Rabu, 19 Mei 2021

Sholat empat rakaat setelah Isya

Sholat empat rakaat setelah Isya

Pertama:

Terdapat ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa salam bahwa beliau shalat setelah isya’ empat rakaat ketika beliau pulang ke rumahnya. Hal itu Terdapat hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata:

" بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلم ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا ، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ، ثُمَّ نَامَ ، ثُمَّ قَامَ ، ثُمَّ قَالَ : ( نَامَ الغُلَيِّمُ )، أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا ، ثُمَّ قَامَ ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ ، فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ نَامَ ، حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ  (رواه البخاري، رقم 117) .

“Saya menginap di rumah bibiku Maimunah binti Haritsah istri Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Dimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam malam itu di rumah beliau. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam menunaikan shalat isya’ kemudian datang ke rumahnya, dan shalat empat rakaat. Kemudian beliau tidur dan mengatakan, “Anak kecil telah tidur. Atau mengatakan semisal itu, kemudian beliau berdiri (shalat). Kemudian saya berdiri (shalat) disisi kirinya, dan beliau memindahkan sebelah kanannya. Kemudian shalat lima rakaat. Kemudian shalat dua rakaat dan setelah itu tidur. Sampai saya mendengar dengkurannya. Kemudian keluar menunaikan shalat.” (HR. Bukhori, no. 117).

Bahkan Terdapat dalam hadits lain – meskipun ada sedikit lemahnya- bahwa Nabi sallallahu alahi wa sallam biasanya beliau menunaikan shalat empat rakaat setelah isya’.

Dari Aisyah radhiallahu anha berkata:

مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ قَطُّ فَدَخَلَ عَلَيَّ إِلَّا صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَوْ سِتَّ رَكَعَاتٍ (رواه أبو داود، رقم 1303 وضعفه الألباني في " ضعيف أبي داود – الأم، 2/57) .

“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam tidak pernah shalat isya’ kemudian masuk ke (rumahku) melainkan beliau shalat empat rakaat atau enam rakaat.” (HR. Abu Daud, no. 1303, dilemahkan oleh Al-Albany dalah Dhaif Abi Daud, Al-Umm, no. 2/57).

Hadits yang semisalnya dari Abdullah bin Zubair berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى الْعِشَاءَ رَكَعَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ، وَأَوْتَرَ بِسَجْدَةٍ ، ثُمَّ نَامَ حَتَّى يُصَلِّيَ بَعْد صَلَاته بِاللَّيْلِ (رواه أحمد في المسند 26/34  طبعة مؤسسة الرسالة ، وضعفه محققو الطبعة لانقطاعه)

“Biasanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam jika selesai shalat isya’, beliau shalat empat rakaat, dan witir dengan satu rakaat. Kemudian tidur dan shalat setelahnya shalat malam.” (HR. Ahmad di Musnad, (26/34) percetakan Muassasah Ar-Risalaah dan dilemahkan oleh peneliti percetakan karena ada keterputusan (sanad))

Maka sunah amaliyah Nabi sallallahu alaihi wa sallam menunjukkan dianjurkannya shalat empat rakaat setelah shalat isya’. Hal itu telah disepakati para ulama disyariatkannya shalat setelah isya’. Baik hadits tentang keutamaannya itu shahih atau tidak.

Sementara para ahli fikih ulama Hanafiyah berpendapat memasukkan empat rakaat setelah isya’ ini termasuk sunah rowatib ba’diyah. Sebagaimana dalam ‘Fahul Qodir, 1-441-449.

Akan tetapi  yang Nampak – wallahu a’lam- ia adalah nafilah mutlak termasuk bilangan qiyamul lail. Sebagaimana yang dinamakan oleh Ibnu Qudamah dalam ‘Mugni, (2/96) sebagai shalat tatowu’ (sunah).

Kedua:

Terdapat keutamaan shalat empat rakaat setelah shalat isya’ lima hadits yang sampai kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam (Marfu) dan sepuluh atsar dari para shahabat, tabiin dari perkataan dan perbuatannya. Ia termasuk banyak sekali haditsnya. Dimana Ibnu Abi SYaibah telah membuat dalam kitab Mushonnafnya bab dengan judul ‘Fi Arbai Rakaat Ba’da Shalatil Isya’ (Empat rakaat setelah shalat Isya’).

Begitu juga yang dilakukan Marwazi dalam kitabnya yang agung ‘Qiyamul lail’ dengan bab ‘Al-Arba Rakaat Ba’da Isya’ Akhirah (Empat rakaat setelah Isya’ terakhir). Begitu juga Baihaqi dalam ‘Sunan Kubro membuat bab dengan judul ‘Bab Man Ja’ala Ba’da Isya’ Arba Rakaat Aktsar (Bab Orang yang menjadikan setelah isya’ empat rakaat atau lebih).

Kami disini akan mengetengahkan hadits dan atsar serta sedikit mengomentarinya.

Hadits pertama: dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ ، وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ ، كَانَ كَعِدْلِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (رواه الطبراني في " المعجم الكبير،  13،14 ص/130 ، وفي " المعجم الأوسط، 5/254)

“Siapa yang shalat Isya’ berjamaah, dan shalat empat rakaat sebelum keluar dari masjid. Maka ia setara lailatul qodar.” (HR. Tobroni dalam ‘Mu’jam Al-Kabir, 13,14, hal/130, dalam Mu’jam Al-Ausath, 5/254).

Berkata, kami diberitahukan Muhammad bin Fadl As-Saqthi, kami diberitahukan Mahdi bin Hafs, kami diberitahukan Ishaq AlAzraq kami diberitahukan Abu Hanifah dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar. Dari jalan Tobroni diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Musnad Abi Hanifah, (hal. 223).

Tobroni mengomentari, hadits ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Umar kecuali dari Muharib bin Ditsar. Dan tidak dari Muharib kecuali Abu Hanifah dan (meriwayatkan) sendiri Ishaq Al-Azraq.

Iraqi rahimahullah mengatakan, “Ada kelemahannya.” Selesai dari ‘Totkhu Tatsrib, (4/162).

Haitsami rahimahullah mengomentari, “Dalam sanadnya (silsilah rowi) ada yang lemah selain dituduh dengan kebohongan.” Selesai dari ‘Majma’ Zawaid, (2/40). Beliau juga mengatakan, “Dalam hadits ada yang lemah.” Selesai dari ‘Majma’ Zawaid, (2/231).

Syekh Albani rahimahullah mengomentari atas perkataan Tobroni ‘Ishaq (meriwayatkan) sendiri seraya mengatakan, “Beliau adalah Ibnu Yusuf Al-Wasithi, terpercaya. Begitu juga seluruh para perowi selain Abu Hanifah rahimahullah. Karena para imam melemahkannya, Al-Hafidz Haitsami mengisyaratkan lemahnya Abu Hanifah dengan mengomentari setelah (menyebutkan) hadits, “Di dalam hadits ada yang lemah. Seakan beliau tidak berani menyebutkan namanya menjaga dari keburukan para pengagum Hanafiyah pada zamannya. Semoga Allah menjaga kejelekan fanatis pelakuknya. Seluruh perowi hadits telah dijelaskan biografinya dalam kitab ‘Tahzib’ selain Siqthi. Beliau dijelaskan biografinya dalam ‘Tarikh Bagdad, (3/153).

Khotib mengatakan, “Beliau tsiqoh (terpercaya) Daruqutni menyebutkan beliau jujur. Selesai dengan diringkas dari ‘Silsilah Ahadits Dhoifah, no. 5060.

Hadits kedua: dari Ibnu Abbas sampai kepada Rasulullah sallallahu alihi wa sallam beliau bersabda:

من صلى أربع ركعات خلف العشاء الآخرة ، قرأ في الركعتين الأوليين : ( قل يا أيها الكافرون ) و ( قل هو الله أحد ) ، وقرأ في الركعتين الأخريين (تنزيل السجدة) و ( تبارك الذي بيده الملك ) كتبن له كأربع ركعات من ليلة القدر . (رواه المروزي في " قيام الليل " ص/92، والطبراني في " المعجم الكبير، 11/437، والبيهقي في السنن الكبرى ، رقم 2/671)

“Siapa yang shalat empat rakaat setelah shalat isya’ terakir, pada dua rakaat pertama membaca (Qulya Ayyuhal kafirun) dan (Qul Huwallahu Ahad). Sementara pada dua rakaat terakhir membaca (Tanzil Sajdah) dan (Tabarokallazi Biyadihil Mulk) maka dia akan ditulis seperti empat rakaat di malam lailatul Qadar.” )HR. Marwazi di ‘Qiyamul Lail, (hal. 92). Tobroni di Mu’jam Kabir, 11/437, Baihaqi di Sunan Kubra, 2/671).

Semuanya lewat jalan Said bin Abi Maryam, saya diberitahu oleh Abdullah bin Farukh, saya diberitahu oleh Abu Farwah dari Salim Al-Aftos, dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas marfu’an (Sampai kepada Nabi).

Baihaqi rahimahullah mengatakan, “Ibnu Farukh Al-Misri (meriwayatkan) sendirian.” Selesai

Sanad (silsilah perowi) ini lemah disebaban Abu Farwah Yazid bin Sinan Ar-Rohawi. Para pengkritis hadits semua sepakat melemahkannya. Bahkan Yahya bin Main mengatakan, “Tidak (punya) sesuatu. Nasa’I mengatakan, “Haditsnya ditinggalkan. Ibnu ‘Adi mengatakan, “Mayoritas haditsnya tidak terjaga. Silahkan melihat ‘Tahzibut Tahzib, (11/336). Oleh karena itu Haitsami melemahkannya dalam ‘Majma Zawaid, (2/231) dan Albani dalam ‘Silsilah Ahadits Dzoifah (ketika menjelaskan hadits no. 5060).

Hadits Ketiga: Dari Anas radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ قَبْلَ الظُّهْرِ كَعِدْلِهِنَّ بَعْدَ الْعِشَاءِ ، وَأَرْبَعٌ بَعْدَ الْعِشَاءِ كَعِدْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (رواه الطبراني في " المعجم الأوسط 3/141)

“Empat rakaat sebelum zuhur seperti setelah isya’. Dan empat rakaat setelah isya’ seperti dari lailatul qadar.” HR. Tobroni di Mu’jam Al-Ausath, (3/141). Dari jalur Yahya bin Uqbah bin Abi ‘Izar dari Muhammad bin Jahadah berkata (Tobroni): Muhammad bin Jahadah tidak meriwayatkan hadits ini kecuali Yahya.”

Sanad ini lemah sekali disebabkan Yahya bin Uqbah bin Abi ‘Izar. Abu Hatim mengomentarinya, Haditsnya ada cacat. Bukhori mengatakan, ‘Haditsnya mungkar. Ibnu Ma’in mengatakan, ‘Pembohong dan tercela. Silahkan melihat ‘Lisanul Mizan, (8/464).

Haitsami rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya ada Yahya bin Uqbah bin Abi ‘Izar beliau lemah sekali.” Selesai dari ‘Majma Zawaid, (2/230).

Albany rahimahullah mengatakan, “Lemah sekali.” Selesai dari ‘Silsilah Ahadits Dhoifah, (no. 2739, 5058).

Hadits keempat: dari Baro’ bin ‘Azib radhiallahu anhu dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ كَأَنَّمَا تَهَجَّدَ بِهِنَّ مِنْ لَيْلَتِهِ ، وَمَنْ صَلَّاهُنَّ بَعْدَ الْعِشَاءِ كُنَّ كَمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ، وَإِذَا لَقِيَ الْمُسْلِمُ الْمُسْلِمَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ وَهُمَا صَادِقَانِ لَمْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يُغْفَرَ لَهُمَا (رواه الطبراني في " المعجم الأوسط 6/254)

“Siapa yang shalat empat rakaat sebelum zuhur, seperti dia melakukan tahajud waktu malamnya. Siapa yang shalat (empat rakaat) setelah isya’. Maka ia seperti dalam lailatul qadar. Ketika seorang muslim bertemu dengan muslim lainnya, dan memegang tangannya keduanya berteman. Keduanya tidak berpisah sampai diampuninya.” (HR. Tobroni dalam ‘Mu’jam Ausath, 6/254). Berkata, kami diberitahu Muhammad bin Ali As-Soig, kami diberitahu Said bin Mansur. Kami diberitahu Nahid bin Salim Al-Bahili kami diberitahu Ammar bin Abu Hasyim dari Robi’ bin Luth dari pamannya Baro’ bin ‘Azib radhiallahu anhu.

Tobroni mengomentari, hadits ini tidak diriwayatkan dari Robi’ bin Luthh kecuali Ammar Abu Hasyim. Dan Nahid bin Salim (meriwayatkan) sendirian.

Haitsami rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya ada Nahid bin Salim Al-bahili dan lainnya. Saya tidak mendapatkan orang menyebutkan mereka.” Selesai dari Majma Zawaid, (2/221).

Albani rahimahullah mengatakan, “Lemah ….. Nahid bin Salim Al-bahili saya tidak mendapatkan biografinya. Dimana Haitsaimi mengomentari hadits ini seraya mengatakan, “Di dalamnya ada rowi Nahid bin Salim Al-Bahili dan lainnya. Saya tidak mendapatkan orang menyebutkan mereka. Selain Bahili saya belum mengetahui maknanya. Melainkan syekh Tobroni. Beliau mengatakan, “Kami diberitahukan Muhammad bin Soig, kami diberitahukan Sain bin Mansur, kami diberitahukan Nahid bin  Salim Al-Bahili…. Akan tetapi Haitsami tidak biasanya beliau berbicara terkait dengan Syekhnya Tobroni yang belum dikenal atau yang masih tersembunyi dimana mereka tidak disebutkan dalam ‘Al-Mizan’ contohnya. Wallahu a’lam selesai dari ‘Silsilah Ahadits Dhoifah, (no. 5053).

Hadits kelima: dari Yahya bin Abi Katsir berkata,

أمر النبي صلى الله عليه وسلم أصحابه أن يقرءوا (الم السجدة) ، و (تبارك الذي بيده الملك) فإنهما تعدل كل آية منهما سبعين آية من غيرهما ، ومن قرأهما بعد العشاء الآخرة كانتا له مثلهما في ليلة القدر " (رواه عبد الرزاق في " المصنف " 3/382)

“Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan para shahabatnya membaca (Alif lam mim Sajdah) dan (Tabarokalladzi bi yadihi al-mulk). Keduanyanya menyamai setiap ayatnya tujuh puluh ayat lainnya. Siapa yang membacanya setelah isya’ terakhir, maka keduanya sama seperti di malam lailatul qadar.” (HR. Abdur Rozaq di ‘Mushonnaf, 3/382).

Dari Ma’mar bin Rosyid dari Yahya bin Abi Katsir secara mursal (tanpa menyebutkan nama shahabat langsung ke Nabi). Yahya bin Abi Katsir termasuk generasi tabiin yunior wafat tahun (132 H) tidak mengetahui siapa yang membawa hadits ini. Tidak tersembunyi lagi, hal ini termasuk sisi yang melemahkan hadits. Silahkan melihat ‘Tahzibul Kamal, 11/269.

Ketiga:

Sementara atsar yang diriwayatkan dari perkataan para shahabat dan para tabiin yang semakna dengan hadits ini yaitu sebagai berikut:

Atsar pertama: dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata:

مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِتَسْلِيمٍ، عَدَلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (رواه ابن أبي شيبة في " المصنف، 2/127)

“Siapa yang shalat empat rakaat setelah isya’ tidak diputus diantaranya dengan salam. Maka (pahalanya) seperti itu di malam lailatul qadar.” HR. Ibnu Abi Syaibah di ‘Mushanaf, (2/127).

Berkata, kami diberitahukan Waki’ dari Abdul Jabar bin Abbas, dari Qois bin Wahb dari Muroh dari Abdullah. Sanadnya ini bagus dan tersambung.

Atsar kedua: dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma berkata:

مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ كُنَّ كَقَدْرِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (رواه ابن أبي شيبة في " المصنف، 2/127)

“Siapa yang shalat empat rakaat setelah isya’, hal itu seperti pada lailatul qadar.” (HR. Ibnu Abi Syaibah di Mushonaf, (2/127) berkata, kami diberitahukan Ibnu Idris, dari Hushoin dari Mujahid dari Abdullah bin Amr)

Kami katakan, sanadnya ini para perowinya terpercaya. Melainkan yang diperselisihkan adalah mendengarnya (atsar) Mujahid dari Abdullah bin Amr bin Ash. Bardiji berkomentar, Mujahid meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abdulah bin Amr. Dikatakan, belum pernah mendengar dari keduanya.” Silahkan melihat ‘Tahzibut Tahzib, (10/43).

Atsar ketiga: dari Aisyah radhiallahu anha berkata:

" أَرْبَعٌ بَعْدَ الْعِشَاءِ يَعْدِلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (رواه ابن أبي شيبة في " المصنف، 2/127)

“Empat (rakaat) setelah isya’ setara (pahalanya) di Malam lailatul qadar.” )HR. Ibnu Abi Syaibah di Mushonaf, 2/172, berkata, “Kami diberitahu Muhammad bin Fushoil dari Ala’ bin Musayyin dari Abdurrahman bin Aswad dari ayahnya dari Aisyah.”

Sanad ini para rowinya terpercaya. Akan tetapi kami belum mengetahui orang yang menyebutkan Abdurrahman bin Aswad termasuk gurunya Ala’ bin Musayyab.

Atsar keempat: dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata:

" مَنْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ فَإِنَّهُنَّ يَعْدِلْنَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ " (رواه محمد بن الحسن الشيباني – كما في الآثار، 1/292)

“Siapa yang shalat empat rakaat setelah isya’ akhir, sebelum keluar dari masjid. Maka hal itu setara dengan empat rakaat di malam lailatul qadar.” (HR. Muhammad bin Hasan Syaiani sebagaimana dalam atsr, (1/292). Dari syekhnya Imam Abu Hanifah. Kami diberitahukan Harits bin Ziyad atau Muharib bin Ditsar –keraguan dari Muhammad- dari Ibnu Umar)

Sanad ini lemah, karena adanya keraguan dan tidak menentu. Harits bin Ziyad kami belum diketahui biografinya. Akan tetapi Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentarinya, “Dia dari Muharib tidak diragukan lagi. Sementara Harits bin Ziyad saya melihat dia tidak pernah disebutkan meriwayatkan dari Ibnu Umar.” (Al-Istar Bima’rifati Ruwatil Atsar, hal. 57)

Atsar kelima: dari Ka’b bin Mati; yaitu Pendeta Ka’ab berkata:

مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ يُحْسِنُ فِيهِنَّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ عَدَلْنَ مِثْلَهُنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Siapa yang shalat empat rakaat setelah isya’ diperbaiki ruku’ dan sujudnya, maka sama seperti pada malam lailatul qadar.

Terdapat banyak atsar dari pendeta Ka’ab. Kami tidak ingin memperpanjang dengan menyebutkannya. Dimana telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Nasa’I, Daruqutni, Baihaqi dan lainnya.

Syekh Albani rahimahullah mengomentari –pada salah satu sanadnya- “Sanad ini tidak mengapa, akan tetapi terputus hanya sampai shahabaat Ka’b –yaitu pendeta Ka’b- Jika dia angkat haditsnya (sampai Nabi), haditsnya tidak bisa dijadikan hujah karena kondisi seperti ini termasuk mursal (tidak menyebutkan nama shahabat langsung ke Nabi). Bagaimana lagi kalau hanya sekedar sampai shahabat saja (mauquf).” Selesai dari ‘Silsilah Ahadits Dhoifah, (Hadits n0. 5053).

Atsar keenam:  dari Maisarah dan Zadan berkata:

كَانَ يُصَلِّي مِنَ التَّطَوُّعِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ ، وَأَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Beliau biasanya shalat sunah empat rakaat sebelum zuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah marib, empat rakaat setelah isya’ dan dua rakaat sebelum subuh.

Ini yang kami dapatkan tanpa menyebut nama Shahabat. Yang sering adalah Ali bin Abi Tholib, beliau yang meriwayatkan dari Maisarah. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah di Mushonaf, (2/19) berkata kami diberitahukan Abu Ahwas dari Atho’ bin Saib.

Atsar ketujuh: dari Abdurrahman bin Aswad berkata,

" مَنْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ عَدَلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (رواه ابن أبي شيبة في " المصنف، 2/127)

“Siapa yang shalat empat rakaat setelah isya’ akhir, (pahalanya) seperti di malam lailatul qadar.” (HR. Ibnu Abi Syaibah di ‘Mushonaf, 2/127, dia berkata, kami diberitahukan Fadl bin Dukain, dari Bukair bin Amir dari Abdurrahman)

Atsar kedelapan: dari Imron bin Kholid Al-Khoza’I berkata, saya pernah duduk di Atho’ kemudian ada seseorang datang dan bertanya, “Wahai Abu Muhamad, sesungguhnya Towus menyangka bahwa siapa yang shalat isya’ kemudian setelahnya shalat dua rakaat, di rakaat pertama membaca ‘surat Sajdah’ dan rakaat kedua ‘surat Al-Mulk’ dia ditulis seperti berdiam malam lailatul qadar. Maka ‘Athi menjawab, “Towus memang benar, saya tidak pernah meninggalkannya. Diriwayatkan Abu Nu’aim di ‘Hilyatul Auliya, (4/6) berkata, kami diberitahu Umar bin Ahmad bin Umar Al-Qodi, kami diberitahu Abdullah bin Zidan kami diberitahu Ahmad bin Hazim kami diberitahu ‘Aun bin Salam kami diberitahu Jabir bin Mansur saudara Ishaq bin Mansur As-Salui dari Imron bin Kholid

Atsar kesembilan: dari Qosim bin Abi Ayub berkata:

" كَانَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ يُصَلِّي بَعْدَ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، فَأُكَلِّمُهُ وَأَنَا مَعَهُ فِي الْبَيْتِ فَمَا يُرَاجِعُنِي الْكَلَامَ " (رواه المروزي في " تعظيم قدر الصلاة 1/167)

“Biasanya Said bin Jubair shalat setelah isya’ terakhir empat rakaat, kemudian saya berbicara dengannya sementara saya bersamanya di dalam rumah, kemudian beliau tidak memperhatikan perkataanku.” (HR. Marwazi di ‘Ta’dhim Qodris Shalat)

Atsar kesepuluh: dari Mujahid berkata, “Empat rakaat setelah isya’ terakhir posisinya seperti di malam lailatul qadar.” HR. Ibnu Abi Syaibah di Mushonaf, (2/127) berkata, kami diberitahu Ya’la dari A’masy dari Mujahid.

Keempat:

Kesimpulannya bahwa Terdapat ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa dahulu beliau shalat empat rakaat setelah isya’. Sementara hadits yang sampai kepada Nabi terkait dengan keutamaanya semuanya sangat lemah. Yang paling bagus dan paling kuat adalah hadits Ibnu Umar (sedikit) lemahnya.

Sementara atsar yang ada dari para shahabat dan tabiin merupakan dalil, ini termasuk perbuatan ulama salaf dengan sunah ini. Serta menyebarnya dikalangan mereka. Ia termasuk qiyamul lail yang ada keutamaannya dalam Kitab dan Sunah dengan puluhan dalil. Sementara ungkapan ia menyamai shalat pada malam lailatul qadar ini termasuk permasalah yang masih didiamkan. Terutama Terdapat dalam perkataan pendeta Ka’ab. dahulu biasanya Ka’ab terlalu luas dalam memberitahukan terkait dengan syariat ini. Kalau dikiyaskan dengan kitabnya Ahli Kitab. Dikhawatirkan keutamaan ini sumbernya dari Ka’b Al-Ahbar.  Dikalangan para shahabat yang mengambil darinya, sesungguhnya melakukan hal itu karena terkait dengan keutamaan suatu amalan yang diharapkan pahalanya dan tidak merusak amalannya.

Syekh Albany rahimahullah berpendapat, dengan memberikan posisi atsar ini ‘Hukum rafa’ (sampai kepada Nabi)’ dimana diperbolehkan berhujah dengannya serta mengamalkannya. Seraya beliau mengatakan, “Hadits telah shahih sampai kepada para shahabat (mauquf) dari sekelompok para shahabat. Kemudian Ibnu Abi Syaibah meriyawatkan semisalnya dari Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ka’b bin Mati’, Mujahid, Abdurrahman bin Aswad sampai kepada mereka semua. Semua sanadnya shahih –kecuali Ka’b- ia meskipun hanya sampai para shahabat, tapi ia mendapatkan hukum rafa’ (sampai kepada Nabi) karena perkara ini tidak tidak dapat disampaikan  semata dengan menggunakan logika sebagaimana yang Nampak.” (Silsilah Ahadits Dhoifah, no. 5060).

Wallahu a’lam.

Sumber dari: islamqa.com