𝗛𝗔𝗗𝗜𝗔𝗛 𝗣𝗔𝗛𝗔𝗟𝗔 𝗨𝗡𝗧𝗨𝗞 𝗠𝗔𝗬𝗜𝗧
Syaikhuna Shalih Sindiy, seorang ulama profesor akidah di Universitas Islam Madinah semalam, di masjid Balawiy, kembali melanjutkan pembahasan matan Al-Aqidah ath-Thahawiyah.
Pertemuan ke-42 ini tiba pada kalam penulis:
وفي دُعاءِ الأحياءِ وصدقاتِهم مَنْفَعَةٌ للأمواتِ .واللهُ تعالى يَستجيبُ الدَعَوات، ويَقْضي الحاجات.
“𝗣𝗮𝗱𝗮 𝗱𝗼𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗱𝗲𝗸𝗮𝗵 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽 𝗮𝗱𝗮 𝗺𝗮𝗻𝗳𝗮𝗮𝘁 𝗯𝗮𝗴𝗶 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝗺𝗮𝘆𝗶𝘁. 𝗔𝗹𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝘄𝗮𝗯 𝗱𝗼𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗺𝗲𝗻𝘂𝗵𝗶 𝗵𝗮𝗷𝗮𝘁.”
Syaikhuna Shaleh Sindiy hafidzahullah mengatakan bahwa sumber kebaikan mayit ada dua saja, tak ada sumber lain:
1. Kebaikan yang ia lakukan selama di dunia, begitu pula pengaruh dari kebaikan tersebut yang berlanjut hingga ia telah wafat. Ini juga berlaku kepada keburukan yang pernah ia lakukan.
2. Kebaikan yang dihadiahkan oleh muslim lain yang masih hidup untuk si mayit.
Hanya saja yang terdapat dalam sunnah shahihah terkait menghadiahkan pahala untuk mayit terbatas pada amal tertentu saja, yaitu:
1. Sedekah untuk mayit.
2. Menghajikan mayit.
3. Melalukan puasa qadha yang sifatnya wajib untuk mayit. Semisal puasa Ramadhan. Termasuk turunan dalam hal ini adalah puasa yang pernah dinadzarkan mayit.
Dengan itu, seorang muslim yang masih hidup boleh melakukan amalan di atas dan diniatkan untuk mayit.
Hanya saja, syaikhuna sebelum membahas khilaf panjang terkait ini, beliau menyebutkan sejumlah kesepakatan para ulama terkait tema ini agar kita memiliki pandangan yang tepat, tidak rancu dan mengetahui duduk perkaranya. Di antaranya:
1. Ada pendapat sebagian ulama bahwa boleh menghadiahkan pahala amal untuk Nabi shallallahu alaihi wasallam. Hanya saja pendapat ini tidak benar karena secara otomatis Nabi shallallahu alaihi wasallam mendapat pahala dari ajaran Islam komferehensif karena beliau lah yang mengajarkan syariat ini kepada umatnya. Tidak ada bagian syariat ini yang tidak diajarkan oleh beliau shallallahu alaihi wasallam. Sisi lainnya, para sahabat yang paling mencintai Nabi shallallahu alaihi wasallam sekaligus paling semangat menerapkan ajaran Nabi tidak pernah melakukan demikian itu.
2. Mayit yang hendak diniatkan mendapat pahala itu juga berlaku pada mayit anak kecil, tidak hanya pada mayit orang dewasa.
3. Para ulama sepakat bahwa doa untuk mayit adalah sesuatu yang bermanfaat bagi mayit.
Mendoakan mayit berbeda dengan menghadiahkan amal shaleh untuk mayit. Terkait mendoakan mayit, pihak yang mendapatkan pahala doa adalah si hidup yang mendoakan, sementara mayit mendapatkan pengaruh berupa kandungan doa, misalnya diringankan adzab kubur atau pengampunan dosa. Sementara menghadiahkan amal shaleh untuk mayit, pahalanya untuk mayit. Ini perlu dibedakan agar tidak salah dalam memandang poin penting ini.
4. Para ulama sepakat tentang kebolehan menghadiahkan pahala sedekah untuk mayit. Dan ini ada dalilnya dalam shahihain, Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya seorang sahabat, "Wahai Rasulullah, ibundaku wafat. Apakah beliau mendapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?" Beliau menjawab: "Betul."
Dengan ini, sedekah atas nama mayit/diniatkan pahalanya untuk mayit adalah sesuatu yang disyariatkan sekaligus bermanfaat untuk mayit. Karena itu, menurut syaikhuna Shaleh Sindiy, ucapan yang mengatakan bahwa mendoakan mayit lebih baik dibanding sedekah atas nama mayit, ini tidak sepenuhnya benar. Sebab sedekah untuk mayit ada pijakan dalilnya.
5. Para ulama sepakat kebolehan membayar hutang mayit. Dan itu teranggap lunas walaupun seseorang sudah wafat.
6. Para ulama sepakat bolehnya menghajikan mayit. Turunan dari tema ini termasuk umrah. Sebagian ulama berpendapat bolehnya menghajikan mayit ini jika mayit selama hidup pernah mewasiatkan hal itu. Syaikhuna Shaleh Sindiy menilai pendapat sebagian ulama yang mempersyaratkan harus adanya wasiat haji dari mayit saat masih hidup tidak tepat. Artinya, boleh menghajikan mayit tanpa ada syarat demikian itu.
7. Ulama sepakat tidak boleh menghadiahkan iman untuk mayit kafir.
8. Ulama sepakat tidak boleh menghadiahkan pahala amalan hati kepada mayit. Semisal ucapan, ya Rabb aku telah bersabar, aku telah teguh dalam iman, maka hadiahkan pahala sabar dan keteguhanku kepada mayit fulan. Ini tidak benar.
Poin-poin yang disebutkan di atas adalah sesuatu yang disepakati para ulama akan kebolehannya.
𝗦𝗲𝗺𝗲𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗸𝗵𝗶𝗹𝗮𝗳 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗵 𝘀𝗲𝗯𝘂𝗮𝗵 𝗮𝗺𝗮𝗹 𝗺𝘂𝗿𝗻𝗶 𝗯𝗮𝗱𝗮𝗻𝗶𝘆𝗮 (𝗱𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗮𝗱𝗮𝗻) 𝘀𝗲𝗽𝗲𝗿𝘁𝗶 𝗱𝘇𝗶𝗸𝗶𝗿, 𝘀𝗵𝗮𝗹𝗮𝘁 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗮𝗹-𝗤𝘂𝗿'𝗮𝗻, 𝘀𝗲𝗹𝗮𝗶𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘀𝗲𝗽𝗮𝗸𝗮𝘁𝗶 𝗱𝗶 𝗮𝘁𝗮𝘀, 𝗱𝗶𝗵𝗮𝗱𝗶𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝗮𝘆𝗶𝘁?
Syaikhuna menyebutkan khilaf terkat ini.
1. TIDAK BOLEH. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Syafi'iyah.
2. BOLEH. Ini adalah pendapat Hanafiah, Hanabilah, dan sebagian dari Malikiah/Syafi'iyah. Argumennya adalah qiyas terhadap amal-amal shaleh lain yang terdapat dalam sunnah/hadits. Termasuk yang mendukung pendapat BOLEH ini adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
𝗦𝘆𝗮𝗶𝗸𝗵𝘂𝗻𝗮 𝗦𝗵𝗮𝗹𝗲𝗵 𝗦𝗶𝗻𝗱𝗶𝘆 𝗺𝗲𝗿𝗮𝗷𝗶𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗕𝗢𝗟𝗘𝗛, 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗷𝘂𝗺𝗹𝗮𝗵 𝗮𝗿𝗴𝘂𝗺𝗲𝗻.
1. Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah memotivasi dan menyuruh umatnya untuk melakukan itu semua. Padahal faktor untuk membolehkannya ada. Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah sosok yang paling semangat dalam menyampaikan dan mengamalkan kebenaran dan juga amal shaleh. Padahal secara logika mayit butuh itu. Sisi lain semua para sahabat, apapun level ilmu dan status sosialnya, adalah hal mudah bagi mereka melakukan atau mengirim pahala baca al-Qur'an, dzikir, shalat kepada para sahabat atau keluarga mereka yang sudah wafat.
2. Tidak ada nukilan dari para sahabat bahwa mereka melakukan itu semua, padahal setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam, mereka adalah kaum yang paling gigih mengamalkan praktek keagamaan dari Nabi sekaligus mengajarkan itu semua kepada sesama sahabat dan generasi setelahnya.
3. Bab ketaatan/amal shalih adalah bab yang bersifat tauqify. Dengan kata lain haruslah berdalil/dibatasi oleh dalil. Tak boleh memperlebar ruang amal pada sesuatu amal yang tidak berdalil. Demikian pula pahala, pahala adalah sesuatu yang sifatnya ghaib sehingga mestilah dibatasi dengan dalil.
4. Hukum asal/dasar untuk sebuah amal shaleh adalah untuk diri sendiri, yaitu pihak yang mengamalkan. Demikian pula pahala yang muncul dari amal tersebut kembali kepada diri sendiri. Karena itu tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali ada batasan-batasan.
5. Pertanyaan para sahabat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, "apakah ibuku -yang sudah wafat- juga mendapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?" dan pertanyaan senada menunjukkan hukum asal tsb, bahwa amal shaleh dan pahalanya adalah untuk diri sendiri, sehingga sahabat itu perlu bertanya apakah pahalanya bisa terhadiahkan untuk orang lain yang sudah wafat.
6. Argumen yang dibawakan oleh pihak yang membolehkan hal ini, di antaranya Ibnul Qayyim rahimahullah, adalah pahala diqiyaskan dengan hak milik harta dunia. Jadi jika mobil, tanah, kitab, rumah, dan harta lainnya bisa kita hibahkan kepada pihak lain, demikian pula pahala amal shaleh bisa dihadiahkan untuk mayit. Syaikhuna Shaleh Sindiy menjawab bahwa argumen ini tidak tepat. Analogi pahala dengan kepemilikan harta tidaklah benar. Andai itu analogi yang tepat, tentu kita bisa memperjualbelikan pahala kepada pihak lain, atau menyewakan. Qiyas ini tidak benar karena pahala adalah urusan ghaib sementara harta adalah sesuatu yang nampak, jelas dan pasti. Sisi lainnya, qiyas tersebut tidak berdalil.
𝗜𝗻𝘁𝗶𝗻𝘆𝗮, 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗱𝗶𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗮𝗵𝗮𝗹𝗮 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝗮𝘆𝗶𝘁, 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿𝗷𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗺𝗮𝗹 𝘀𝗵𝗮𝗹𝗲𝗵 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗱𝗶𝗵𝗮𝗱𝗶𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝗮𝘆𝗶𝘁 𝗻𝗮𝗺𝘂𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗯𝗮𝘁𝗮𝘀 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗺𝗮𝗹 𝘀𝗵𝗮𝗹𝗲𝗵 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗱𝗮 𝗸𝗲𝘁𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗻𝗮𝘀𝗵 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝘀𝗲𝗺𝗶𝘀𝗮𝗹 𝘀𝗲𝗱𝗲𝗸𝗮𝗵, 𝗯𝗲𝗿𝗵𝗮𝗷𝗶, 𝗽𝘂𝗮𝘀𝗮 𝗾𝗮𝗱𝗵𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗶𝗳𝗮𝘁𝗻𝘆𝗮 𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯 𝗱𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝘆𝗮𝗿 𝗵𝘂𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗮𝘆𝗶𝘁. 𝗦𝗲𝗺𝗲𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗮𝗺𝗮𝗹 𝘀𝗵𝗮𝗹𝗲𝗵 𝗹𝗮𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮, 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵.
Demikian penjelasan singkat yang bisa kami tangkap dari penjelasan syaikhuna Shaleh Sindiy hafidzahullah. Beliau juga membahas kalimat selanjutnya dari kalam mu-allif di matan al-aqidah ath-thahawiyah, yaitu tentang doa untuk mayit sekaligus membahas akidah menyimpang terkait pembahasan doa.
𝗗𝗶 𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗳𝗮𝗶𝗱𝗮𝗵 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗸𝗮𝗺𝗶 𝗽𝗲𝘁𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗴𝗮𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗻𝘆𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝘂𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝘀𝘆𝗮𝗶𝗸𝗵𝘂𝗻𝗮 𝗦𝗵𝗮𝗹𝗲𝗵 𝗦𝗶𝗻𝗱𝗶𝘆 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵:
1. Karakteristik beliau dalam menyampaikan tema adalah lembut, tidak kasar, tidak dengan intonasi tinggi dan berapi-api. Namun paparan ilmu yang disampaikan mengena di hati dan bisa diterima. Pembahasan akidah, terutama di hadapan orang awam kita di pelosok Indonesia, adalah pembahasan yang sensiitif. Dengan itu, di antara wasilah agar tidak memperbesar jurang gesekan dakwah dengan pihak awam di kampung-kampung adalah dengan mengatur kalimat dan nada suara. Sebagian kita, membahas tema akidah di kampung-kampung adalah dengan suara tinggi dan lantang, padahal warga setempat amat sensitif dengan suara berapi-api dan meninggi. Mengatur nada suara kapan tinggi kapan rendah itu bagus namun suara lantang itu sifatnya menyerang. Orang awam di kampung, suka dengan bahasa adem dan lembut. Tidak suka dengan lawan bicara yang nadanya meninggi. Paparan akidah tidak mesti identik dengan suara lantang. Syaikhuna Shaleh Sindiy adalah salah satu contoh dalam hal ini.
2. Kita butuh paparan khilaf agar bijak bersikap dan memandang masalah. Tentu ini tidak harus. Namun ada sisi kelebihannya. Tentu ini disesuaikan dengan kondisi, tema dan juga di hadapan siapa kita berbicara. Setidaknya dengan adanya paparan khilaf, bukan harus menguraikan panjang, walaupun dengan menyebutkan pendapat rajih, pendengar atau mad'u paham bahwa ada juga pendapat lain yang mungkin mu'tabar/diakui di kalangan ulama, sehingga tidak mudah menjatuhkan pihak berseberangan.
3. Ketika mengulas argumen yang tidak sejalan, di antaranya adalah nama Ibnul Qayyim yang memang disebutkan nama tsb oleh syaikhuna Shaleh Sindiy, syaikhuna murni membahas ketidaksetujuan tersebut dengan paparan ilmiah. Tidak ada pilihan kalimat dan nada/intonasi yang merendahkan murid syaikhul Islam Ibnu Taimiah tersebut. Memberikan argumen atas kekeliruan pihak lain yang dinilai tidak tepat dengan bahasa yang baik memiliki manfaat, di antaranya tidak ada kesan menjatuhkan kehormatan, juga para pendengar atau pembaca kritikan tidak ikut menjatuhkan nama baik dan kehormatan pihak yang keliru atau berseberangan. Ini karena mengkritik pihak lain apalagi jelas yang mencatutkan nama, terutama di era sosmed ini, rentan memunculkan bentrokan.
Memberikan catatan ilmiah atas kekeliruan tidak melazimkan harus mengghibah. Jika meluruskan sebuah pandangan tokoh A, misalnya pada sebuah tema tertentu, realitanya sebagian orang harus turun tangan menggibah tokoh A, padahal bahan yang dighibah tidak ada kaitannya dengan tema yang dibincangakan. Ini murni ghibah. Meluruskan pandangan tokoh A, hendaknya yang dibahas murni tema yang dimaksud, tidak perlu melebar ke hal lain yang tidak terkait. Pula hendaknya dengan menggunakan kalimat-kalimat baik dan sopan, sebab kritikan rentan dengan menjatuhkan kehormatan.
4. Ini menjawab cara pandang sebagian orang yang menilai bahwa jika bermanhaj salaf akan digiring taklid buta kepada Ibnu Taimiah dan muridnya Ibnu Qayyim. Ini tidak tepat. Contohnya dalam hal ini yang tidak sejalan dengan pandangan Ibnul Qayyim. Begitu pula dalam tema lain, ada kesimpulan hukum yang tidak sama. Dan itu sangat lumrah dalam dunia ilmu.
Wallahu a'lam,
Kota Madinah, menjelang Ashar.
Yani Fahriansyah, MH.