.:: Konflik Kepentingan dan Solusi Fikih.
Dalam kajian fikih muamalah, ada banyak tawaran solusi atas suatu praktik haram. Misal pada kasus wakil donatur yang membelanjakan donasi pada dagangannya sendiri, sebagian ulama ada yang membolehkan dengan syarat terjadi izin dari donatur. Namun katakanlah kita tetap ambil pendapat tetap haram sekalipun dapat izin dari donatur... Ini pun masih ada solusi halalnya:
1. Skema akad salam. Artinya jika anda berperan sebagai "penyalur" jangan dalam posisi "Wakil donatur", namun sebagai pihak penjual. Donatur pembeli. Sehingga akad anda dengan donatur adalah jual-beli. Akad salam dalam pandangan jumhur diperbolehkan meskipun penyerahan barangnya tidak dalam jangka yang lama, dengan syarat pembayaran full dimuka dan barang yang dijual hanya disepakati sifatnya.
2. Skema akad istishna'. Ini mirip dengan skema pertama, bedanya dalam istishna', barang yang diinginkan "donatur" anda sendiri yang memprosesnya. Anda misal punya toko mebel hasil karya anda sendiri, nah ketika "donatur" pesan dan barangnya belum ada, anda tetap boleh berakad dg skema istishna'. Setelah jadi anda serahkan kepada pemesan, atau disalurkan kepada orang lain sesuai permintaan pemesan.
3. Skema akad wakalah bil ujroh. Kalau dalam skema ini, anda berposisi sebagai wakil donatur, maka tidak boleh anda membelanjalan dana donasi pada dagangan anda sendir, namun anda boleh meminta imbalan (ujroh) atas hal ini. Misal: anda membuka donasi mushaf Al Qur'an untuk disebarkan kepada pesantren tahfizh anak² kurang mampu. Harga permushaf: 50.000. Anda ingin ambil ujroh 10.000. Maka anda pasang iklan donasi permushaf dengan harga 60.000. Ini sah-sah saja dengan catatan anda dan donatur sama-sama tau harga beli mushaf tsb. Artinya ketika donatur menyerahkan uang 60.000 dia faham dan rela bahwa 10.000 nya adalah untuk ujroh anda sebagai wakil.
Meski demikian tawaran solusi diatas tetaplah bukan solusi jika orang yang menjalankannya sudah diwarnai dengan konflik kepentingan. Apalagi jika berpredikat "su'ul maqshid", hanya ingin ndompleng demi keuntungan pribadinya semata.
Dalam dunia sosial, konflik kepentingan harus dikesampingkan dengan meluruskan niat dan lebih baik lagi jika diikuti dengan penerapan manajemen yang good governance.
Penentuan gaji ketua yayasan, misalnya, bukan dia sendiri yang menentukan apalagi ditambah dia yang pegang rekening, dia yang mencatat donasi masuk, dia yang cairkan dana, eh dia gaji untuk dirinya sendiri. Lihat aturan main yayasan, ada kok aturannya agar terwujud good governance dalam yayasan.
Pada kasus penyaluran pembangunan masjid, gedung sekolah, dll. Ini juga harus dilakukan dengan profesional dan penuh amanah. Jika anda berperan ssbagai wakil donatur, maka "minta" saja ujroh dengan terus terang. Misal :"Saya siap membantu anda menyalurkan proyek ini, tapi saya minta 10juta untuk ganti transport dan uang lelah mengawasi proyek sampai selesai."
Jika anda sebagai kontraktor, ya berarti anda harus melaksanakannya. Bukan mensubcount-kan proyek kepada pihak lain dan memotong sekian persen.
Pada kasus donasi wakaf Al Qur'an, anda harus perjelas akadnya. Anda sebagai penjual atau sebagai wakil? Sah-sah saja anda berjualan mushaf Al Qur'an lalu membantu penyalurannya kepada pihak yang membutuhkan. Lebih baik lagi, beritahu donatur bahwa anda adalah penjual. Bukan wakil. Jadi terwujud "kejujuran dan keterusterangan" dalam praktik jual beli anda.
فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما
"Jika kedua belah pihak jujur dan saling berterusterang, maka akan diberkahi untuk keduanya dalam jual beli tsb" HR. Al-Bukhori dan Muslim.
Pada status sebelumnya saya sudah berikan catatan bahwa pelanggaran diatas tidak mesti terjadi pada tiap² kasus. Ini benar-benar murni kasuistik, bukan generalisasi, meskipun kasuistik yang sudah mengarah kepada masif.
Kebutuhan kita akan istighfar lebih dari kebutuhan kita akan makan dan minum. Maka, mari perbanyak istighfar agar Allah ta'ala senantiasa lindungi kita dari harta haram dan niat yang buruk.
#sekedarrenungan
Ust abu Abbas Aminullah Yasin