MENINGGIKAN KUBUR
Kalangan ahlul bid'ah menuduh ahlussunnah wal jamaah (yang mereka gelari wahabi) melarang meninggikan kubur dan memerintahkan untuk membongkarnya. Padahal yang melarang dan memerintahkan untuk meratakan kuburan yang dibangun adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan amalan para salaf. Ahlussunnah (yang mereka gelari wahabi) hanya menyampaikan dalil tentang hal itu
Ahlussunnah waljamaah dari zaman ke zaman senantiasa mengikuti sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan sunnah para khulafaur rasyidin, termasuk dalam perkara kuburan. Mereka tidak membangun kubur, menembok dan mengkeramik (mentehelnya)nya. Cukup hanya gundukan tanah semata sekitar setinggi satu jengkal.
Berkata Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ (رواه مسلم).
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim).
Dan berkata Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
نَهَى النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهَا وَأَنْ تُوطَأَ (رواه الترمذي و ابن حبان - قال الشيخ الألباني : صحيح).
Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyemen kuburan, menulisinya, mendirikan bangunan di atasnya, duduk di atasnya dan menginjaknya (HR, Ibnu Majah : Hadits Shahih).
Dan berkata Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
أن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُلْحِدَ وَنُصِبَ عَلَيْهِ اللَّبِنُ نَصَبًا ، وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ.
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban : sanadnya hasan).
Berkata Sufyan at Tamar radhiyallahu anhu:
رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مُسَنَّمًا. (رواه البخاري).
“Aku melihat kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk”. (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita kaum muslimin untuk meratakan kubur, tidak meninggikannya, apalagi membangunya.
Berkata Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا
“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim).
Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku:
ألَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَه
“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim).
Dibawah ini saya tuangkan mengenai pendapat para ulama mengenai meninggikan kuburan, membangunnya dan lain sebagainya.
Berkata Imam Asy Syafi’i Rahimahullah,
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku suka (kubur) tidak dibangun dan tidak dikapur (disemen), karena sesungguhnya itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
Berkata An-Nawawiy rahimahullah, mengomentari hadits riwayat Ali radhiyallahu anhu,
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Padanya (dihadits tersebut) bahwa sunnah kubur tidak ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Berkata Imam Syafi’i rahimahullâh :
Dimakruhkan (dibenci) menembok kuburan, menulis nama yang mati (dibatu nisan) di atas kuburan atau tulisan-tulisan yang lain dan membuat bangunan di atas kuburan. (Al Majmu V/266).
Dan berkata Imam Syafi’i rahimahullâh :
“Saya suka kalau tanah kuburan itu tidak ditinggikan dari selainnya dan tidak mengambil padanya dari tanah yang lain. Tidak boleh, apabila ditambah tanah dari lainnya menjadi tinggi sekali, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja. Saya hanya menyukai ditinggikan (kuburan) di atas tanah satu jengkal atau sekitar itu dari permukaan tanah”.
“Saya suka bila (kuburan) tidak dibangun dan ditembok, karena itu menyerupai penghiasan dan kesombongan, dan kematian bukan tempat bagi salah satu dari keduanya. Dan saya tidak melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar ditembok. Seorang perawi menyatakan dari Thawus, bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah melarang kuburan dibangun atau ditembok. Saya sendiri melihat sebagian penguasa di Makkah menghancurkan semua bangunan di atasnya (kuburan), dan saya tidak melihat para ahli fikih mencela hal tersebut." (Al Majmu V/266).
Berkata Imam Nawawi rahimahullâh :
“Dimakruhkan (dibenci) menembok kuburan, mendirikan bangunan, dan menuliskan sesuatu di atasnya. Apabila bangunan itu didirikan di atas tanah kubur yang diwakafkan fi sabilillah, maka hal itu harus dirobohkan.” (Al-Muhadzdzab I/456).
Berkata Asy Syaukani rahimahullâh :
“Kubur tidak boleh ditinggikan terlalu tinggi, tanpa ada beda antara kubur orang yang terpandang dengan yang lainnya. Zhahirnya, meninggikan kubur lebih dari kadar yang dibolehkan hukumnya haram. Demikian yang telah ditegaskan oleh rekan-rekan Imam Ahmad dan beberapa orang rekan Imam Syafi,I” ( Nailul Autar (IV/131).
Berkata Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullâh :
“Perbuatan-perbuatan haram yang paling besar dan sebab-sebab yang menyeret kepada kemusyrikan adalah shalat di atas kuburan, menjadikan kuburan sebagai masjid, dan membuat bangunan di atasnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh, maka kata makruh ini harus diartikan lain, yakni haram. Sebab tidak mungkin para ulama membolehkan sesuatu perbuatan di mana Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melaknat pelakunya, dan berita tentang laknat dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ini diterima dari generasi ke generasi.” (az-Zawajir’an Iqtiraf al-Kabair, I/195).
Dan berkata Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullâh:
“Bangunan-bangunan di atas kuburan itu harus segera dihancurkan, begitu pula kubah-kubah yang ada di atasnya, karena bangunan-bangunan itu lebih berbahaya dari pada masjid dhirar. Membuat bangunan itu merupakan tindakan durhaka kepada Rasululallah shallallahu’alaihi wasallam, karena beliau melarangnya, dan beliau memerintahkan untuk menghancurkan kuburan-kuburan dibangun menonjol dari dataran tanah. Sedangkan lampu-lampu yang dipasang di atas kuburan harus dihilangkan, dan tidak boleh mewakafkan lampu-lampu, atau nadzar memasang lampu-lampu untuk kepentingan tersebut.” (az-Zawajir’an Iqtiraf al-Kabair, I/195).
AFM
Copas dari berbagai sumber