Kamis, 23 September 2021

REPOST] Para Wali dan (Puncak) Karamahnya

[REPOST] Para Wali dan (Puncak) Karamahnya

* * * * * 

Termasuk prinsip akidah Ahli Sunnah adalah percaya dengan kejadian-kejadian luar biasa yang merupakan karamah para wali Allah. Di antara perkataan Abu Ja’far al-Thahawi dalam postulat-postulat “Akidah”-nya:  

ولا نُفَضِّلُ أَحَدًا مِنَ الأَوْلِيَاءِ عَلَى أَحَدٍ مِنَ الأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلامُ وَنَقُولُ نَبِيٌّ وَاحِدٌ أَفْضَلُ مِنْ جَميعِ الأَوْلِيَاءِ، وَنُؤْمِنُ بِمَا جَاءَ مِنْ كَرَامَاتِهِمْ وَصَحَّ عَنِ الثقَاتِ مِنْ روَايَاتِهِمْ

“Kami tidak mengunggulkan seorang pun dari para wali di atas para Nabi (‘alaihim al-salam). Bahkan kami katakan bahwa satu Nabi lebih afdal dibandingkan seluruh wali. Kami juga percaya dengan karamah mereka serta riwayat-riwayat mereka yang bersumber dari kalangan terpercaya.” 

Yang dimaksud dengan wali Allah adalah tiap orang yang bertakwa. 

Allah Ta'ala berfirman: 

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ، الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ 

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertakwa." [QS Yunus/10: 62-63]

Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) berkata dalam “Tafsir”-nya terkait ayat di atas: 

فكل من كان تقيا كان لله وليا

“Setiap orang yang bertakwa, maka ia adalah wali Allah.” 

Dengan demikian, level kewalian itu bertingkat-tingkat sesuai dengan derajat ketakwaan individunya. Bahkan, seorang mukmin yang berbuat zalim pun memiliki kadar kewalian sesuai dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang dimilikinya. 

Ibn Taimiyyah (w. 728 H) berkata, 

وأما الظالم لنفسه من أهل الإيمان فمعه من ولاية الله بقدر إيمانه وتقواه ، كما معه من ضد ذلك بقدر فجوره

“Adapun (level) seorang yang menzalimi dirinya sendiri, maka bersamanya (tetap) terdapat kewalian dari Allah sesuai kadar keimanan dan ketakwaannya, sebagaimana bersamanya juga terdapat oposit hal tersebut sesuai kadar kedurhakaannya.” [Majmu’ al-Fatawa, vol. VI, hlm. 10.] 

Adapun terkait kejadian luar biasa yang dialami oleh para wali, kita meyakini bahwa pada prinsipnya itu memungkinkan dan bukan mustahil. Namun demikian, banyak dari kisah tentang hal itu hanyalah merupakan mitos dan khurafat belaka, yang periwayatannya tidak valid. Di samping itu, yang menjadi acuan dan standar kebenaran itu tetaplah Quran dan Sunnah, bukan kejadian luar biasa. 

Al-Hafizh Ibn Katsir dalam “Tafsir”-nya menukilkan bahwa Imam al-Syafi’i dan al-Laits berkata, 

إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَمْشِي عَلَى الْمَاءِ وَيَطِيرُ فِي الْهَوَاءِ فَلَا تَغْتَرُّوا بِهِ حَتَّى تَعْرِضُوا أَمْرَهُ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ 

“Jika kalian melihat seorang berjalan di atas air dan/atau terbang di udara, maka janganlah terperdaya dengannya, sampai kalian menimbang kesesuaian perkaranya terhadap Quran dan Sunnah.” 

Menurut redaksi yang lain, disebutkan dalam “Adab al-Syafi’i wa Manaqibuhu”, karya Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), bahwa suatu ketika Yunus bin ‘Abd al-A’la menyampaikan kepada Imam al-Syafi’i ucapan al-Laits (atau selainnya), 

لَوْ رَأَيْتَهُ يَمْشِي عَلَى الْمَاءِ، يَعْنِي: صَاحِبَ الْكَلامِ لا تَثِقْ بِهِ أَوْ لا تَغْتَرَّ بِهِ، وَلا تُكَلِّمْهُ

“Jika engkau melihat seorang ahli Kalam berjalan di atas air, maka janganlah engkau percaya dengannya, serta jangan pula terperdaya dan bicara dengannya.” 

Imam al-Syafi’i merespon, 

فَإِنَّهُ وَاللَّهِ قَدْ قَصَّرَ إِنْ رَأَيْتَهُ يَمْشِي فِي الْهَوَاءِ، فَلا تَرْكَنْ إِلَيْهِ

“Masih kurang (ucapan) beliau itu, demi Allah. Bahkan, kalaupun ia berjalan di udara, janganlah kamu condong kepadanya.” 

Jadi kisah tentang kejadian luar biasa jangan otomatis dibenarkan, melainkan tetap harus ditimbang dengan Quran dan Sunnah. Juga tidak tertutup kemungkinan kejadian luar biasa itu hanya merupakan khurafat belaka atau bahkan justru berasal dari wali setan. Di era sains sekarang, seorang yang terlalu mudah percaya dengan kejadian luar biasa malah mengesankan keterbelakangan. 

Selain itu, karamah terbesar yang dimiliki para wali itu bukanlah kejadian luar biasa, melainkan istiqamah di atas kebenaran, menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Hal ini juga sebagaimana dinyatakan oleh kalangan Sufi. 

Al-Mulla ‘Ali al-Qari (w. 1014 H) berkata dalam “Mirqatul-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih” (vol. I, hlm. 84), dan hal senada juga beliau sampaikan dalam “Jam’ul-Masail fi Syarh al-Syamail” (vol. I, hlm. 93), 

قَالَتِ الصُّوفِيَّةُ: الِاسْتِقَامَةُ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ كَرَامَةٍ

“Kalangan Sufi berkata, ‘Istiqamah lebih baik dari seribu karamah.’” 

Ibn Taimiyyah berkata, 

وَإِنَّمَا غَايَةُ الْكَرَامَةِ لُزُومُ الِاسْتِقَامَةِ

“Hanyalah puncak karamah itu adalah tetap istiqamah.” [Majmu’ al-Fatawa, vol. XI, hlm. 11] 

Demikian. Semoga bermanfaat. Allahu a’lam. 

AdniKu 
23/09/2020