LIBUR KERJA PADA HARI JUM’AT
Al-Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya “al-Ajwibah an-naafi’ah” (hal. 116) tatkala menyebutkan hal-hal yang beliau anggap sebagai bid’ah terkait hari Jum’ah dan sholat Jum’ah, pada point no. 2 beliau menyebutkan :
اتخاذه يوم عطلة "الإحياء "1/169"
“menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur” (al-Ihyaa`, 1/169).
Penulis tidak tahu kitab Ihyaa apa yang dijadikan rujukan oleh beliau untuk menyandarkan libur pada hari Jum’at, apakah Ihyaa` ulumuddin karya al-Imam Ghazali atau kitab lainnya, kalau kitabnya al-Imam Ghazali, maka penulis belum berhasil menemukan pernyataan beliau bahwa libur pada hari Jum’at bid’ah, bahkan yang kami temukan adalah beliau menyarankan untuk libur kajian pada hari Jum’at, beliau berkata (2/287, cet. Dar Ma’rifah, Beirut) :
فالمواظب على التفقه مثلاً ينبغي أن يتعطل يوم الجمعة لأن عطلة يوم تبعث على النشاط في سائر الأيام
“kegiatan rutin seperti belajar hendaknya libur pada hari Jum’at, karena libur satu hari dapat membuat bersemangat lagi untuk hari-hari lainnya.” –selesai-.
Namun penulis mendapatkan faedah bahwa ulama yang jauh lebih senior dari beliau, yaitu al-Imam Malik Rahimahullah berpendapat makruhnya meninggalkan pekerjaan pada hari Jum’at, dikhawatirkan ini masuk kedalam tasyabuh terhadap Yahudi dan Nashrani yang mereka sengaja libur pada hari Sabtu dan Ahad untuk mengagungkan hari tersebut. Dalam kitabnya “al-Mudawanah” (1/234, cet. DKI), al-Imam Malik Rahimahullah berkata :
وَبَلَغَنِي أَنَّ بَعْضَ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانُوا يَكْرَهُونَ أَنْ يَتْرُكَ الرَّجُلُ الْعَمَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، كَمَا تَرَكَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى الْعَمَلَ فِي السَّبْتِ وَالْأَحَدِ
“telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa Salaam mereka tidak menyukai seseorang meninggalkan pekerjaan pada hari Jum’ah, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nashrani meninggalkan pekerjaan pada hari Sabtu dan Ahad.” –selesai-.
Al-Imam Bukhari dan al-Imam Muslim dalam shahihnya masing-masing meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Umar Rodhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، بَيْنَا هُوَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ دَخَلَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَادَاهُ عُمَرُ: «أَيَّةُ سَاعَةٍ هَذِهِ؟» فَقَالَ: إِنِّي شُغِلْتُ الْيَوْمَ، فَلَمْ أَنْقَلِبْ إِلَى أَهْلِي حَتَّى سَمِعْتُ النِّدَاءَ، فَلَمْ أَزِدْ عَلَى أَنْ تَوَضَّأْتُ، قَالَ عُمَرُ: «وَالْوُضُوءَ أَيْضًا، وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ بِالْغُسْلِ»
“Ketika Umar bin Al Khaththab sedang berkhuthbah pada hari jum'at dihadapan jama'ah, masuklah seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Umar pun memanggilnya seraya bertanya, "Sudah jam berapakah ini?" Laki-laki itu menjawab, "Aku sangat sibuk hari ini. Aku tidak sempat pulang, sehingga ketika kedengaran adzan, tidak ada yang dapat aku lakukan kecuali berwudlu." Umar berkata, "Engkau hanya berwudlu?. Bukankah Engkau tahu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga memerintahkan untuk mandi?".”
Dalam lafazh Bukhari, mereka yang terlambat datang tersebut adalah para sahabat senior Muhajirin :
دَخَلَ رَجُلٌ مِنَ المُهَاجِرِينَ الأَوَّلِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“seorang laki-laki dari kalangan Muhajirin genarasi awal dari sahabat Nabi Sholallahu 'alaihi wa Salaam masuk...”.
Dalam lafazh Muslim, diantara meraka yang hadir adalah Utsman bin Affan Rodhiyallahu 'anhu :
فَقَالَ عُثْمَانُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَا زِدْتُ حِينَ سَمِعْتُ النِّدَاءَ أَنْ تَوَضَّأْتُ
“Utsman Rodhiyallahu 'anhu berkata : “wahai amirul mukminin aku tidak menambah kecuali berwudhu sewaktu mendengar azan.”
Kemudian hadits diatas juga diriwayatkan oleh Aimah besar kita, yaitu al-Imam Malik dalam “al-Muwatha”, al-Imam asy-Syafi’i dalam “al-Musnad” dan al-Imam Ahmad rahimahumullah dalam “al-Musnad”, dalam salah satu lafazhnya, mereka sibuk pulang dari pasar :
فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، انْقَلَبْتُ مِنَ السُّوقِ
“ia berkata : “wahai amirul mukminin, aku baru pulang dari pasar...”.
Al-‘Allamah Badruddin ‘Aini –salah seorang ulama hanafiyyah- (w. 855 H) Rahimahullah dalam kitab Shahih Bukharinya yang berjudul “Umdah al-Qaariy” (6/168, cet. Dar Ihyaut Turats, Beirut) menyebutkan faedah dari atsar Umar diatas, kata beliau :
وَفِيه: إِبَاحَة الشّغل وَالتَّصَرُّف يَوْم الْجُمُعَة قبل النداء، وَلَو أفْضى ذَلِك إِلَى ترك فَضِيلَة البكور إِلَى الْجُمُعَة، لِأَن عمر، رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ، لم يَأْمر بِرَفْع السُّوق بعد هَذِه الْقِصَّة، وَاسْتدلَّ بِهِ مَالك على أَن السُّوق لَا يمْنَع يَوْم الْجُمُعَة قبل النداء لكَونهَا كَانَت فِي زمن عمر، رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ، وَلكَون الذَّاهِب إِلَيْهَا مثل عُثْمَان، رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ
“bolehnya beraktivitas dan bertransaksi ekonomi pada hari Jum’at sebelum azan, sekalipun menyebabkan meninggalkan keutamaan datang awal ke sholat Jum’at, karena Umar Rodhiyallahu 'anhu tidak memerintahkan untuk menutup pasar setelah kisah ini, Malik berdalil dengan atsar ini bahwa aktivitas pasar tidak dilarang pada hari Jum’at sebelum azan, karena pada zaman Umar Rodhiyallahu 'anhu pasar tetap buka dan yang pergi ke pasar semisal Utsman Rodhiyallahu 'anhu.” –selesai-.
Sebagian ulama Malikiyyah membuat tambahan pendapat Imamnya, sebagaimana dinukil oleh penulis kitab “at-Taaj wa al-Ikliil” (2/548, cet. DKI) dari al-Imam Asbagh (w. 273 H) yang berkata :
مَنْ تَرَكَ الْعَمَلَ اسْتِرَاحَةً فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَأَمَّا اسْتِنَانًا فَلَا خَيْرَ فِيهِ
“barangsiapa yang meninggalkan pekerjaan (libur pada hari Jum’at) untuk istirahat maka tidak mengapa, adapun dijadikan kebiasaan rutin, maka tidak ada kebaikan untuknya.” –selesai-.
Orang yang mengenal karakter asy-Syaikh al-Albani Rahimahullah tahu bagaimana kencangnya beliau berpegang kepada atsar Salaf, oleh sebab itu dalam salah satu tanya jawab yang direkam dalam kaset yang diberi judul “Silsilah Huda wa Nur” (no. 348) ketika ditanya bagaimana mengganti hari libur selain hari Jum’at dalam rangka istirahat setelah beraktivitas sepekan, maka beliau menjawab :
فإن رأى لما قلت آنفًا أهل الشورى إنه لابد للمسلمين من يوم راحة في الأسبوع لأمر عارض ، فلا مانع من ذلك ، شريطة أن يكون غير يوم الجمعة
“... aku berpendapat sebagaimana aku katakan barusan, ahlu syura jika memandang kaum Muslimin harus libur satu hari untuk istirahat dalam sepekan, karena ada kebutuhan, maka ini tidak mengapa, dengan syarat hari liburnya tidak hari Jum’at.” –selesai-.
Wallahu a’lam.
Abu Sa’id Neno Triyono