Kamis, 25 Februari 2021

Maka sesungguhnya makna perkataan mereka (Muktazilah) {ibarat² ini adalah kalamullah}; yaitu ibarat tersebut merupakan makhluk-Nya. Dan kami (Asy‘ariyyah) tidak mengingkari bahwa itu memang makhluk-Nya. Namun kami melarang dalam hal penamaan Pencipta Kalam telah berbicara dengannya. Sungguh kami berkesesuaian (dengan Muktazilah) dalam makna, namun kami berbeda dalam penamaannya”.

Imamul-Haramayn Al-Juwayni dalam Kitāb Al-Irsyād ilā Qawathi‘il-Adillah fī Ushūlil-I‘tiqād (hal. 51) menerangkan:

فإن معنى قولهم {هذه العبارات كلام الله} أنها خلقه، ونحن لا ننكر أنها خلق الله، ولكن نمتنع من تسمية خالق الكلام متكلما به، فقد أطبقنا على المعنى، وتنازعنا بعد الاتفاق في تسميته.
“Maka sesungguhnya makna perkataan mereka (Muktazilah) {ibarat² ini adalah kalamullah}; yaitu ibarat tersebut merupakan makhluk-Nya. Dan kami (Asy‘ariyyah) tidak mengingkari bahwa itu memang makhluk-Nya. Namun kami melarang dalam hal penamaan Pencipta Kalam telah berbicara dengannya. Sungguh kami berkesesuaian (dengan Muktazilah) dalam makna, namun kami berbeda dalam penamaannya”.

Hal senada ditegaskan juga oleh Al-Qādhī ‘Adhududdīn Al-Ījī dalam Al-Mawāqif fī ‘Ilmil-Kalām (hal. 296):

وقالت المعتزلة أصوات وحروف يخلقها الله في غيره كاللوح المحفوظ أو جبريل أو النبي وهو حادث وهذا لا ننكره لكنا نثبت أمرا وراء ذلك وهو المعنى القائم بالنفس،
“Muktazilah berpendapat: suara dan huruf (Al-Qur’an) diciptakan oleh Allah pada selain-Nya; seperti Lauhulmahfuz, Jibril, maupun Nabi; dan ia baru. Hal ini tidak kami (Asy‘ariyyah) ingkari, akan tetapi kami menetapkan satu hal lagi dibaliknya; yaitu makna yang berdiri dengan zat (Allah)…”

Keterangan Al-Juwayni dan Al-Ījī menegaskan/mengakui bahwa Asy‘ariyyah sepaham dengan sekte Muktazilah dalam isu Kalamullah (kemakhlukan ibarat² Al-Qur’an), belum lagi dalam isu takwil yang banyak kesamaan. Apakah dengan membawakan bukti ini lantas bisa dikatakan/disimpulkan bahwa Asyā‘irah itu Muktazilah?!

Lantas bandingkan dengan Imam Utsman bin Sa‘id Ad-Darimi, dalam rentang waktu 1000tahun-an muncul buanyak ulama, tapi tidak ada satupun ulama terdahulu yang memahami nusus Ad-Darimi sebagai Tajsim, apalagi memvonisnya sebagai Mujassim.


Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa