Kamis, 25 Februari 2021

Al-'Allamah Syaikh 'Abdul Muhsin Al-'Abbad -hafizhahullaah- ditanya di Masjid Nabawi di Madinah Nabwiyyah pada pelajaran "Syarh Sunan Abi Dawud" tanggal 16 Dzul Qa'dah 1420 H:Apakah mengganti syariat Islam dengan hukum buatan (manusia) merupakan suatu kekafiran secara dzatnya?

Al-'Allamah Syaikh 'Abdul Muhsin Al-'Abbad -hafizhahullaah- ditanya di Masjid Nabawi di Madinah Nabwiyyah pada pelajaran "Syarh Sunan Abi Dawud" tanggal 16 Dzul Qa'dah 1420 H:

Apakah mengganti syariat Islam dengan hukum buatan (manusia) merupakan suatu kekafiran secara dzatnya?

Atau (untuk mengkafirkannya) masih butuh kepada penghalalan hati dan keyakinan bolehnya hal tersebut?

Apakah berhukum dengan selain hukum Allah sekali saja: berbeda dengan menjadikan (hukum) buatan (manusia) sebagai syari'at umum -bersamaan dengan keyakinan tidak bolehnya hal tersebut-?

Maka beliau -hafizhahullaah- menjawab:

"Yang tampak bahwa: tidak ada bedanya antara berhukum (dengan selain hukum Allah) dalam satu masalah, atau sepuluh (masalah), atau seratus (masalah), atau seribu (masalah), atau lebih sedikit (dari itu) atau lebih banyak: tidak ada bedanya. Selama seorang meyakini dirinya bahwa dia salah, bahwa dia melakukan suatu perkara yang mungkar, melakukan  maksiat, dan dia takut dari dosa: maka ini kufrun duuna kufrin (kufur ashghar/kecil).

Adapun kalau disertai penghalalan -walaupun hanya dalam satu masalah yang dia menghalalkan padanya: berhukum dengan selain hukum Allah, dia menganggapnya halal-: maka ini merupakan kekafiran."

["Qurratul 'Uyuun..." (hlm. 155), karya Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilali -hafizhahullaah-]

-diterjemahkan oleh: Ahmad Hendrix