Pada asalnya ulil amri adalah mereka yang terkumpul di dalamnya dua kepemimpinan, yaitu agama dan dunia. Piawai memimpin, sekaligus faqih dalam agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
وقد كان النبي صلى الله عليه وسلم وخلفاؤه الراشدون يسوسون الناس في دينهم ودنياهم , ثم بعد ذلك تفرقت الأمور, فصار أمراء الحرب يسوسون الناس في أمر الدنيا والدين الظاهر, وشيوخ العلم والدين يسوسون الناس فيما يرجع إليهم فيه من العلم والدين، وهؤلاء أولوا أمر تجب طاعتهم فيما يأمرون به من طاعة الله
"Dulu Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- dan para khulafa rasyidun mengatur untuk manusia urusan agama dan dunia mereka. Kemudian setelah itu terjadi pemisahan kepemimpinan. Sehingga para panglima memimpin manusia dalam urusan dunia dan syiar agama yang bersifat lahiriyah, sedangkan para ulama memimpin menusia dalam urusan ilmu dan agama. Mereka semua adalah ulil amri yang wajib untuk ditaati perintahnya, berupa ketaatan kepada Allah." (Majmu Fatawa)
Syaikh Shalih Alusy Syaikh menjelaskan hal yang sama. Setelah menjelaskan tentang karakter ideal ulil amri, beliau mengatakan:
فإذا لم تجتمع الصرفتان أعطي ولي الأمر ألذي بيده الأمر والنهي حق الإمام، وفي المسائل الدينية يستفتى ويسأل أهل العلم. ولهذا اجتنب كثير من العلماء، بل أكثر العلماء والإئمة أن يطلقوا على العالم ولي الأمر، لأجل أن لا يكون هناك افتئات وخروج، ولأجل أن يكون هناك مأخذ لمن يريد الخروج على الإمام أو ولي الأمر
"Ketika dua sifat tersebut tidak terkumpul pada diri seorang pemimpin, maka hak kepemimpinan diberikan kepada yang memegang kekuasaan untuk memerintah dan melarang, sedangkan dalam masalah agama, fatwa dan pertanyaan diserahkan kepada ulama.
Oleh sebab itu, banyak ulama, bahkan kebanyakan ulama dan para imam menghindari pemutlakan istilah waliyyul amri untuk ulama. Agar tidak terjadi penindasan dan pemberontakan. Dan agar tidak ada celah untuk mereka yang menginginkan pemberontakan kepada imam atau waliyyul amr." (Syarh Aqidah Thahawiyah)
Sehingga kesimpulannya, ulil amri bisa dimaknai keduanya tanpa ada pertentangan sama sekali. Melihat kepada konteks.
Ketika berbicara ketaatan kepada pemimpin (QS An Nisa 59), maka perintah ketaatan kepada ulil amri berlaku. Begitu pula taat kepada ulama juga dengan ayat yang sama. Mereka ditaati dalam perkara ma'ruf.
Dalam hal menyerahkan berita kepada ulil amri (QS An Nisa 83) pun sama. Berlaku baik untuk ulama dan orang yang bijak (tahu maslahat mafsadah penyebaran berita), maupun untuk pemerintah selaku penanggung jawab stabilitas negara.
Ust Ristiyan Ragil