JERAT FANATISME
-----
-Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa hafizhahullah-
Orang yang fanatik itu biasanya adalah orang yang tidak terbiasa memandang suatu permasalahan dari sudut pandang yang lain. Satu pendapat atau sikap dalam suatu isu agama diyakini telah final, padahal ada beragam pendapat para ulama di dalamnya, yang kalau kita membaca uraian dari argumentasi masing-masing mereka, kita akan mengetahui ada banyak suguhan dalil, istidlal, kaidah, dan diskusi yang dapat memperkaya sudut pandang kita.
Benar, mungkin pada akhirnya kita memilih sudut pandang terkuat menurut kita (jika mampu memilih), tetapi dengan mengetahui berbagai sudut pandang itu kita melatih diri kita untuk tidak tergesa-gesa memfinalisasi suatu pendapat, apalagi mudah memberi label buruk kepada yang berbeda pilihan pendapatnya dengan kita.
Kecenderungan fanatisme ini biasanya juga terjadi karena; membatasi diri dengan narasumber tertentu yang mungkin juga dianggap sebagai tokoh final dalam semua isu agama. Finalisasi ketokohan seorang narasumber, diikuti dengan finalisasi pendapat yang diwacanakannya.
Yang disayangkan juga adalah, orang-orang awam yang tidak memiliki alat untuk mengakses beragam sudut pandang dan pendapat para ulama itu, tidak pernah mengecap dunia ilmiah secara intens, kemudian bergentayangan di Medsos dengan akun pribadi atau sebagai admin akun dakwah, nyaris tanpa bimbingan. Bergaya bak Syaikhul Islam wal muslimin, dengan dalil menyebarkan ilmu, padahal hanya melampiaskan syahwat fanatisme yang ada di dalam dirinya. Karakteristik dakwahnya bisa dikenali dengan: bahasanya kasar, selalu bernada memojokkan, nyinyir, suka mengolok-nyolok, bermudah-mudahan dengan vonis dan tentunya minim argumentasi.
Jangankan orang awam, penuntut ilmu yang sudah mulai bisa membaca kitab Arab pun, masih perlu perjalanan panjang untuk memperkaya diri dengan wawasan keilmuan dengan ragam disiplinnya. Sebelum petantang petenteng di belantara dakwah yang semakin runyam ini, setidaknya ia belajar untuk banyak diam terlebih dahulu daripada banyak berkomentar. Jangan sampai karena tidak bisa menahan diri, akhirnya keilmuan dan kedewasaan tidak berkembang, status naik menjadi ustadz atau dai, tetapi fanatisme tidak pernah berubah, hanya fasih melantunkan beberapa kalimat yang fungsinya hanya sekedar menguatkan identitas diri sebagai pembawa kebenaran mutlak.
Di share oleh Ust Wira bachrun