Selasa, 18 Mei 2021

LIMA WASIAT JIBRIL ALAIHISSALAM

LIMA WASIAT JIBRIL ALAIHISSALAM
______________________________________

روى الحاكم في المستدرك من حديث سهل بن سعد - رضي الله عنه - قال: جاء جبريل - عليه السلام - إلى رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فقال: يا محمد، عش ما شئت فإنك ميت، وأحبب من شئت فإنك مفارقه، واعمل ما شئت فإنك مجزي به، واعلم أن شرف المؤمن قيامه بالليل، وعزه استغناؤه عن الناس.

Al Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadrak dari hadits Sahl bin Saad radliallahu anhu berkata:  Jibril ‘alaihis-salam datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata (kepada beliau): 

1. Wahai Muhammad, hiduplah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan mati, 

2. cintailah siapa saja yang engkau cintai (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan berpisah dengannya, 

3. dan berbuatlah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya benar-benar engkau akan menerima balasan dari apa yang engkau perbuat”, 

lalu dia berkata lagi : 
4. wahai Muhammad, kemuliaan seorang mu’min terletak pada shalat malam 

5. dan kehormatannya terletak pada ketidakbutuhannya kepada manusia”

(Lafadh berdasarkan periwayatan Al Hakim dalam Al Mustadrak IV/360 hadits ke-7921)

Hadits ini diriwayatkan oleh 5 orang sahabat Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wasallam: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Sahl bin Sa’d dan Abdullah bin Abbas.
Kesimpulan :

Hadits ini derajatnya hasan.

Fawaid yang dapat diambil dari hadits di atas :

“Hiduplah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan mati”.
Ungkapan “hiduplah sekehendakmu …”, “cintailah siapa saja yang engkau cintai …”, “berbuatlah sekehendakmu …” pada hadits di atas bukanlah ungkapan untuk mempersilakan seseorang untuk berbuat seenaknya sendiri tanpa memperhatikan syari’at, akan tetapi maksud ungkapan di atas adalah untuk tanbih (menggugah dan memperingatkan) terhadap sesuatu hal penting yang diungkapkan setelahnya. Ungkapan tersebut mirip dengan hadits :

إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“ Jika kamu tidak malu, berbuatlah sekehendakmu” (Shahih al Bukhari had.6120, Sunan Ibni Majah had. 4183)

Abul Hasan Nuruddin As Sindi menjelaskan bahwa di antara maksud hadits “… fashna’ ma syi’ta” di atas adalah :

لَا بُدَّ لِلْمَرْءِ مِنَ النَّظَرِ فِيمَا يَفْعَلُ فَإِنْ كَانَ أَمْرًا لَا يَسْتَحْيِي مِنْهُ فَلْيَفْعَلْ، وَإِلَّا فَلْيَدَعْ

“Seseorang harus memperhatikan apa yang ia lakukan, apabila yang ia lakukan merupakan perkara tidak memalukan maka hendaknya ia kerjakan namun apabila itu memalukan maka hendaknya ia tinggalkan” (Hasyiyah as Sindi ‘ala Sunan Ibni Majah II/546)

Berdasarkan hal itu, ungkapan “hiduplah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan mati” bisa dimaknai sebagai berikut :

“Perhatikanlah arah hidupmu dan apa yang engkau lakukan, hidupmu terbatasi dengan kematian, maka perhatikan, jika aktivitas hidupmu itu dapat menjadi bekal kebaikan untuk menghadap Allah di akhirat maka lakukanlah, akan tetapi bila aktivitas itu tidak bermanfaat atau bahkan berbahaya untuk akhiratmu maka tinggalkanlah”.

Al Munawi menukil pernyataan sebagian ulama, bahwasanya ungkapan “hiduplah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan mati”  pada hadits di atas berfaidah sebagai nasihat, peringatan, dan ancaman yang maksudnya ialah agar ia mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh untuk menyongsong kematian dengan membekali diri (dengan amal-amal shalih, pen.) untuk kehidupan setelahnya. Sebagai seorang musafir (di dunia) yang sekedar lewat saja, bagaimana bisa ia berbetah-betah (berbuat sesuka hatinya, pen.) di dunia dengan meruntuhkan masa depannya di akhirat …?!? (lih. Faidhul Qadir IV/500)

Di samping itu, ungkapan “hiduplah sekehendakmu (namun ingatlah) selanjutnya engkau benar-benar akan mati” menunjukkan bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara; hal ini sebagaimana penjelasan Allah ta’ala :

إِنَّ هَؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا

“Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).” (Surat Al Insan : 27)

Dalam ayat itu kehidupan dunia diungkapkan dengan kata al ‘ajilah (yang segera,cepat),  Ibnul Jauzi menjelaskan bahwa yang dimaksud al ‘ajilah adalah ad-dar  al-‘ajilah (tempat yang dihuni sebentar saja/segera ditinggalkan). (Zadul Masir fi ‘ilmit Tafsir IV/381). Lafadh ini menunjukkan bahwa dunia itu cepat berlalu.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apa urusanku dengan dunia, aku di dunia ini hanyalah seperti seorang musafir yang sedang berteduh di bawah sebuah pohon lalu melanjutkan perjalanan dan meninggalkan pohon tersebut” (Sunan at Tirmidzi had. 2377, Sunan Ibni Majah had. 4109, dikatakan hasan shahih oleh At Tirmidzi, dishahihkan pula oleh Al Albani dan Syu’aib al Arnauth)

Dalam beberapa ayat, Allah ta’ala menjelaskan :

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Surat Al Hadid : 20)

وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ 

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Surat Al Ankabut :64)

Itulah dunia. Bagaimanapun orang berambisi meraih kenikmatan duniawi, bermewah-mewah, saling berbangga satu sama lain, ternyata semua itu adalah kenikmatan semu dan akan berakhir. Renungkanlah…, bagaimana Allah ta’ala mengumpamakan kemewahan dunia seperti hujan yang menumbuhkan tanam-tanaman yang menakjubkan, namun selanjutnya tanam-tanaman itu mengering, layu, menguning, lalu jatuh hancur berderai…, bagaimana pula Allah menggambarkan bahwa dunia ini hanyalah seperti permainan dan gurauan yang mana apabila seseorang terjebak di dalamnya berarti dia terperdaya; karena dunia ini ternyata cepat berlalu. Orang-orang yang terjebak itu digambarkan oleh Allah ta’ala :

 

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

 “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka lalai terhadap (kehidupan) akhirat.” (Surat Ar Rum : 7)

 

Dunia telah membuat sebagian manusia terlena sehingga lupa kepada akhirat yang merupakan kehidupan yang sebenarnya. Ia duduk, berdiri, dan berbaring karena ambisi duniawi semata tanpa ingat kepada Allah, Dzat yang memberi dia kekuatan/kemampuan untuk itu, ia bekerja semata-mata untuk memperturutkan perut bukan untuk mencari wasilah ibadah, makan hanya menuruti nafsu makan tanpa ingat akhirat sehingga lupa (baca: melupakan, pen.) bacaan bismillah, lupa bersyukur, dia juga tidur hanya menuruti hawa nafsunya tanpa ingat akhirat, sehingga tidur asal tidur tanpa memperhatikan adab tidur, lupa doa, lupa bahwa tidur adalah saudara kematian. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

النَّوْمَ أَخُو الْمَوْتِ

“Tidur adalah saudara kematian” (Riwayat Ath Thabrani dalam al Mu’jam al Ausath had. 919, 8816, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ VII/90 dan Shifatul Jannah had. 90, 215, Al Baihaqi  dalam al Adab had. 677 dan Syu’abul Iman had. 4416, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah al Ahadits ash Shahihah had. 1087)

Dia belajar ilmu juga semata-mata untuk memperturutkan gengsi, sekedar mencari gelar dan harta duniawi tanpa ada tujuan akhirat, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang belajar ilmu yang mana seharusnya ia gunakan untuk meraih ridho Allah, (ternyata) ia belajar ilmu tersebut untuk mendapatkan harta atau kedudukan duniawi maka ia tidak akan dapat menghirup bau surga pada hari kiamat” . (Musnad Ahmad had. 8438, Sunan Abu Dawud had. 3664, Sunan Ibni Majah had. 252, dishahihkan oleh Ahmad Muhammad Syakir dan Al Albani)

Dan seterusnya … , dia hanya mencari dan terus mencari dunianya saja, padahal semakin dunia dikejar, dunia akan memperbudak orang yang mengejar itu. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai cita-citanya, maka Allah menjadikan hatinya merasa kaya (berkecukupan) dan Dia akan menyatukan urusan-urusannya yang berantakan, serta dunia datang merunduk-runduk kepadanya, sedangkan barang siapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya, maka Allah menjadikannya terbayang-bayangi rasa kefakiran, dan Allah akan membuat berantakan urusan-urusannya, serta dunia datang kepadanya sekedar yang ditentukan untuknya saja” (Sunan at Tirmidzi had. 2465, Sunan Ibni Majah had. 4105, di shahihkan Al Albani, Muhammad Fuad Abdul Baqi, dan Syu’aib al Arnauth)

Setiap orang harus ingat bahwa ia akan mati. Mati bukanlah perjalanan terakhir baginya karena ia masih akan berhadapan dengan mahkamah Allah di akhirat. Firman Allah ta’ala :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Surat Ali Imran : 185)

Maka, hendaknya ia memanfaatkan hidup di dunia ini sebaik-baiknya untuk mengumpulkan bekal akhirat, bukan menyia-nyiakan waktu di dunia ini sekedar bersenang-senang memperturutkan hawa nafsu. Allah telah memerintahkan untuk mengisi hidup dengan ibadah (pengabdian kepada Allah). Allah ta’ala berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Surat Adz Dzariyat : 56)

 

Menurut Islam, semua perkara dapat bernilai ibadah apabila terpenuhi syarat-syarat ibadah padanya, sebagaimana pengertian ibadah yang dikemukakan ulama :

اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الظاهرة والباطنة والبراءة مما ينافي ذلك ويضاده.

“(Ibadah adalah) suatu nama (istilah) yang mencakup seluruh perkataan dan perbuatan dhahir-bathin yang dicintai dan diridhai oleh Allah dan meninggalkan perkataan dan perbuatan yang bertolak belakang dengan itu” (lih. A’lamus Sunnah al Mansyurah li’tiqadi ath Thaifah an Najiyah al Manshurah li Hafidh ibn Ahmad al Hakami hal. 6)

Dari definisi tersebut, didapatkan pengertian bahwasanya semua aktivitas baik berupa perkataan maupun pekerjaan dapat bernilai ibadah jika apa yang dilakukan tersebut berupa hal yang dicintai/diridhai oleh Allah; maknanya ialah :

Aktivitasnya tersebut ditujukan untuk meraih cinta dan ridha Allah (Ikhlash)
Aktivitas itu sesuai dengan tuntunan syari’at serta tidak menyelisihinya
Hal itulah yang diisyaratkan oleh Al Fudhail bin Iyadh :

“Sesungguhnya amalan yang murni namun tidak benar tidak akan diterima; demikian pula amalan yang benar namun tidak murni tidak akan diterima pula; amalan akan diterima jika murni dan benar; yang dimaksud dengan murni ialah amalan tersebut ditujukan kepada Allah semata, sedangkan yang dimaksud dengan benar ialah amalan tersebut harus berdasarkan sunnah (tuntunan Nabi). Sesungguhnya amalan yang murni namun tidak benar tidak akan diterima; demikian pula amalan yang benar namun tidak murni tidak akan diterima pula; amalan akan diterima jika murni dan benar; yang dimaksud dengan murni ialah amalan tersebut ditujukan kepada Allah semata, sedangkan yang dimaksud dengan benar ialah amalan tersebut harus berdasarkan sunnah (tuntunan Nabi).” (lih. Al Wala’ wal Bara’ fil Islam li Muhammad ibn Sa’id al Qahthani hal. 36)

Landasannya adalah firman Allah ta’ala :

 …فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“… Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (Surat Al Kahfi : 110)

Jadi, pada intinya akhirat adalah tujuan hakiki sedangkan dunia merupakan sarana menuju kepadanya. Segala aktivitas dunia adalah wasilah (sarana) menuju kebahagiaan akhirat maupun kesengsaraannya. Allah ta’ala berfirman :

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan jatahmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Surat Al Qashash : 77)

Pada ayat itu, Allah memerintahkan untuk mencari dengan sungguh-sungguh kebahagiaan akhirat (ini tujuan ayat tersebut), adapun masalah dunia, Allah hanya menyatakan : “janganlah kamu melupakan jatahmu dari (kenikmatan) duniawi”. Hal itu menunjukkan bahwa akhirat adalah tujuan sedangkan dunia tetap dicari namun sekedar sebagai wasilah (sarana) menuju kebahagiaan akhirat. Bukan berarti seorang muslim tidak boleh kaya, akan tetapi maksudnya adalah silakan mencari kenikmatan dunia (mencari kekayaan) tetapi niatkan itu untuk ibadah, dan saat telah memperolehnya, gunakan kekayaan itu untuk kemashlahatan diri, keluarga, kerabat, dan umat. Jangan menumpuk harta sekedar untuk dirinya sendiri, akan tetapi berbagilah dengan fakir miskin, kaum muslimin yang memiliki kepentingan mulia seperti dalam penyelenggaraan majlis ta’lim yang tentunya membutuhkan dana, membangun sarana ibadah, pondok-pondok pesantren, dan sebagainya. Sehingga, apa yang telah ia kumpulkan tersebut bermanfaat untuk dunianya dan untuk akhiratnya. Bukan berarti pula seorang muslim tidak boleh punya pangkat dan gelar, akan tetapi maksudnya adalah pangkat dan gelar tersebut janganlah dijadikan tujuan; gunakan pangkat dan gelar tersebut sebagai sarana untuk berdakwah menyeru umat untuk kembali ke jalan yang benar (Islam). Sehingga, pangkat dan gelarnya tersebut dapat mendatangkan pahala dari Allah yang berguna untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Jangan jadikan pangkat dan gelar tersebut sebagai sarana kesombongan dan keangkuhan.

Maka, Barang siapa yang dapat memanfaatkan hidup dunia untuk mengumpulkan bekal akhirat dengan memperkuat dan meluruskan aqidah dan beramal shalih maka ia akan mendapatkan kebahagiaan akhirat, namun barang siapa yang yang sekedar berfoya-foya saja, menghabiskan waktu di dunia tanpa ketaatan kepada Allah, maka ia akan sengsara di akhirat. Allah ta’ala berfirman :

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ . حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ . كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ . ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ . كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ . لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ . ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ . ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ .

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui, Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (Surat At Takatsur : 1-8)

Janganlah seperti Qarun yang diadzab dengan cara dibenamkankan di dalam bumi akibat lalainya dia terhadap akhirat, dan rakus terhadap dunia.  Allah ta’ala menggambarkan :

فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ

“Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (Surat Al Qashash : 81)

Kesimpulannya, bahwasanya dunia ini sementara, kematian mengintai kita; maka kita isi dunia kita ini dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat untuk akhirat. Semua aktivitas kita seperti ibadah wajib, ibadah sunnah, akivitas mubah seperti berjalan, lari, olah raga, berdiri, tidur, bercakap-cakap, bekerja, dan lain-lain dapat bernilai ibadah jika memenuhi syarat ibadah. Dan, mari kita jauhi hal-hal yang tidak bermanfaat untuk akhirat atau bahkan yang berbahaya untuk akhirat karena orang yang terlanjur mati (masuk alam barzakh) tidak akan bisa kembali ke dunia. Akhirnya, marilah kita renungi ayat-ayat berikut :

وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal saleh, beda dengan yang dulu kami kerjakan”.  Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun”. (Surat Fathir : 37)

وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ

“Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami sekarang yakin.” (Surat As Sajdah : 12)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (9) وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ (10) وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (11)

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sebentar saja, sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(Surat Al Munafiqun : 9-11)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang mana pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi tolong menolong (antar manusia). Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (Surat Al Baqarah : 254).
Ust berian muntaqo