Ushul Fiqh dan Keributan Muqallid
1. Dengan mempelajari ushul fiqh, seseorang akan melanjutkan estafet penjagaan terhadap ushul istidhlal yaitu dalil. Sebab dalam ushul fiqh akan disebutkan pembahasan-pembahasan mana kah yang merupakan dalil dan bukan kategori dalil sehingga seseorang tidak sembarangan dalam menempatkan sesuatu sebagai dalil.
2. Seseorang akan mendapatkan penjelasan mengenai cara yang benar dalam menggali kesimpulan hukum dari sebuah dalil. Ingat, ketika sebuah dalil valid, belum tentu cara menggali hukum dari dalil tersebut benar yang pada akhirnya kesimpulan hukum yang terpilih akan keliru meskipun dalil yang dibawakan berporos pada pijakan shahih.
3. Akan memberikan kemudahan bagi seseorang dalam berijtihad sekaligus memberikan status hukum yang tepat dan selaras pada sebuah kasus/kejadian/suatu hal baru yang belum ada di era salaf atau bahkan zaman belakangan.
4. Seseorang akan mendapat gambaran terkait ketentuan-ketentuan fatwa, syarat sekaligus adab bagi seorang mufti. Ini menjadikan seseorang tidak gegabah dalam berbicara persoalan agama.
5. Seseorang akan lebih mengetahui kadar dirinya sendiri. Amat jauh dirinya dengan keilmuan para ulama. Para ulama, terlebih al-a’immah al—arba’ah/imam empat itu telah mencurahkan segala upaya, waktu dan tenaga dalam menganalisis dalil guna melahirkan sebuah hukum.
6. Dengan mempelajari ushul fiqh, seseorang akan lebih menghormati para ahli ilmu sembari memahami faktor yang menjadi asal-muasal khilaf para ulama yang pada akhirnya akan legowo terhadap perbedaan yang ia dapati ketika para ulama membincangkan rangkaian khilaf dalam tema yang dibahas dalam kitab-kitab yang ada. Dia mencapai tahap ini sebab tersadarkan bahwa kesimpulan hukum tidak serta merta lahir dan muncul dengan adanya dalil. Dibutuhkan alat untuk menggali dan menelusuri permata hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Dengan itu, dia memahami bahwa keberadaan dalil bukanlah satu-satunya amunisi. Dalil hanyalah separuh perjalanan dan separuh yang lain adalah rangkaian alat dan pola pikir yang harus diaktifkan.
7. Rangkaian ilmu ushul fiqh yang dipelajari akan menjadikannya tidak gegabah dalam memberikan penilaian buruk dan negatif terhadap sebuah pendapat fiqh sehingga keributan di akar rumput baik di dunia nyata atau medsos semakin mudah direm.
8. Mempelajari ushul fiqh sebenarnya menyerukan seseorang untuk mengikuti dalil dan meninggalkan ta’asshub. Sebab pengetahuan terhadap pola pikir dalam menelesuri hukum akan mengantarkannya pada sebuah titik di mana ia bisa meninggalkan kesimpulan hukum yang didasari pola pikir yang salah baik pola pikir tersebut dianut tokoh lain atau gurunya sendiri yang ia hormati.
9. Faidah lain mempelajari ushul fiqh adalah penjagaan terhadap akidah. Mempelajari ushul fiqh artinya menjaga ushul istidhlal yaitu dalil. Menjaga dalil dan cara beristinbath artinya menjaga kemurnian akidah dan dengan itu seseorang bisa melayangkan kritikan dan kecaman terhadap penyimpangan dalam bab akidah -dan juga tema lain-.
10. Penjagaan terhadap fiqh itu sendiri sehingga tidak muncul sikap inklusif/terlalu terbuka/melebar dalam menerapkan kaidah yang ditengarai sikap penempatan sumber-sumber baru dalam syariat. Pula agar tidak terjebak dalam sikap jumud/eksklusif yaitu sikap kaku yang ditengarai seruan menutup pintu ijithad.
11. Ushul fiqh mengatur etika berdialog dan berdiskusi yaitu dengan mendasari hukum atas dasar dalil dan pola pikir yang teratur sehingga dialog fiqh akan lebih terarah.
12. Seseorang akan mendapati bahwa syariat ini adalah syariat yang indah, mudah dan penuh kelapangan. Dalam Islam, akal tidak digilas dan dibuang ke samudera kebodohan. Penerapan ushul/kaidah fiqh pada sebuah nash adalah terapan akal. Karena itu ijithad benar akan melahirkan dua pahala sementara ijtihad salah akan mendapatkan satu pahala. Akal akan mengolah terapan ushul/fiqh sehingga melahirkan hukum dan tentunya akal yang dimaksud adalah akal yang sudah digembleng dalam didikan ushul fiqh, bukan akal awam yang dimiliki orang awam.
13. Karena bukan berbicara tentang kevalidan sebuah dalil terkait shahih dan dhaifnya, pembelajar ushul fiqh akan memahami bahwa mereka membutuhkan uluran tangan para ahli hadits. Mereka harus bertanya dan taklid kepada ahli hadits terkait ini jika memang tidak memiliki sampan dan dayung untuk berselancar dalam samudera rijal hadits dan ilal-nya. Sebab tidak mungkin menjadikan hadits mardud dan segala variannya sebagai dasar hukum, entah itu dalam tema akidah, fiqh, dll.
14. Pada akhirnya, seorang muqallid haruslah sadar dan tau diri bahwa dia muqallid. Dia tidak terhitung sebagai ahli ilmu sebab tidak memiliki alat yang bisa digunakan untuk menghasilkan produk hukum baik itu terkait fiqh atau keabsahan sebuah status hadits. Kewajiban seorang awam adalah taklid dan itulah namanya muqallid. Boleh baginya untuk melazimi dirinya sendiri untuk mengikuti sebuah pendapat mujtahid/imam namun tidak boleh baginya mendebat orang lain atau bahkan ahli ilmu lainnya dengan berargumen dengan ijtihad imam yang ia ikuti.
Ulama atau ahli ilmu lain yang tidak dia ikuti dan berbeda dengan imam/gurunya tidak boleh dia debat, atau menilainya fasiq, ahli bid’ah, menyebutnya thagut atau dikatakan sebagai sosok yang menyelisihi salafusshaleh dan gelar-gelar buruk lainnya hanya karena tidak sama dengan pendapat gurunya atau imamnya. Ijtihad gurunya bukanlah hujjah bagi orang lain dan ijtihad guru/imam lain juga bukanlah hujjah baginya dan juga gurunya sendiri.
Seorang muqallid hanyalah boleh bertanya kepada imam lain guna untuk menambah atau menggali pemahaman/su-al istifham dan bukan dalam rangka mengingkari atau mendebat sebab dia sendiri adalah orang awam yang tidak memiliki bekal apa-apa dalam mengarungi samudera ilmu dan penggalian hukum. Begitu pula ketika gurunya menilai shahih sebuah hadits dan guru lain menillai dhaif, muqallid ini tidak boleh mendebat guru lain hanya karena hasil penelitian terhadap hadits tersebut berbeda dengan hasil tahkik gurunya.
Boleh baginya untuk bertanya kepada guru/imam lain itu namun tidak boleh melakukan sebuah kejahatan dengan menilainya sebagai sosok yang keluar dari manhaj salaf atau menganggap guru lain itu bodoh lagi ilmunya jauh di bawah ilmu gurunya. Muqallid juga tidak boleh berlagak sebagai ahli ilmu, membahas apa yang bukan ranahnya dan mendebat orang lain terutama di sosmed karena ia tidak memiliki bekal dan instrumen apapun dalam mengarungi ilmu dan begitu seringnya membuat kegaduhan, saling caci dan cela, biang keributan dan juga penyebab putusnya hubungan persaudaraan Islam.
.
______
Penyusun: Yani Fahriansyah