Jumat, 26 Februari 2021

Rifqan Ya Ahlassunnah ?!? ::.

.:: Rifqan Ya Ahlassunnah ?!? ::.

Sesungguhnya pondasi pokok yang wajib lagi harus dilakukan oleh setiap orang yang berbicara dalam masalah bantahan dan kritikan adalah hendaknya ucapan yang dia lontarkan terukur serta obyektif. Sesuai dengan kadar realita yang ada tidak boleh ditambah dan dikurangi.

Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan di dalam kitab Al-Jami' Li Akhlaqirrawi Wa Adabis Sami' 2/300. Dan dengan jalur beliau Ibnu Asakir meriwayatkan di dalam Tarikh Dimasyq : 35/365, dari Imam Yahya bin Ma'in ucapan beliau :

"Sesungguhnya kita mencela satu kaum, sedangkan mereka barangkali saja telah menjejakkan kaki mereka di syurga sejak dua ratus tahun lamanya." 

Maka menjadi keharusan yang wajib adalah membedakan antara kemaslahatan membantah dari satu sisi. Dengan sikap extrim, sikap keras, sikap melampaui batas didalam membantah terhadap orang yang dibantah dan dikritik dari sisi yang lain. 

Maka orang yang kita gelari sebagai ; Orang sesat

Orang Mubtadi' (Ahli bid'ah)

Orang yang yang menyimpang,

Kita hanya boleh menggelarinya dengan sesuatu yang dizinkan oleh sifat-sifat syariat yang mulia, serta hukum-hukum agama yang hanif.  

Bukan menggelari orang berdasarkan dikte dari keinginan jiwa kita. Atau dengan niat yang telah tercampur dengan keinginan jiwa tersebut. Atau menggelari dengan berdasarkan hawa nafsu kita. 
Karena seorang mukmin tidak akan pernah bisa membuat puas egoisme pribadinya. 

Ini semua adalah merupakan inti sari dari arahan Ustadz kami, Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz di dalam kitab Majmu' Fatawa ; 7/313 dari ucapan beliau saat beliau menjelaskan sifat dari bantahan dan kritikan ;

"Hendaknya kritikan dan bantahan itu disampaikan dengan ungkapan yang paling baik serta isyarat yang paling lembut. 

Dengan tanpa disertai serangan, celaan, atau kezaliman dalam ucapan yang bisa mengakibatkan orang menolak kebenaran atau berpaling darinya.

Dan tanpa disertai upaya merendahkan martabat atau menuduh niat orang lain atau menambah ucapan yang tidak diperbolehkan.”

Imam Ibnul Jauzi berkata di dalam kitab Talbis Iblis dalam rangka memperingatkan :

“Termasuk talbis iblis terhadap Ahli Hadits adalah, saling mencela satu sama lain untuk mencari kepuasan diri. Dan mereka mengeluarkan serta mengemas perbuatan itu sebagai Jarh Wat Ta’dil yang digunakan oleh para pendahulu umat ini untuk membela syariat. Dan Allah maha mengetahui maksud-maksud hati.

Dalil akan buruknya maksud mereka adalah sikap diamnya mereka terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh murid mereka. Tidak seperti ini sikap para pendahulu umat, adalah Ali Al-Madini pernah meriwayatkan dari ayahnya dan ayahnya seorang rawi yang dha’if/ lemah, beliau lantas berkata ; Dan di dalam hadits nya Syaikh, terdapat kelemahan yang ada padanya.”

Syaikh Ubaid Al-Jabiri -waffaqahul maula- menyatakan di dalam kitab “Ushul Wa Qawaid Fi Manhaj Salafi” ;

“Apabila orang yang menyimpang ini ushulnya sunnah, dakwahnya sunnah dan semua yang datang dari dia merupakan sunnah. Maka kesalahannya dibantah dan tidak boleh ditelisik-telisik ketergelincirannya, dan harus dijaga kehormatannya.

Namun jika ia merupakan orang ahli bid’ah yang sesat, tidak mengetahui kadar sunnah dan tidak menjadikan sunnah sebagai pondasi. Ia membangun pondasinya di atas kesesatan. 

Maka orang seperti ini dibantah seperti layaknya membantah ahli bid’ah yang sesat. Dihadapi dengan Zajr, Ighladz serta tahdzir. Kecuali jika mengakibatkan munculnya kerusakan yang lebih besar dari diberlakukannya tahdzir ini.”

Berdasarkan hal itu maka, ungkapan yang dikatakan pada saat membantah bahwa si fulan lebih membahayakan dakwah dibandingkan Iblis. Fulan adalah manusia paling busuk yang ada di muka bumi. Serta ungkapan-ungkapan lain yang menyerupai ungkapan keras seperti ini wajib untuk dijauhi, dan berhati-hati darinya serta mencukupkan diri dengan kadar yang seharusnya dengan tanpa melampaui batas dan tanpa berbuat zalim.

Dan jika ada seseorang berdalil dengan sebagian atsar salaf dan nukilan salaf untuk melegalkan ungkapan ini, maka ini tidak bisa diterima sama sekali. 

Jika cara berdalil seperti ini dimaksudkan untuk membangun ta’shil, maka yang wajib dilakukan adalah mengambalikan kepada apa yang diucapkan oleh Syaikh kami Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah di sebagian Taujihat beliau, dan beliau adalah beliau dengan segala kepakaran beliau di dalam Ta’shil serta Tafshil ;

“Atsar-atsar salafiyah itu jika tidak bertebaran secara banyak dan mutawatir, maka tidak selayaknya mengambil sikap sebagian personal dari sekian banyak personal salaf itu sebagai sebuah manhaj.

Manhaj seperti ini menyelisihi apa yang telah maklum dari salaf, bahwasanya seorang muslim tidak keluar dari ruang lingkup Islam hanya karena satu maksiat, bid’ah ataupun dosa yang ia lakukan.

Apabila kita mendapati sesuatu (atsar atau nukilan salaf-pent) yang menyelisihi kaidah ini maka kita melakukan ta’wil. Kemudian diambil kesimpulan bahwa hal tersebut merupakan satu peringatan dan bukan sebagai sebuah aqidah.”

Aku katakan (Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi) ; iya, jika didapatkan ungkapan-ungkapan keras seperti itu, atau yang mirip dengannya dari sebagian salaf. Maka hal tersebut menyelisihi pokok yang diamalkan kaum salaf berupa sikap lemah lembut.

Mengambil sesuatu yang menyelisihi pondasi pokok lantas dijadikan sebagai sebuah pondasi, itu adalah sebuah kekeliruan yang parah. Belum lagi efek buruk yang ditimbulkan oleh ungkapan-ungkapan keras seperti ini yang akan menimpa dakwah salafiyah ini dan para pengusungnya. 

✍🏻 Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi Al-Atsari-

📚(Manhaj Salafus Shalih Fi Ushulin Naqdi Wal Jarhi Wan Nasho’ih : 61-65).
Di share oleh ust Abul Aswad Al bayaty