Kamis, 20 Mei 2021

GHULUW__________Definisi: Ghuluw adalah berlebihan, melampaui batas tidak proporsional...

GHULUW
__________

Definisi: Ghuluw adalah berlebihan, melampaui batas tidak proporsional...

Tenpatnya: Ghuluw bisa dalam perbuatan atau perkataan, baik saat suka orang kemudian memujinya hingga derajat menjilat, atau kebalikannya ketika benci seseorang sampai menghina kepribadiannya, kalau mau memuji pujilah perbuatan baiknya, kalau mencela celalah perbuatan buruknya.

Dari Mutharif ia berkata, ayahku berkata,

انْطَلَقْتُ فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا فَقَالَ السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا فَقَالَ قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ

“Aku pergi bersama rombongan utusan bani Amir menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami lalu berkata, ‘Engkau adalah junjungan kami.’

Beliau langsung menyahut, ‘Junjungan itu hanyalah Allah Ta’ala semata.’

Kami berkata lagi, ‘Engkau adalah yang paling utama di antara kami dan memiliki kemuliaan yang besar.’

Beliau bersabda, ‘Berkatalah kalian dengan perkataan kalian, atau sebagian dari perkataan kalian (tidak perlu banyak pujian), dan jangan sekali-kali kalian terpengaruh oleh setan.’” (HR. Abu Daud No. 4172).

Kisah berikut mengajarkan kita manhaj yang benar saat benci:

Imam al-Bukhari berkata di kitab Shahih:

 

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ وَاصِلٍ الأَحْدَبِ، عَنِ المَعْرُورِ بنِ سُوَيْدٍ، قَالَ: لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنِّي سَابَبْتُ رَجُلًا فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ، فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ؟ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ، إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ، فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

 

Dari al-Ma’rur bin Suwaid, dia berkata:

Aku bertemu dengan Abu Dzarr di ar-Rabadzah. Saat itu Abu Dzarr mengenakan hullah (sepasang pakaian; pakaian luar dan dalam –pent), demikian juga pelayan (budak)nya memakai hullah. Maka aku pun bertanya mengenai hal itu (yakni mengenai alasan Abu Dzarr memakaikan pakaian yang sama dengan dirinya untuk pelayannya, padahal hal itu menyalahi kebiasaan yang berlaku di masyarakat –pent). Maka Abu Dzarr pun menjawab:

Sesungguhnya aku pernah mencaci seseorang seraya menjelek-jelekkan ibunya, lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata kepadaku, “Wahai Abu Dzarr, apakah kau mencelanya dengan menjelek-jelekkan ibunya? Sungguh kau adalah lelaki yang pada dirimu masih terdapat sifat kejahiliyahan! Saudara-saudara kalian adalah pelayan-pelayan (budak-budak) kalian. Allah menjadikan mereka berada di bawah penguasaan kalian. Maka barangsiapa yang saudaranya berada di bawah penguasaannya, hendaklah ia memberinya makan dari makanan yang ia makan, juga memberinya pakaian dengan pakaian (seperti ) yang ia pakai. Dan jangan kalian membebani mereka dengan perkara yang tak mampu mereka tanggung. Jika kalian membebani mereka dengan beban yang berat, hendaklah kalian membantunya!” (HRS. al-Bukhari)

 

Imam al-Bukhari juga berkata di kitab Shahih:

 

حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ الْمَعْرُورِ هُوَ ابْنُ سُوَيْدٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ رَأَيْتُ عَلَيْهِ بُرْدًا وَعَلَى غُلَامِهِ بُرْدًا فَقُلْتُ لَوْ أَخَذْتَ هَذَا فَلَبِسْتَهُ كَانَتْ حُلَّةً وَأَعْطَيْتَهُ ثَوْبًا آخَرَ فَقَالَ كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ كَلَامٌ وَكَانَتْ أُمُّهُ أَعْجَمِيَّةً فَنِلْتُ مِنْهَا فَذَكَرَنِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي أَسَابَبْتَ فُلَانًا قُلْتُ نَعَمْ قَالَ أَفَنِلْتَ مِنْ أُمِّهِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ قُلْتُ عَلَى حِينِ سَاعَتِي هَذِهِ مِنْ كِبَرِ السِّنِّ قَالَ نَعَمْ هُمْ إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ جَعَلَ اللَّهُ أَخَاهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا يُكَلِّفُهُ مِنْ الْعَمَلِ مَا يَغْلِبُهُ فَإِنْ كَلَّفَهُ مَا يَغْلِبُهُ فَلْيُعِنْهُ عَلَيْهِ

 

Dari al-Ma’rur, yakni Ibn Suwaid, dari Abu Dzarr; (al-Ma’rur ) berkata:

Aku melihat Abu Dzarr mengenakan burdah dan begitu juga pelayan (budak)nya mengenakan burdah, maka kukatakan kepadanya, “Seandainya kau ambil (burdah dari pelayanmu) itu lalu kaupakai sendiri, tentu itu akan jadi hullah (sepasang pakaian) yang kaukenakan sendiri. Kauberikan saja kepada pelayanmu itu pakaian yang lain untuk dikenakannya.” Maka Abu Dzarr pun berkata:

Dulu pernah terjadi pembicaraan antara diriku dengan seseorang yang ibunya adalah orang a’jam (non-Arab), lalu aku mencacinya seraya menjelek-jelekkan ibunya. Orang itu mengadukanku kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun berkata kepadaku, “Apakah kau mencaci si Fulan?” Aku menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata lagi, “Apakah kau menjelek-jelekkan ibunya?” Aku menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Sungguh kau adalah lelaki yang pada dirimu masih terdapat sifat kejahiliyahan!” Aku bertanya kepada beliau, “Masihkah terdapat (sifat kejahiliyahan) pada diriku saat usiaku telah setua ini?” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Ya. Mereka (pelayan-pelayanmu) adalah saudara-saudara kalian. Allah menjadikan mereka berada di bawah tangan-tangan (penguasaan) kalian. Maka barangsiapa yang Allah jadikan saudaranya berada di bawah penguasaannya, hendaklah ia memberinya makan dari makanan yang ia makan, juga memberinya pakaian dengan pakaian (seperti ) yang ia pakai. Dan jangan kalian membebani mereka dengan perkara yang tak mampu mereka tanggung. Jika ia membebani (pelayan)nya dengan beban yang berat, hendaklah ia membantunya!” (HRS. al-Bukhari).
Ust berian muntaqo 
https://www.facebook.com/100000147946648/posts/4547837241897829/