Menguji Aqidah Ibnu Taimiyyah
Aqidah Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah diuji di zamannya oleh para ulama, dan akhirnya mereka bersepakat bahwa aqidahnya adalah aqidah sunni salafi yang bagus.
Ibnu Abdil Hadi menukil perkataan Adz-Dzahabi,
فَلَمَّا كَانَ سنة خمس وَسَبْعمائة جَاءَ الْأَمر من مصر بِأَن يسئل عَن معتقده فَجمع لَهُ الْقُضَاة وَالْعُلَمَاء بِمَجْلِس نَائِب دمشق الأفرم. فَقَالَ أَنا كنت سُئِلت عَن مُعْتَقد أهل السّنة فأجبت عَنهُ فِي جُزْء من سِنِين وَطَلَبه من دَاره فأحضر وقرأه. فنازعوه فِي موضِعين أَو ثَلَاثَة مِنْهُ وَطَالَ الْمجْلس فَقَامُوا واجتمعوا مرَّتَيْنِ أَيْضا لتتمة الْجُزْء وحاققوه. ثمَّ وَقع الِاتِّفَاق على أَن هَذَا مُعْتَقد سلفي جيد
(Adz-Dzahabi berkata) : "Pada tahun 705 H datang perintah dari Mesir agar ditanyakan tentang aqidahnya (Ibnu Taimiyyah), maka ia mengumpulkan baginya para qadhi dan para ulama di majelis wakil Damaskus, Al-Afram. Ia (Ibnu Taimiyah) berkata : "Aku pernah ditanya tentang akidah Ahlus Sunnah, lalu aku menjawabnya dalam satu jilid (buku Aqidah Wasithiyyah) dari beberapa tahun lalu." Beliau memintanya dari rumahnya, lalu menghadirkannya dan membacakannya. Lalu mereka membantahnya dalam dua atau tiga poin. Majelis berlangsung lama, lalu mereka beranjak dan berkumpul sebanyak dua kali lagi untuk menyempurnakan pembahasan buku tersebut dan mereka memperdebatkannya. Kemudian terjadilah kesepakatan bahwa "ini adalah aqidah salaf yang bagus". (Ibnu Abdil Hadi, Al-'Uqud Ad-Durriyyah fi Manaqib Ibni Taimiyyah, hal. 162).
Ibnu Rojab Al-Hanbali menceritakan,
ثُمَّ امْتُحِنَ سَنَةَ خَمْسٍ وَسَبْعِمَائَةٍ بِالسُّؤَالِ عَنْ مُعْتَقَدِهِ بِأَمْرِ السُّلْطَانِ، فَجَمَعَ نَائِبُهُ القُضَاةَ والعُلَمَاءَ بِالقَصْرِ، وَأُحْضِرَ الشَّيْخُ، وَسَأَلَهُ عَنْ ذلِكَ، فَبَعَثَ الشَّيْخُ مَنْ أَحْضَرَ منْ دَارِهِ "العَقِيْدَةَ الوَاسِطِيَّةَ" فَقَرَءُوْهَا فِي ثَلَاثِ مَجَالِسَ، وَحَاقَقُوْهُ، وَبَحَثُوا مَعَهُ، وَوَقَعَ الاتِّفَاقُ بَعْدَ ذلِكَ عَلَى أَنَّ هَذِهِ عَقِيْدَةٌ، سُنِّيَّةٌ، سَلَفِيَّةٌ، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ ذلِكَ طَوْعًا، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَهُ كَرْهًا. وَوَرَدَ بَعْدَ ذلِكَ كِتَابٌ مِنَ السُّلْطَانِ فِيْهِ: إِنَّمَا قَصَدْنَا بَراءَةَ سَاحَةِ الشَّيْخِ، وَتَبَيَّنَ لَنَا أَنَّهُ عَلَى عَقِيْدَةِ السَّلَفِ
"Kemudian beliau (Ibnu Taimiyyah) diuji pada tahun 705 H dengan pertanyaan tentang aqidahnya melalui perintah dari Sultan. Lalu wakilnya mengumpulkan para qadhi dan para ulama di istana dan syekh (Ibnu Taimiyyah) dihadirkan dan bertanya kepadanya tentang hal tersebut. Lalu syakh mengutus orang yang mengambil dari rumahnya "Aqidah Wasithiyyah", lalu mereka membacanya dalam tiga majelis, mereka memperdebatkannya dan mengkaji bersamanya, dan terjadilah kesepakatan setelah itu bahwa "ini adalah aqidah sunni salafi", di antara mereka ada yang mengatakannya secara suka rela, dan adapula yang dengan terpaksa. Setelah itu ada surat dari sultan yang di dalamnya ia mengatakan, "Kami hanya bermaksud menunjukkan terbebasnya syekh yang mulia (dari tuduhan), dan menjadi jelaslah bagi kita bahwa ia berada di atas akidah salaf". (Ibnu Rojab Al-Hanbali, Dzail Thabaqat Al-Hanabilah, 4/501).
Ibnu Katsir juga menceritakan,
وَفِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ ثَامِنِ رَجَبٍ حَضَرَ الْقُضَاةُ وَالْعُلَمَاءُ ، وَفِيهِمُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ عِنْدَ نَائِبِ السَّلْطَنَةِ بِالْقَصْرِ ، وَقُرِئَتْ عَقِيدَةُ الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّينِ " الْوَاسِطِيَّةُ " ، وَحَصَلَ بَحْثٌ فِي أَمَاكِنَ مِنْهَا ، وَأُخِّرَتْ مَوَاضِعُ إِلَى الْمَجْلِسِ الثَّانِي ، فَاجْتَمَعُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ ثَانِيَ عَشَرَ الشَّهْرِ الْمَذْكُورِ ، وَحَضَرَ الشَّيْخُ صَفِيُّ الدِّينِ الْهِنْدِيُّ ، وَتَكَلَّمَ مَعَ الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّينِ كَلَامَا كَثِيرًا ، وَلَكِنَّ سَاقِيَتَهُ لَاطَمَتْ بَحْرًا ، ثُمَّ اصْطَلَحُوا عَلَى أَنْ يَكُونَ الشَّيْخُ كَمَالُ الدِّينِ بْنُ الزَّمْلَكَانِيِّ هُوَ الَّذِي يُحَاقِقُهُ مِنْ غَيْرِ مُسَامَحَةٍ ، فَتَنَاظَرَا فِي ذَلِكَ ، وَشَكَرَ النَّاسُ مِنْ فَضَائِلِ الشَّيْخِ كَمَالِ الدِّينِ بْنِ الزَّمْلَكَانِيِّ ، وَجَوْدَةِ ذِهْنِهِ ، وَحُسْنِ بَحْثِهِ ، حَيْثُ قَاوَمَ ابْنَ تَيْمِيَّةَ فِي الْبَحْثِ ، وَتَكَلَّمَ مَعَهُ ، ثُمَّ انْفَصَلَ الْحَالُ عَلَى قَبُولِ الْعَقِيدَةِ ، وَعَادَ الشَّيْخُ إِلَى مَنْزِلِهِ مُعَظَّمًا مُكَرَّمًا
"Pada hari Senin 8 Rajab, hadirlah para qadhi dan ulama, bersama mereka ada Syekh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah, bersama wakil kesultanan di istana, dibacakan aqidah Syekh Taqiyyuddin yaitu " Al-Wasithiyyah". Terjadilah pembahasan pada beberapa tempat/halaman dari kitabnya tersebut. Dan tempat-tempat lainnya diakhirkan ke majelis kedua. Lalu mereka berkumpul pada hari Jum'at setelah shalat, tanggal 12 bulan tersebut. Hadirlah syekh Shafiyyuddin Al-Hindi, ia berbicara bersama syekh Taqiyyuddin dengan pembicaraan yang banyak, tetapi "tempat airnya menampar lautan" (ungkapan yang menunjukkan keluasan ilmunya). Kemudian mereka bersepakat agar syekh Kamaluddin bin Az-Zamlakani yang mendebatnya tanpa toleransi, maka keduanya berdebat dalam hal itu. Orang-orang pun bersyukur atas keutamaan syekh Kamaluddin bin Az-Zamlakani, ketajaman akalnya dan bagusnya pembahasannya, dimana ia telah menghadapi Ibnu Taimiyyah dalam pembahasan dan berbicara bersamanya. Kemudian majelis pun selesai dengan penerimaan atas aqidahnya, dan syekh (Ibnu Taimiyyah) kembali ke rumahnya dalam keadaan dihormati dan dimuliakan." (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 18/53).
(Muhammad Atim)