📝 Bersabar Terhadapap Penguasa Zalim
_________________
Dalam perjalanan sejarah, setiap zaman memiliki corak dan tabiatnya sendiri. Kondisi penguasa dan rakyat pada suatu masa tidak terlepas dari warna zamannya. Sebagaimana air dalam kendi, bagian atasnya sering kali lebih jernih daripada bagian bawah, demikian pula keadaan generasi awal biasanya lebih baik daripada generasi sesudahnya. Maka, membandingkan penguasa masa kini dengan penguasa terdahulu, tanpa melihat perubahan rakyatnya, bukanlah sikap yang adil.
Ath-Thurthūsyī rahimahullāh berkata:
Ketahuilah - semoga Allah memberi petunjuk kepadamu - bahwa zaman adalah wadah bagi orang-orang yang hidup di dalamnya. Bagian atas dari sebuah wadah biasanya lebih baik daripada bagian bawahnya, sebagaimana bagian atas kendi lebih jernih daripada bagian bawahnya. Maka, jika engkau berkata: “Para raja di zaman ini tidak seperti raja-raja terdahulu,” maka ketahuilah bahwa rakyat di zaman ini pun tidak seperti rakyat terdahulu. Dan engkau tidak lebih berhak mencela penguasamu karena melihat jejak penguasa-penguasa terdahulu, daripada penguasamu mencelamu karena melihat jejak rakyat-rakyat terdahulu.
Maka, apabila penguasa berlaku zalim kepadamu, kewajibanmu adalah bersabar, dan dosanya menjadi tanggungan penguasa tersebut.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari ‘Ubādah bin ash-Shāmit, beliau berkata:
بَايعْنَا رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم علَى السَّمعِ والطَّاعةِ في العُسْرِ واليُسْرِ، والمنشَطِ والمكرَهِ، وعلى أثرةٍ علينا، وعلى أن لا نُنازعَ الأمرَ أهلَهُ إلَّا أنْ تروا كفرًا بواحًا عندكم مِنَ اللهِ - تعالَى - فيه برهانٌ.
“Kami membai’at Nabi ﷺ untuk mendengar dan taat dalam kesulitan maupun kemudahan, senang maupun terpaksa, bahkan ketika orang lain lebih diutamakan daripada kami, serta kami tidak merebut kekuasaan dari ahlinya kecuali jika kami melihat kekufuran yang nyata dan kami memiliki bukti yang jelas dari Allah tentangnya.” (HR. Bukhari no. 7199 dan Muslim no 1709).
Dari Ibnu Abbas Radhiyallāhu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن كَرِهَ مِن أمِيرِهِ شيئًا فَلْيَصْبِرْ، فإنَّه مَن خَرَجَ مِنَ السُّلْطانِ شِبْرًا ماتَ مِيتَةً جاهِلِيَّةً.
“Barangsiapa membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya siapa yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa sejengkal saja, lalu mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.”
Dalam riwayat lain:
مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْراً فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, lalu mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 7053).
Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami:
إنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أثَرَةً وأُمُورًا تُنْكِرُونَها.
“Kalian akan melihat setelahku sikap mementingkan diri sendiri (dari para pemimpin) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.”
Para sahabat bertanya:
فَما تَأْمُرُنا يا رَسولَ اللَّهِ؟
“Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?”
قالَ: أدُّوا إليهِم حَقَّهُمْ، وسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ.
Beliau bersabda: “Tunaikanlah hak mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (HR. Bukhari no. 7052 dan Muslim no. 1843).
(Sirāj al-Mulūk, 1/462-464).
___
Dari hadits-hadits di atas, tampak jelas bahwa Islam mengajarkan rakyat untuk tetap bersabar menghadapi penguasa yang zalim, selama tidak terlihat kekufuran yang nyata dengan bukti dari Allah.
Kesabaran ini bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk ketaatan kepada perintah Nabi ﷺ agar tidak memisahkan diri dari jamaah dan tidak keluar dari ketaatan, karena hal itu justru menjerumuskan kepada kebinasaan.
Oleh sebab itu, cara-cara yang tidak diajarkan syariat, seperti demonstrasi, provokasi, dan pemberontakan, bukanlah jalan keluar dari kezaliman, bahkan sering kali menimbulkan kerusakan yang lebih besar, pertumpahan darah, dan perpecahan di tengah umat.
Kewajiban rakyat adalah tetap menunaikan hak penguasa, menjaga persatuan kaum Muslimin, serta memperbanyak doa agar Allah memperbaiki keadaan para pemimpin. Sementara hak-hak rakyat yang terabaikan, hendaklah diminta langsung kepada Allah, karena Dialah yang Mahakuasa untuk menggantikan penguasa zalim dengan yang lebih adil.
Dengan demikian, rakyat selamat dari dosa fitnah dan mendapat pahala kesabaran, sementara dosa kezaliman sepenuhnya menjadi tanggungan penguasa.
Inilah jalan Ahlus Sunnah, yang senantiasa mengedepankan maslahat dan menutup pintu kerusakan yang lebih besar.
Ustadz khairullah tekko