Sabtu, 04 Februari 2023

SANDIWARA SEBAGAI METODE DAKWAH, BOLEHKAH ?

SANDIWARA SEBAGAI METODE DAKWAH, BOLEHKAH ?

Disusun oleh : 
Ustadz Arif Fathul Ulum

Sandiwara dengan segala macam bentuknya begitu marak di kalangan kaum muslimin, bahkan sudah menjadi bagian kehidupan mereka, begitu banyak pakar-pakarnya dan sarana-sarana penayangannya : di radio, televisi, panggung-panggung pertunjukan, dan bahkan di semua tempat.

Sandiwara begitu banyak menyibukkan kehidupan kaum muslimin: sebagi pemain, pendengar, dan pemirsa, bahkan banyak sekolah-sekolah sandiwara di lembaga pendidikan maupun di sanggar-sanggar yang menelorkan para pemain-pemain panggung, artis-artis film maupun sinetron, bahkan sandiwara dengan segala bentuknya merupakan sarana yang empuk untuk mengeruk keuntungan yang besar.

Di samping itu banyak dari jama’ah-jama’ah dakwah yang menjadikan sandiwara sebagai sarana dakwah mereka, bahkan menjadi “ ketrampilan wajib “ bagi da’i-da’i mereka.

Begitu dalam pengaruh sandiwara ini ke dalam tubuh kaum muslimin sehingga siapa yang tidak suka kepadanya dikatakan sebagai orang yang ketinggalan jaman.

Karena inilah maka kami melihat pentingnya menjelaskan kedudukan sandiwara dalam pandangan syar’I, karena setiap gerak-gerik seorang muslim wajib berlandaskan aturan-aturan syar’I dan berada dalam ruang lingkup adab-adab Islami.

ASAL USUL SANDIWARA

Sandiwara pada awalnya merupakan bagian dari ritual orang-orang Yunani yang menganut paganisme ( penyembahan kepada berhala ) sebagaimana dalam Mu’jam Mufashshal 2/1149-1150 .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan dalam kitabnya Iqtidha’ Shirathal Mustaqim 1/478 apa yang dilakukan oleh orang-orang Nashara pada perayaan hari raya mereka, mereka mengeluarkan daun-daun Zaitun dan yang semisalnya dengan maksud untuk menyerupai perbuatan Al-Masih ketika masuk ke Baitul Maqdis.

Kemudian berkembanglah sandiwara ini di gereja-gereja sebagai bagian dari ritual gereja dengan nama tragedi dan teater.

Pada abad kelima belas Hijriyyah sekarang ini berkembanglah model-model sandiwara Islami di lembaga-lembaga pendidikan Islam bahkan di jama’ah-jama’ah dakwah, bahkan banyak dijumpai group-group teater “ Islami “. Mereka tidak segan-segan memerankan para tokoh-tokoh Islam dari kalangan ulama terdahulu sampai para sahabat, bahkan para nabi dan malaikat !.

MACAM-MACAM SANDIWARA

Sandiwara secara umum terbagi menjadi dua bagian :

1. Sandiwara agama yang terbagi menjadi dua :
a. Tragedi, untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa duka.
b. Teater

2. Sandiwara yang bersifat hiburan terbagi menjadi dua :
a. Komedi, untuk menggambarkan hal-hal yang lucu.
b. Melodrama atau Drama, untuk menggambarkan hal-hal yang menegangkan.
Kemudian berkembanglah nama-nama Islami untuk model-model sandiwara, seperti sandiwara Islami, teater Islami, sinetron Islami, drama Islami, …

HUKUM SANDIWARA

Sandiwara tidak ada hubungan sama sekali dengan generasi terbaik umat ini dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in, bahkan dia adalah bentuk peribadahan paganisme Yunani dan Nashara yang kemudian manyelundup ke dalam tubuh kaum muslimin, maka jelas sekali bahwa syari’at Islam yang suci menolaknya, dan berikut ini beberapa point yang menjelaskan hal tersebut :

Yang Pertama : 

Merupakan hal yang dimaklumi bahwa amalan terbagi menjadi dua bagian : ibadah dan adat kebiasaan, dan Hukum asal perkara-perkara ibadah tidak disyari’atkan kecuali yang disyari’atkan Alloh, dan hukum asal perkara-perkara adat kebiasaan tidak dilarang kecuali yang dilarang oleh Alloh 
( Majmu’ Fatawa 4/196 ).

Bertolak dari hal ini sandiwara tidak lepas dari dua keadaan, sebagai sarana ibadah ( sandiwara Islami ) atau sebagai sarana hiburan, jika dia adalah sebagai sarana ibadah, maka ibadah tidak dibolehkan kecuali dengan nash, dan sandiwara Islami tidak pernah dikenal dalam Islam, maka dia adalah cara-cara ibadah yang diada-adakan, sedangkan Rasulullah  bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini yang bukan darinya maka dia tertolak “ 
( Muttafaq Alaih ).

Dari sini bisa disimpulkan bahwa sandiwara-sandiwara Islami yang dipraktekkan oleh jama’ah-jama’ah dakwah adalah merupakan hal yang bid’ah, tidak berdasar sama sekali kepada dalil syar’I, bahkan asalnya adalah dari peribadahan paganisme Yunani dan Nashara, maka nama yang tepat untuk sandiwara Islami ini adalah sandiwara Bid’i.

Yang perlu dijadikan renungan bahwa sandiwara ini dijadikan sarana peribadahan oleh orang-orang kafir karena mereka kosong dari syari’at, adapun kaum muslimin maka mereka memiliki syari’at yang terjaga dari penyelewengan yaitu Kitab dan Sunnah, sehingga kaum muslimin tidak butuh kepada kepada sandiwara dan hal-hal lain yang tidak berdasar kepada Kitab dan Sunnah.

Kaum muslimin menjadikan sandiwara ini sebagai sarana ibadah ketika mereka malas mendalami ilmu syar’i dan merasa berat untuk mengamalkannya, sehingga dengan mudah sandiwara ini masuk ke dalam kaum muslimin.
Begitu lancang kaum muslimin memerankan tokoh-tokoh Islam di panggung-panggung sandiwara, bahkan sampai kepada para nabi dan para malaikat.

Merupakan hal yang telah disaksikan di media-media massa apa yang disebut dengan “ sandiwara Islami “, di situ seorang muslim memerankan sosok seorang musyrik yang menyembah sebatang pohon … dengan tujuan untuk menjelaskan keutamaan tauhid ?!. 
Kita berlindung kepada Alloh dari kesesatan ini.

Adapun jika dikatakan bahwa sandiwara adalah suatu adat kebiasaan, maka ini merupakan bentuk penyerupaan kepada orang-orang kafir yang mereka adalah musuh-musuh Alloh, sedangkan kita dilarang untuk menyerupai mereka, Rasulullah  bersabda :

مَنْ تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia tergolong mereka “ 
( Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abd bin Humaid dan Thahawy dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany dalam Adab Zifaf hal. 205 ).

Alloh telah melarang kaum muslimin dari menyerupai perbuatan mereka :

 أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. “ 
( Al-Hadid : 16 ).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : 
“ Firman Aloh “ dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya “ adalah larangan menyerupai mereka secara mutlak “ 
( Iqtidha Shirathal Mustaqim hal. 43 ).

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata ; “ Karena inilah Alloh melarang orang-orang yang beriman dari menyerupai orang-orang kafir dalam perkara-perkara pokok dan cabang “
( Tafsir Ibnu Katsir 4/310 ).

Ibnu Hajar Al-Haitsamy berkata : 
“ Di antara hal-hal yang menjadikan pelakunya kafir adalah jika berkumpul beberapa orang, kemudian seorang dari mereka duduk di tempat yang lebih tinggi meniru seorang penceramah, kemudian yang lainnya menanyakan masalah-masalah, dalam keadaan mereka mentertawakan dan kemudian memukulinya dengan alat penggali tanah. Atau jika ada yang menirukan seorang pengajar, dia mengambil sebatang kayu kemudian orang-orang duduk di sekelilingnya seperti anak-anak kecil, mereka tertawakan dan mereka hina … “ 
( Al-I’lam Biqowathi’il Islam hal. 362 ).

Yang Kedua : 

Sandiwara tidak pernah lepas dari kedustaan, sedangkan dusta adalah perbuatan yang diharamkan, dan jiwa manusia wajib dibiasakan berbuat jujur dan meninggalkan kedustaan, maka cerita-cerita dusta akan melatih jiwa untuk berdusta dan tidak meninggalkan perbuatan dusta.

Rasulullah bersabda :

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah orang yang bicara dan berdusta untuk membuat orang-orang tertawa, celakalah dia, celakalah dia “ 
( Diriwayatkan oleh 
Ahmad dalam Musnadnya : 19191 , 
Abu Dawud dalam Sunannya : 4338 dan 
Tirmidzy dalam Sunannya : 2237 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ghayatul Maram : 376 ).

Dan jika sandiwara ini menggambarkan suatu kejadian nyata maka ini termasuk المحاكاة ( menirukan perbuatan orang lain ) yang dilarang secara mutlak berdasarkan sabda Rasulullah  :

مَا أُحِبُّ أَنِّي حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَأَنَّ لِي كَذَا وَكَذَا

“Aku tidak suka menirukan seseorang walaupun aku mendapatkan ini dan itu" 
( Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya : 23816 , Abu Dawud dalam Sunannya : 4232 dan Tirmidzy dalam Sunannya : 2426 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shahihul Jami’ 2/968 ).

Al-Imam An-Nawawi berkata : 
“ Termasuk ghibah yang diharamkan adalah المحاكاة ( menirukan perbuatan orang lain ), seperti seorang yang berjalan seperti pincang atau menunduk atau yang semacamnya dengan menirukan perbuatan orang yang dihinanya, semua itu disepakati keharamannya “ 
( Al-Adzkar hal. 490 ).

Maka jelaslah bahwa menirukan perbuatan orang sangat dibenci dalam Islam, dan dia adalah perbuatan yang menyakitkan bagi orang yang ditirukan, karena tabiat manusia merasa tidak suka menyaksikan siapa saja yang menirukannya walaupun yang ditirukan itu adalah perbuatan terpuji. Perbuatan ini adalah pelanggaran kehormatan terhadap seorang muslim, sedangkan Rasulullah  bersabda :

كل المسلم على المسلم حرام دمه و ماله و عرضه

“Setiap muslim haram darah, harta dan kehormatannya atas muslim yang lainnya“ 
( Diriwayatkan Tirmidzy dalam Sunannya : 1850 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shahihul Jami’ 2/1136 ).

Suatu pertanyaan kepada para pendukung dan penggemar sandiwara : Apakah dia rela dia ditirukan perbuatannya dihadapannya ketika dia sedang bicara dengan istrinya, atau sedang melakukan suatu kemaksiatan atau apa saja dari fase-fase kehidupannya ?!.

Yang Ketiga : 

Muruah ( tata krama dan kesopanan ) termasuk maksud-maksud dari syari’at, syari’at Islam mengajak kepada akhlaq-akhlaq yang mulia dan melarang dari akhlaq-akhlaq yang rendah dan hina, adapun pelaku sandiwara, teater dan semisalnya maka begitu banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar kesopanan, bahkan ada yang memerankan orang tolol, orang gila, dan sebagainya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : 
“ Adapun orang yang berbicara dengan perkataan dusta, untuk membuta orang-orang tertawa, atu untuk maksud yang lain, maka dia telah bermaksiat kepada Alloh dan RasulNya, Bahz bin Hakim meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi  bersabda :

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah orang yang bicara dan berdusta untuk membuat orang-orang tertawa, celakalah dia, celakalah dia “ 
( Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya : 19191 , Abu Dawud dalam Sunannya : 4338 dan Tirmidzy dalam Sunannya : 2237 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ghayatul Maram : 376 ).

Ibnu Mas’ud berkata : 
“ Sesungguhnya kedustaan tidak pantas dilakukan dalam hal serius dan santai, jangan sampai seorang dari kalian memberikan janji kepada anak kecil kemudian tidak menepatinya “.
Maka pelaku perbuatan ini pantas mendapatkan hukuman syar’i agar jera kepada perbuatannya “ 
( Majmu’ Fatawa 32/255-256 ).

Yang Keempat : 

Ketika marak cerita-cerita dusta di kalangan para penceramah di zaman Amirul Mukminin Umar bin Khaththab , maka beliau melarangnya, dan sangat mengingkari perbuatan-perbuatan para tukang ceramah yang memakainya.

Begitu banyak rentetan perkataan para ulama dalam mengingkari cerita-cerita dusta itu, mereka jelaskan bahwa itu adalah kedustaan, mempermainkan akal, dan sekaligus mencoreng keluhuran Islam serta menumbuhkan banyak sekali hadits-hadits palsu.
Alloh telah mencukupkan kita dari kisah-kisah dusta ini dengan Al-Qur’an yang di dalamnya penuh dengan kisah-kisah yang benar, bahkan di dalamnya terdapat kisah yang terbaik.

Para ulama banyak menulis peringatan kepada umat tentang para pembuat hadits palsu dan cerita dusta karena besarnya bahaya mereka dan sangatnya pengaruh jelek mereka.
Tetapi , ternyata pada zaman ini, kembalilah cerita-cerita dusta itu dengan pakaian yang baru, kalau dulu dengan nama hadits palsu, maka sekarang dengan sandiwara dusta ( walaupun sebagian kaum muslimin dan jama’ah-jama’ah Islam menamakannya dengan nama 
“ sandiwara Islami “ 
sebagai sarana untuk dakwah !!! ).

SYUBHAT-SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Di antara syubhat-syubhat mereka-mereka yang membolehkan sandiwara sebagi sarana dakwah :

1. Mereka mengatakan hukum sandiwara pada asalnya mubah.
2. Mereka mengatakan sandiwara adalah salah satu sarana tarbiyah dan pendidikan.
3. Mereka mengatakan bahwa sandiwara adalah salah satu sarana untuk menampakkan keagungan Islam dan keagungan tokoh-tokohnya.
4. Mereka mengatakan bahwa sandiwara salah satu bentuk permisalan, sedangkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah banyak terdapat permisalan-permisalan.
5. Mereka mengqiyaskan sandiwara dengan penampakan malaikat Jibril kepada Rasulullah  dalam wujud seorang manusia.

Maka jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat di atas adalah :

1. Pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal sandiwara adalah mubah tidak bisa diterima, karena sandiwara haram dari asalnya, asalnya adalah dari peribadahan paganisme Yunani dan Nashara, sedangkan Islam berlepas diri darinya.

2. Pendapat yang mengatakan bahwa sandiwara adalah salah satu sarana tarbiyah dan pendidikan adalah pendapat yang keliru, karena sarana tarbiyyah tidak boleh mengandung kemungkaran, sedangkan dalam sandiwara di dalamnya begitu banyak kemungkaran-kemungkaran sebagaimana dalam uraian terdahulu.

3. Pendapat yang mengatakan bahwa sandiwara adalah salah satu sarana untuk menampakkan keagungan Islam dan keagungan tokoh-tokohnya, maka ini juga pendapat yang salah, karena sarana-sarana untuk mendukung agama harus lepas dari segala kebid’ahan dan hal-hal yang baru. Dakwah ilallah adalah tauqifiyyah ( wajib berdasar kepada dalil ) dalam sarana dan tujuannya, sedangkan sandiwara adalah perkara baru dan bid’ah.

4. Adapun mengqiyaskan sandiwara dengan permisalan-permisalan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka ini adalah qiyas yang rusak karena adanya perbedaan antara kedua hal yang dikiaskan, karena permisalan-permisalan dalam Kitab dan Sunnah adalah berupa perkataan, sedangkan sandiwara adalah perbuatan, lalu bagaimana keduanya dikiaskan. Kemudian permisalan-permisalan dalam Kitab dan Sunnah adalah suatu kebenaran, sedangkan sandiwara adalah kedustaan-kedustaan.

5. Adapun mengqiyaskan sandiwara dengan penampakan Jibril kepada Rasulullah  dalam wujud seorang manusia, maka ini juga qiyas yang rusak dengan perincian-perincian di bawah ini :
Bahwasanya kemampuan untuk berubah menjadi wujud yang lain adalah termasuk kekhususan alam ghaib dari alam nyata, Alloh telah memberikan kemampuan kepada para malaikat untuk menjelma menjadi wujud-wujud yang lain dengan dengan penjelamaan yang sempurna, sebagaimana datang dalam nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah  :
Alloh menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa Jibril datang kepada Maryam dalam wujud seorang manusia :

 فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا 

“lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.. “ 
( Maryam : 17 ).

Malaikat juga pernah datang kepada Ibrahim dalam wujud seorang manusia.
Jibril pernah datang kepada Rasulullah  dalam wujud yang berbeda-beda, pernah dalam wujud Dihyah Al-Kalby dan pernah dalam wujud seorang Baduwi.

Alloh juga memberi kemampuan kepada jin dan syaithan untuk menjelma menjadi bentuk manusia atau binatang.
Seperti datangnya syaithan kepada orang-orang musyrik pada waktu perang Badar dalam wujud Suraqah bin Malik.

Jin bisa menjelma menjadi anjing atau ular dan sebagainya.
Maka ini semua adalah perubahan wujud yang sebenarnya yang Alloh taqdirkan pada alam ghaib dari para malaikat, jin dan syaithan, semua itu sebagai ujian dan hikmah-hikmah lain di sisi Alloh  , kemampuan untuk penjelmaan yang sempurna ini tidak pernah terjadi pada seorang manusia di alam nyata, tetapi hanya berlaku bagi alam ghaib.

Karena inilah maka mengqiyaskan alam nyata atas alam ghaib adalah qiyas yang rusak. Wallohu A’lam.
( Pembahasan ini disarikan dari kitab At-Tamtsil oleh Syaikh Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid cetakan pertama tahun 1411 H ).

PENUTUP

Sebagai kesimpulan bahwa sandiwara pada asalnya adalah ritual paganisme Yunani dan Nashara, jika dia dijadikan sebagai sarana dakwah maka dia adalah sarana yang bid’ah yang diharamkan oleh syari’at, karena ibadah adalah tauqifiyyah, yaitu wajib berlandaskan atas nash yang shahih.

Sandiwara tidak pernah lepas dari kedustaan, sedangkan dusta adalah perbuatan yang diharamkan, dan jiwa manusia wajib dibiasakan berbuat jujur dan meninggalkan kedustaan, maka cerita-cerita dusta akan melatih jiwa untuk berdusta dan tidak meninggalkan perbuatan dusta.

Jika sandiwara ini menggambarkan suatu kejadian nyata maka ini termasuk المحاكاة ( menirukan perbuatan orang lain ) yang dilarang secara mutlak oleh Rasulullah dan merupakan pelanggaran kehormatan yang diharamkan.

Sandiwara juga merupakan sarana perusak aqidah dan akhlaq manusia dan sekaligus merupakan penyebar kemaksiatan-kemaksiatan.

Maraknya sandiwara, teater, dan yang semisalnya di kalangan kaum muslimin merupakan bukti kerusakan umat Islam, bahwasanya mereka tenggelam dalam permainan dan kelalaian, dan lemah dalam agama, kosong dari ilmu syar’i dan malas untuk mempelajarinya, maka maraknya sandiwara adalah salah satu dari program musuh-musuh Islam untuk menguasai Islam dengan menyibukkan mereka pada hal-hal yang madharat dan merusak akhlaq mereka.

Perusakan akhlaq adalah salah satu program utama Yahudi sebagaimana dalam Protokolat Zionisme : 
“ Wajib bagi kita untuk merusak akhlak manusia di semua tempat, sehingga kita mudah untuk menguasai mereka, dinampakkan hubungan sex di bawah terik matahari agar tidak tersisa satupun kesucian dalam pandangan para pemuda, dan jadilah tujuan utama mereka adalah memuaskan nafsu birahi mereka, pada saat itulah longsorlah akhlaq mereka “.

Sejarah membuktikan bahwa tenggelam dalam acara-acara lucu dan pertunjukan adalah salah satu pertanda kelemahan dan kehancuran suatu negara. Inilah Al-Musta’shim khalifah terakhir dari Bani Abbasiyyah di Baghdad dikenal sangat gemar kepada pertunjukan-pertunjukan yang lucu, dan menghabiskan banyak hari-harinya bersama pertunjukan tersebut sebagaimana diceritakan dalam Al-Fakhry hal. 144 dan Tarikh Abil Fida’ 3/176.

Demikianlah jika sunnah telah mati maka muncullah bid’ah-bid’ah, ketika kesungguhan dan azam telah lemah, maka maraklah kelemahan dan kemalasan dalam umat.
Ya Alloh bangunkanlah kaum muslimin dari kelalaian mereka, dan perbaikilah keadaan mereka !.
والله أعلم بالصواب