Membela "manhaj" semu
(cerpen pinggiran kota)
Awal2 kami ngaji dulu sekitar tahun 2003an ustadz2 kami selalu mewasiatkan untuk tidak berbicara tanpa ilmu dan tidak berbicara dalam hal yg bukan bidang yg kita kuasai.
Setiap ada isu "keributan" kami disuruh diam dan fokus belajar.
Waktu berjalan, sebagian dari kami belajar ke jenjang universitas Saudi dan menimba ilmu dari berbagai guru di luar kota, sebagian lainnya hanya mencukupkan belajar di "satu" majlis dan tidak melanjutkan belajar ilmu-ilmu "tools".
Ketika kami pulang dan berdakwah. Sebagian ikhwah yg dulu tidak lanjut belajar ilmu "tools" itu menuding kami menyelisihi "manhaj". puncaknya ketika kasus-kasus fiqih era pandemi kemarin.
Dari situ kami paham bahwa untuk sebagian kalangan definisi "manhaj" adalah pendapat pribadi guru sesuai penafsiran gurunya ketika memahami sebuah dalil. Tetapi ini diyakini sebagai sebuah konsensus Ahlussunnah. Sehingga setiap pendapat yg menyelisihi gurunya adalah pendapat yg syubhat dan keluar dari "manhaj". Bahkan dianggap bentuk kedurhakaan kepada sang guru.
Dan saya mencium adanya "bau" Hizbiyyah terselubung berbalut membela "Sunnah".
Pelajaran yg bisa diambil :
- Pelajari bahasa Arab. Itu lebih dekat kepada selamatnya "manhaj". Meskipun tidak ada jaminan tapi setidaknya lebih berpeluang selamat. Krn kita bisa kroscek ilmu ke sumbernya langsung dan baca fatwa ulama sedunia.
- Belajarlah dengan banyak guru. Tentu saja yg sdh kita ketahui keilmuan dan "manhaj" nya. Karena kurangnya PIKNIK akan menumbuhkan benih-benih FANATIK. dan akan menjebloskan kita ke kubangan Hizbiyyah terselubung.
Ust Ahmad suryana