Kamis, 21 Oktober 2021

Syubhat pelaku riba: daripada miskin lebih baik melakukan riba

Syubhat pelaku riba: daripada miskin lebih baik melakukan riba 

Mereka berdalil dengan hadits:

كادَ الفقرُ أن يَكونَ كُفرًا وَكادَ الحسَدُ أن يغلبَ القدرَ

"Terkadang kefakiran akan membawa kepada kekufuran. Terkadang hasad dapat mendahului takdir"

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' (3/53) juga oleh Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (2/486/1), dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu. 

Riwayat ini dha'if karena dalam sanadnya terdapat Yazid bin Aban Ar Raqqasyi. Ibnul Jauzi mengatakan: "Yazid bin Aban Ar Raqqasyi dikatakan oleh Imam Ahmad: ia tidak ditulis haditsnya, dan haditsnya munkar. Yahya bin Ma'in mengatakan: ia lelaki yang shalih, namun haditsnya tidak bernilai sama sekali. An Nasa'i mengatakan: ia matrukul hadits. Ad Daruquthni mengatakan: ia dha'if. Ibnu Hibban mengatakan: ia dahulu adalah orang pilihan dalam masalah ibadah, sering menangis (karena takut kepada Allah), namun ia lalai dalam menghafal hadits saking sibuknya dengan ibadah" (Adh Dhu'afa wal Matrukin karya Ibnul Jauzi).

Terdapat riwayat dari jalan lain yang diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Mu'jamul Ausath, dari Anas bin Malik, dengan lafazh:

كادَ الحسدُ أن يسبِقَ القدرَ وَكادتِ الحاجةُ أن تَكونَ كُفرًا

"Terkadang hasad dapat mendahului takdir. Terkadang hajat (kemiskinan) dapat menyebabkan kekufuran".

Riwayat ini juga dha'if karena terdapat perawi Utsman bin Qais Al Kullabi. Al Haitsami dalam Majma' az-Zawaid mengatakan: "Ia ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban, padahal ia adalah perawi yang matruk".

Terdapat jalan lain yang diriwayatkan oleh Afif bin Muhammad Al  Khathib dalam kitab Al Manzhum wal Mantsur (2/188) dari Anas bin Malik, dengan lafadz:

كادت النميمة أن تكون سحرا، و كاد الفقر أن يكون كفرا

"Terkadang namimah menjadi sihir. Terkadang kefakiran membawa kepada kekufuran".

Namun riwayat ini maudhu' (palsu), karena terdapat perawi Muhammad bin Yunus Al Kadimi yang merupakan pemalsu hadits.

Kesimpulannya, hadits ini DHA'IF (lemah), tidak bisa menjadi dalil. Hadits ini didha'ifkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al 'Ilal Al Mutanahiah (2/805), As Sakhawi Al Maqashid Al Hasanah (368), dalam Az Zarqani dalam Mukhtashar Al Maqashid Al Hasanah (731), Al Albani dalam Silsilah Adh Dha'ifah (1905).

Dan andaikan hadits ini shahih pun, tidak benar diambil pemahaman bahwa miskin = kufur, sehingga lebih baik makan riba daripada miskin. Sama sekali tidak ada makna demikian. 

Adapun jika dimaknai bahwa kemiskinan terkadang akan menyeret seseorang untuk melakukan kekufuran, ini makna yang benar, sebagaimana dijelaskan para ulama ketika mensyarah hadits ini. 

Namun tetap saja ini tidak melegalkan riba. Karena:

1. Tidak ada orang yang miskin karena enggan melakukan riba 
Karena bumi Allah itu luas, pekerjaan bermacam-macam, cara menjemput rezeki yang halal ada jutaan cara. Hampir tidak mungkin terjadi pada seseorang, satu-satunya cara untuk bisa makan adalah dengan riba. 

2. Tujuan tidak menghalalkan segala cara 
Memang benar, kita disyariatkan untuk bekerja dan menghindari kemiskinan. Bahkan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam mengajarkan kita doa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِن الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ

"Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kekufuran, kemiskinan dan azab kubur" 

Namun tujuan tidak menghalalkan segala cara. Menghindari kemiskinan tidak boleh dengan cara-cara haram. Dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu, bahwa Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

يَأْتي علَى النَّاسِ زَمانٌ، لا يُبالِي المَرْءُ ما أخَذَ منه، أمِنَ الحَلالِ أمْ مِنَ الحَرامِ

“Akan datang suatu zaman yang ketika itu manusia tidak lagi peduli dengan harta yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?” (HR. Bukhari no. 2059).

Dan bagaimana mungkin seseorang menghindarkan diri dari kemiskinan dengan dalih hadits "Terkadang kefakiran akan membawa kepada kekufuran" sedangkan ia melakukan riba yang juga dilarang oleh hadits-hadits Nabi. Ini namanya paradoks!

3. Riba adalah dosa besar, yang juga bisa membawa kepada kekufuran 
Kita semua sudah ketahui bahwa riba adalah dosa besar. Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ

"Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apa saja itu? Rasulullah menjawab: berbuat syirik terhadap Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina" (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89).

Dan para ulama mengatakan:

المعاصي بريد الكفر

"Maksiat adalah sarana menuju kekufuran".

Maka riba itu jika pelakunya tidak segera bertaubat, bukan tidak mungkin akan terus membawa ia lebih jauh sampai pada kekufuran. 

Terlebih lagi jika sampai menganggap riba itu halal. Orang seperti ini ulama sepakat tentang kufurnya. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:

ومن اعتقد حل شيء أجمع على تحريمه وظهر حكمه بين المسلمين وزالت الشبهة فيه للنصوص الواردة فيه كلحم الخنزير والزنى وأشباه ذلك مما لا خلاف فيه كَفَر

"Siapa yang meyakini halalnya suatu perkara yang disepakati keharamannya oleh para ulama, dan telah tersebut di tengah kaum Muslimin tentang haramnya hal tersebut, dan tidak ada syubhat lagi terhadap nash-nash yang membahas hal tersebut, seperti haramnya daging babi, haramnya zina, dan semisalnya, maka tidak ada khilaf tentang kekufurannya" (Al Mughni, 12/176).

Maka, silakan saja berusaha menghindarkan diri dari kemiskinan, namun jangan dengan cara-cara riba. Semoga Allah ta'ala memberi taufik. 

.

(Takhrij hadits diringkas dari kitab As Silsilah Al Ahadits Adh Dha'ifah karya Syaikh Al Albani rahimahullah dengan beberapa tambahan)

Join channel telegram @fawaid_kangaswad