzikir wirid menjelang tidur "nabiyika" menjadi "rasulika", padahal maksud dan lafadznya lebih baik secara akal.
 Dan banyak contoh secara jelas  mengenai tabdi' para sahabat, bahkan sebagian riwayat jelas dengan pengingkaran mereka dengan lafadz "ini bid'ah!!"
--
*Definisi terbaik.
Banyak sekali definisi bid'ah dari para ulama.
Berkata Abu Syamah Al-Maqdisi dalam kitab inkarul bida' h.20 : "kebanyakan lafadz bid'ah digunakan atas perkara baru yang makruh dalam agama ketika dimutlakkan, dan hampir-hampir lafadz mubtadi' tidak digunakan kecuali pada makna yang tercela"

Adapun jika yang dimaksud adalah secara bahasa maka dia digunakan pada masalah yang terpuji dan tercela.

Sehingga definisi terbaik yg dipilih imam Syatibi pada bid'ah adalah: "sebuah jalan dalam urusan agama yang diada-adakan yang menyerupai syari'at dengan tujuan ibadah kepada Allah"
Lalu beliau menjelaskan "menyerupai syariat" maksudnya mirip syari'at padahal hakikatnya adalah menantang!, dikarenakan adalanya iltizam pada kaifiyah atau cara, haiah atau keadaan yang tertentu tanpa izin dari Allah.

*Sebuah bahasan bagus tentang hakikat bid'ah Hasanah, kami ambil dari https://salafcenter.org/6016 dengan beberapa ringkasan dan tambahan

Nabi ﷺ bersabda:
 " hal-hal terburuk adalah hal-hal  baru yg diada-adakan.” "Dan setiap hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah neraka.”[2]

Hadits-hadits ini dan lainnya telah jelas mengungkapkan kekhususan bid'ah dalam agama.

Dan jika larangan bid'ah dalam agama adalah dalam konteks yang sangat nyata seperti ini, tidak akan ada lagi jalan yang tersisa oleh para ahli bid'ah untuk mengelak jika bid'ah yg mereka buat dalam urusan agama dicela.

Namun mereka menempuh jalan lain:
Dikatakan: Mereka berpendapat bahwa tidak semua bid'ah dalam agama itu diharamkan, dan mayoritas ulama ada di sana, dan mereka membolehkan berbagai jenis bid'ah, seperti: merayakan Maulid Nabi ﷺ, tahlilan, dan mengalokasikan beberapa tempat khusus untuk jenis ibadah tertentu yang tidak ada dalilnya([3]), dan mereka menyimpulkan bahwa itu tidak mengapa. 

Alasan mereka karena setiap bid'ah dalam agama yang dilarang telah dikhususkan oleh dua hal:

Yang pertama: hadits “Barang siapa yang mengerjakan amalan yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya”([4]), sehingga mereka menyebutkan bahwa hadits tersebut menunjukkan kebolehan bid'ah dalam agama, asalkan itu baik, maka hadits ini adalah takhsis (pengkhususan) untuk hadits: “Setiap bid’ah adalah sesat.” .

Kedua: pernyataan para ulama tentang pembagian bid'ah menjadi bid'ah yang baik dan bidah yang buruk, dan itu banyak ([5]).

Maka kami merangkum bantahan terhadap syubhat ini dengan kita katakan;

Bid’ah secara bahasa berarti: apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya.

Adapun secara syar'i atau terminologi: ulama memiliki dua cara untuk mendefinisikannya.

Metode pertama: Ia membatasi makna hukum bid'ah secara syar'i merupakan sebagian dari makna bid'ah secara bahasa,  (yaitu lebih khusus dari makna bahasa) yaitu: mengada-adakan  sebuah hukum atau cara  dalam agama, cara yang dimaksudkan adalah apa yang digunakan didalam hukum-hukum syar'i ([7]).
Yang dimaksud adalah ibadah yang mahdhoh  ([8]), jadi bid'ah disini adalah mengadakan hukum atau cara untuk mendekatkan diri pada Allah yang tidak disyari'atkan. (Yaitu pengkhususan cara, tempat, waktu, jumlah yang tidak ada syari'atnya dari Allah)

Tidak ada sebuah ibadah mahdhoh kecuali maksudnya adalah taqorrub pada Allah, seperti: shalat dan puasa.  Atau Bisa jadi ghoiru mahdhoh, jika perbuatan itu semula mubah dan berubah menjadi taqorrub dan ketaatan dengan niat, jika dimaksudkan untuk mencapai nilai ibadah yang sah, seperti mengunjungi anak dan tetangga misalnya ([9]).

Oleh karena itu, pengertian bid'ah syar'i  lebih spesifik daripada bid'ah secara bahasa.

Dan hadits “setiap bid’ah adalah sesat” yang dimaksud adalah bid’ah secara syar'i. Bukan secara bahasa.

Sehingga hukum bid'ah adalah haram, semuanya tercela. (Tak ada yg hasanah)

Di antara mereka yang menyatakan ini: Ibnu Taimiyah([10]), 
Ibnu Rajab([11]), 
Ibnu Katsir ([12]), dan lain-lain.
Dan saya katakan hampir 99 persen ulama Saudi dan para muridnya berpendapat seperti ini juga.

Adapun perkataan beberapa ulama yg terdahulu tentang pembolehan beberapa bid'ah, yaitu maksudnya  adalah bid'ah secara bahasa, bukan pembenaran bid'ah dalam agama yg tak ada contoh sama sekali ([13]).

Di antara bukti terkuat untuk itu adalah generalisasi tegas dalam sabda Nabi, ﷺ: “Setiap hal yang baru yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan adalah dalam Neraka." Rumusan ini merupakan salah satu rumusan umum yang paling kuat.

Ibnu Rajab berkata: “Maka sabdanya, ﷺ: (Setiap bid'ah adalah sesat) adalah salah satu perkataan yang paling komprehensif, dan tidak ada yang salah darinya, dan itu adalah prinsip besar dari prinsip-prinsip syariat agama”([14]).

Adapun bentuk kedua dalam mendefinisikan bid'ah: itu adalah "setiap hal yang baru yg diada-adakan."

Contoh nyata adalah imam An-Nawawi berkata: "Bid'ah dalam Syariah: Ini adalah sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada di masa Rasulullah ﷺ " , s([15]). Definisi beliau ini sangatlah luas nyaris tanpa batas.

Dengan demikian, dapat difahami bahwa bid'ah bagi mereka adalah menyeluruh yaitu sebagaimana definisi  bid'ah secara bahasa.

Oleh karena itu, hukum bid'ah menurut golongan ini terbagi menjadi lima hukum; (halal haram sunah mubah makruh) Apa yang terjadi pada masa setelah Nabi ﷺ.

Di antara yang paling terkenal dengan definisi ini dan konsekwensinya adalah Al-Izz ibn Abdis Salam, dia berkata: “ Bid'ah adalah melakukan sesuatu yang tidak dikenal di era Rasulullah,   [16].

Tidaklah heran dari definisi  bid'ah mereka disini bahwa bid'ah dalam pandangannya - dan menurut para ulama selainya dari arah ini -: adalah "setiap hal yang baru ditemukan".

Di antara mereka yang mengambil jalan ini: 
1. Al-Nawawi([17]), 
2. Al-Ghazali([18]), 
3. Ibn Hazm([19]), 
4. Ibn Al-Atheer([20]), 
5. Abu Syamah([21]) dan lain-lain.
Sebagai tambahan : termasuk juga imam Assuyuthy, yaitu termasuk ulama yang membagi bid'ah dengan beberapa macam jenis, dan memasukkan perkara yang tidak bertentangan dengan syariat kedalam jenis bid'ah juga, dalam agama maupun selainya sehingga beliau imam Assuyuthy dalam kitab beliau Al-amru bil-ittiba' h.301 mengatakan membangun rumah dengan bata dan plester adalah termasuk bid'ah!
Padahal itu sama sekali bukanlah bid'ah dalam konteks definisi kelompok yg pertama .

Jadi: DEFINISi pertama BUKANLAH definisi bid'ah yg dimaksud menurut golongan kedua.

Oleh karena itu KURANG TEPAT jika dikatakan: Para ulama berbeda pendapat tentang hukum  bid'ah menjadi dua, karena keduanya berbeda cakupan masalah saat mendefinisikanya.  Yang pertama sempit hanya masalah agama, yang kedua luas pada masalah agama maupun yang diluarnya.

Hal ini dapat kita lihat dengan mencari perbedaan pendapat dalam dua hal:

Pertama: Apakah ada perbedaan pendapat diantara mereka bahwa pada ibadah mahdhoh untuk mendekatkan diri pada Allah, itulah yang dimaksud pada hadits setiap bid’ah sesat? (Tidak ada) Yang artinya ini adalah definisi bid'ah pada pendapat ulama yg pertama. (Bid'ah diabatasi hanya pada masalah agama)

Kedua: Apakah ada perbedaan pendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi setelah zaman kenabian selalu tercakup oleh lima hukum?  (Tidak ada)  Yang merupakan arti bid'ah bagi golongan kedua. (Bid'ah secara bahasa tidak dibatasi hanya pada agama saja)

Adapun yang pertama: para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan untuk beribadah mahdhoh kepada Allah kecuali dengan apa yang telah Dia tetapkan, dan tidak seorang pun dari kelompok kedua mengatakan: Hal ini diperbolehkan untuk melakukannya ([22]), diantara mereka bahkan ada yang menyatakan secara keras bahwa itu dilarang.

Ibnu Hajar al-Haytami - yang merupakan salah satu yang membagi bid'ah ke dalam lima kategori - mengatakan: " Bid'ah dalam Ibadah  adalah kesesatan seperti yang dikatakan Nabi ﷺ".

Adapun yang kedua: Demikian juga, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa segala sesuatu yang terjadi setelah zaman kenabian akan masuk pada lima hukum, dan tidak ada sahabat kelompok pertama yang mengatakan: bahwa segala sesuatu yang terjadi setelah zaman kenabian itu haram.

Jadi perbedaan pendapat antara kedua golongan tersebut hanyalah perselisihan nama yang disebut dengan istilah bid'ah. Atau khilaf lafdzy.

Sebagai contoh perkataan Ibnu Abdis Salaam::
قال ابن عبد السلام: في أواخر القواعد: البدعة خمسة أقسام فالواجبة كالاشتغال بالنحو الذي يفهم به كلام الله ورسوله
"Bid'ah ada 5, contoh yang wajib adalah seperti menyibukkan diri belajar nahwu untuk memahami Kalamullah dan Rasulnya" !!!
Sedangkan hal ini (belajar nahwu) bukanlah bid'ah sama sekali (walaupun dibilang bid'ah hasanah wajibah sekalipun) pada pandangan kelompok pertama namun kalaulah mau sesuai nash kita bilang Sunnah hasanah sebagaimana pada hadits 
"Man sanna sunnatan hasanatan"

Bid'ah  secara bahasa pada pendapat kelompok pertama adalah dimasukkan bid'ah secara umum pada kelompok kedua.  Yaitu bid'ah secara bahasa adalah bid'ah yang masuk 5 hukum dari kelompok kedua.

Adapun perbedaan dari kedua pandangan tersebut adalah: Apakah bid'ah secara bahasa disebut juga sebagai bid'ah secara syar'i atau tidak?

Mereka yang mengatakan yang pertama mengatakan: Tidak.  Berdasarkan hal ini, hadits “Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik dalam Islam” khusus untuk bid'ah secara bahasa (secara syar'i tak termasuk bid'ah), dan hadits "Setiap bid'ah adalah kesesatan" khusus untuk bid'ah dalam hukum syar'i.

Dalam hal ini terjagalah keumuman dalam hadits kedua dari takhsis hadits pertama. Yaitu tetap dalam keumumanya semua bid'ah sesat dan tidak ada takhsis.

Adapun mereka yang mengikuti pendapat kedua menjadikan takhsis hadits kedua pada hadits pertama.

Meskipun perbedaan dalam penamaan ini tidak berpengaruh pada keputusan hukum (seharusnya);  Namun, pendapat pertama adalah yang lebih baik;  Karena kata bid’ah jika kita dengar maka yang terlintas dalam pikiran secara langsung otomatis adalah yang dimaksudkan pada perkara ibadah, dan bukan pada semua bentuk bid'ah secara umum. apalagi hal ini tidak mengarah pada maksud dalam hadits kedua.

Namun ketahuilah kemudian hal ini telah menghalangi langkah orang-orang yg mereka  menggunakan perbedaan lafdzy ini - secara tidak tepat - untuk membenarkan bid'ahnya, (maulidan, tahlilan, dan cara-cara ibadah yang tak di contohkan Nabi ﷺ), sehingga mereka selalu berdalil dengan adanya bid'ah hasanah!! Padahal maksud para ulama tidak seperti yang merek klaim, untuk tahlilan, dzikir jamaah, dll. Allahul musta'an.

Kesimpulan: 

Perbedaan yg ada diantara para ulama diatas adalah perbedaan penamaan dalam apa yang dimutlakkan pada istilah bid'ah, sehingga arti bid'ah yang dimutlakkan dan didefinisikan kelompok pertama, sama sekali tidak dirincikan oleh kelompok kedua, dari definisi yang kedua. 
Dan apa yang di rincikan (menjadi 5 hukum) kelompok kedua juga tidak dimutlakkan oleh kelompok pertama, sehingga hasilnya yang lebih tepat adalah tidak bisa dikatakan: ada bid'ah (secara syar'i) yang hasanah dalam Islam,  Jadi, bid'ah hukum - yang dilakukan dalam ibadah yg murni  - tidak pernah diucapkan oleh siapa pun kebolehannya diantara ulama, dan khilaf mereka (pembagian bid'ah) bukan dalam makna ini. Hanya saja pada apa yang sebagaimana telah kita bahas diatas. 

Maka jikalah mau dikatakan hasanah, maka lebih tepat dan sesuai nash hadits adalah sunnah hasanah bukan bid'ah hasanah. Sebagaimnaa perkataan Ibnul Atsir sendiri yg telah membagi menjadi 5 jenis bid'ah beliau juga mengatakan: 
والبدعة الحسنة في الحقيقة سنّة
Bid'ah Hasanah hakikatnya adalah Sunnah (hasanah).

Semoga jelas dan bermanfaat.

Wallahu a'lam..
Wabillahit taufiiq.

MBS~
MasBaguS.

Sumber :
Ilmu usul bida' Syaikh Ali Hasan, Al-amru bil-ittiba' imam Suyuthi, Wikipedia, dll dan terjemahan bebas dari artikel:
https://salafcenter.org/6016/

ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ

([1]) رواه البخاري (2697) ومسلم (1718).

([2]) رواه أبو داود (4607)، والنسائي (1578)، وابن ماجه (45)، وصححه الألباني في الصحيحة (6/526، 2735).

([3]) انظر: “مفهوم البدعة” لعبدالإله العرفج، فالجانب التأصيلي للكتاب مبني على هذا.

([4]) رواه مسلم (1017).

([5]) سيأتي الإشارة إليها قريبًا.

([6]) انظر مادة بدع: “العين” (2/54).”معجم مقاييس اللغة” (1/209)، و”المحكم والمحيط الأعظم” (2/33).

([7]) الاعتصام (ص 28).

([8]) جامع العلوم والحكم (ص 84).

([9]) تحرير معنى البدعة (171-172).

([10]) الاستقامة (1/42)، مجموع الفتاوي (4/107).

([11]) جامع العلوم والحكم (358-359).

([12]) تفسير ابن كثير (2/38).

([13]) انظر: “جامع العلوم والحكم” (358-359).

([14]) جامع العلوم والحكم (ص358).

([15]) تهذيب الأسماء واللغات (3/22).

([16]) قواعد الأحكام (2/337).

([17]) شرح النووي على صحيح مسلم (6/393).

([18]) إحياء علوم الدين (3/6).

([19]) الإحكام (1/75).

([20]) النهاية في غريب الحديث والأثر (ص 67).

([21]) الباعث على إنكار البدع والحوادث (20-21).

([22]) “الميزان بين السنة والبدعة” لمحمد دراز (ص 46).

([23]) الفتاوى الحديثية (ص 200).

https://salafcenter.org/6016/

#rudud
Ustadz bagus Wijanarko