Rabu, 08 Februari 2023

Kitab Oetoesan Wahabi dan Peran Organisasi Al Irsyad dalam Lintasan Sejarah Perkembangan Gerakan Wahabi di Indonesia

Kitab Oetoesan Wahabi dan Peran Organisasi Al Irsyad dalam Lintasan Sejarah Perkembangan Gerakan Wahabi di Indonesia
===================================

Dalam sebuah suratnya kepada A. Hassan tertanggal 1 Desember 1934, Bung Karno – saat itu sedang menjalani hukuman pembuangan di Endeh, Flores – menulis :

Assalamu’alaikum,

Jikalau saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasih hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut berikut ini: Pengajaran Sholat, Utusan Wahabi, Al-Muchtar, Debat Talqien. Al-Burhan Complete, Al-Jawahir.

Kemudian, jika saudara bersedia, saya minta sebuah risalah yang membicarakan soal sayyid. Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal yang beribu-ribu kali lebih besar dan lebih rumit dari pada soal sayyid itu, tetapi toh menurut keyakinan saya, salah satu kejelasan Islam Zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum sayyid misalnya, mereka punya 'brosur kebenaran', saya sudah baca, tetapi tidak bisa menyakinkan saya.

Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal satu 'Aristokrasi Islam'. Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwa suatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebathilan!

Sebelum dan sesudahnya terima itu buku-buku yang saya tunggu-tunggu benar, saya mengucapkan terimakasih.

Wassalam,

(selesai nukilan) 

Bung Karno menyinggung sebuah buku berjudul “Utusan Wahabi”. Agaknya buku tersebut menempati kedudukan dan kepopuleran yang sangat penting pada masa itu, hingga membuat seorang Bung Karno memohon kepada A. Hassan untuk menghadiahkannya.

Bertahun-tahun kami mencoba menelusuri jejak buku legendaris tersebut. Sayang sekali, informasi lebih lanjut mengenai buku tersebut sulit dijumpai. Beberapa waktu lamanya kami hanya mendengar nama kitabnya saja, dan tidak pernah melihat wujudnya langsung.

Saat itu kami – dan juga sebagian kalangan – menduga bahwa buku tersebut merupakan karya A. Hassan. Ini karena saat meminta untuk dihadiahkan – seperti terlihat dalam surat, Bung Karno menyebut buku tersebut diantara buku-buku karya A. Hassan yang lain.

Dugaan tersebut semakin menguat, ketika suatu saat kami berkesempatan mengoleksi bundel Majalah Pembela Islam edisi awal yang saat itu dikomandoi oleh A. Hassan. Dalam Majalah Pembela Islam Tahoen 1 No. 7 April 1930, tepat pada halaman paling akhir, buku “Oetoesan Wahabi” diiklankan (gambar iklan terlampir).

Dalam iklan Majalah Pembela Islam tersebut, setidaknya kami mendapat informasi tambahan mengenai isi buku tersebut, setelah sebelumnya kami hanya mendengar nama judulnya saja. Majalah Pembela Islam mereview isi “Oetoesan Wahabi” sebagai berikut :

“Satoe kitab jang menerangkan haloean, toedjoean, kepertjajaan dan ‘amal ‘ibadat kaoem Wahabi. Kebanjakan orang jang memoeji kaoem Wahabi, tidak taoe betoel haloean dan kepertjajaan kaoem itoe. Kebanjakan orang jang mengedji Wahabi poela tidak taoe di tentang mana kesalahannja kaoem itoe. Lantaran itor, patoet doea golongan jang terseboet tadi membatja kitab ‘Oetoesan Wahabi’. Besarnya 135 katja. Kertasnja haloes. Sekalian Ajat dan Hadits jang terseboet di kitab itoe pakai hoeroef Arab jang di boenjikan dengan hoeroef Latijn. Harga seboeah f 1.25. Siapa beli 20 kitab dapat potongan 30 % dan ongkost vrij. Boleh pesan dan boleh dapat beli dari ‘Persatoean Islam Bandoeng’.”

(selesai nukilan)

Iklan tersebut sempat menguatkan dugaan kami bahwa kitab “Oetoesan Wahabi” merupakan karya A. Hassan, atau setidak-tidaknya berasal dari kalangan organisasi Persatuan Islam (Persis). Jika ini benar, maka merupakan sebuah fragmen berharga yang menampakkan peran vital A. Hassan dan Persis dalam mengisi lintasan sejarah masuknya paham Wahabi di Indonesia, setidaknya dari 2 sisi :

1.       Boleh jadi kitab tersebut merupakan kitab pertama yang beredar di Nusantara ini yang mencoba mengklarifikasi paham kaum Wahabi dan menerangkan hakikat tujuan, i’tiqad, dan amal ibadah mereka.

2.       Penulisan kitab ini menunjukkan kepada kita bahwa A. Hassan dan Persis, telah mengakses secara langsung karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-muridnya.

3.       Peran A. Hassan dan Persis dalam menyebarluaskan dan mempopulerkan ajaran Wahabi melalui kitab ini, bahkan hingga terdengar kepopulerannya oleh seorang tokoh Nasionalis semacam Bung Karno.

Namun karena kami belum mendapat wujud fisik kitab tersebut secara nyata, maka hipotesis di atas masih sebatas dugaan saja. Oleh karenanya saat menulis tentang pengalaman-pengalaman awal pengajaran kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Indonesia kami belum menyinggung peran A. Hassan dalam mengajarkan kitab-kitab gerakan Wahabi.

Segala rasa penasaran akan kitab “Oetoesan Wahabi” tersebut, atas izin Allah, akhirnya terlunasi juga. Melalui bantuan beberapa rekan – semoga Allah membalas kebaikan mereka – perpustakaan sederhana kami akhirnya berkesempatan mengoleksi kitab “Oetoesan Wahabi” tersebut.

Segera saja setelah kami menelaah koleksi baru kami tersebut, beberapa hipotesis yang kami kemukakan di muka akhirnya harus banyak direvisi.

Kitab Oetoesan Wahabi ternyata merupakan sebuah salinan dari sebuah kitab berjudul “Al Hadiyyah as Saniyyah” karya seorang ulama Wahabi Nejd yang bernama Syaikh Sulaiman bin Sahman, dengan beberapa ringkasan dan tambahan yang disisipkan oleh penyalinnya. Salinan tersebut dikerjakan oleh dua orang penyalin, yaitu Ahmad Sjoekrie dan Ali Harharah.

Pada bagian cover kitab, kita akan dapati beberapa informasi penting :

1.       Hak penerbitan kitab ini ada pada sebuah organisasi yang bernama “Perhimpoenan Idh-haroel Haq”. Pada cover terdapat larangan terhadap pihak lain untuk melakukan pengutipan dan penyalinan tanpa seizin organisasi tersebut atau penyalinnya ;

2.       Kitab ini dicetak dan diedarkan oleh “Drukkerij Boro-Budur” yang beralamat di Pintoe Besar 52 Bt (Batavia/Jakarta).

3.       Terdapat review singkat tentang isi kitab sebagai berikut :

“Menerangkan haloean, toedjoean dan kepertjajaannja pendoedoek kota Nadjed, jang termasjhoer dengan nama Wahabi, terhaep kepada Agama Islam jaitoe dengan beralasan Al Quran dan Hadits jang benar, serta pendapetannja Oelama-Oelama Islam jang sahih.”

4.       Terdapat keterangan singkat mengenai organisasi “Perhimpoenan Idh-haroel Haq” sebagai berikut :

“Persjarekatannja kaoem Moeslimin jang memadjoekan Agama Islam dan menjetoedjoekan kalimatnja sekalian pemeloeknja. Berpokok di Batavia Java.”

Tidak diketahui kapan tepatnya proses penyalinan kitab ini selesai dan kapan awal mula diterbitkannya. Namun dalam bagian Pendahuluan, tertulis nama tempat dan tanggal yang diduga merupakan nama tempat dan tanggal selesai penyalinan atau penerbitan, yaitu”Batavia 15 Ramadlan 1343. Jang berbetoelan dengan 1 April 1925”.

Merujuk pada informasi tanggal tersebut diatas, maka kitab ini sudah terbit beberapa tahun sebelum Majalah Pembela Islam edisi awal terbit (Desember tahun 1929). Ini menunjukkan bahwa kitab ini pada masa itu sangat populer, karena bahkan setelah kurang lebih 5 tahun sejak penerbitannya, kitab ini masih diiklankan oleh Majalah Pembela Islam – yang merupakan salah satu majalah Islam paling populer saat itu. Maka tidaklah heran, jika seorang Bung Karno sangat menginginkan untuk membaca kitab ini.

Sebelum beranjak lebih lebih jauh, kiranya kita memastikan terlebih dahulu apakah benar kitab “Oetoesan Wahabi” yang baru saja kami koleksi ini adalah kitab yang sama yang diiklankan oleh Majalah Pembela Islam. Atau jangan-jangan ada 2 kitab yang berjudul sama, dimana yang satunya lagi merupakan kitab “Oetoesan Wahabi” yang ditulis oleh A. Hassan atau Persis.

Mengenai hal tersebut, kami bisa pastikan bahwa kitab Oetoesan Wahabi yang ada pada koleksi kami ini adalah merupakan kitab yang sama yang diiklankan oleh Majalah Pembela Islam, serta merupakan kitab yang sama dengan yang diminta oleh Bung Karno kepada A. Hassan untuk dihadiahkan kepadanya. Ada 2 hal yang menguatkan hal tersebut :

1.       Review kitab yang ada pada cover “Oetoesan Wahabi” koleksi kami mirip dengan yang review kitab yang ada pada iklan Majalah Pembela Islam seperti yang sudah kami nukilkan diatas. Perhatikan bagaimana kedua review tersebut menggunakan frasa “haloean, toedjoean, kepertjajaan” dengan urutan yang sama persis.

2.       Dalam iklan Majalah Pembela Islam disebutkan bahwa kitab ini mempunyai jumlah halaman sebanyak 135 halaman, dan ini sama persis dengan jumlah halaman kitab “Oetoesan Wahabi” yang ada pada koleksi kami (diluar halaman cover depan dan belakang).

Dengan dua argumen diatas maka dapat disimpulkan bahwa :

1.       Kitab Oetoesan Wahabi yang ada pada koleksi kami merupakan kitab yang sama yang diiklankan oleh Majalah Pembela Islam

2.       Kitab Oetoesan Wahabi yang ada pada koleksi kami merupakan kitab yang dimintakan kepada A. Hassan untuk dihadiahkan kepada Bung Karno

3.       Kitab Oetoesan Wahabi bukan merupakan karya A. Hassan, dan bukan pula produk keluaran organisasi Persis. Dalam beberapa buku biografinya, tidak tercatat A. Hassan pernah menulis sebuah kitab berjudul “Oetoesan Wahabi” (silakan lihat daftar karya-karya A. Hassan pada biografi Beliau yang ditulis oleh Syafiq A. Mughni)

4.       Meski bukan penulisnya, A. Hassan (dan juga Persis) memberikan perhatian yang sangat tinggi atas kitab Oetoesan Wahabi ini, terbukti dengan gencarnya promosi atas kitab ini pada Majalah Pembela Islam yang diasuhnya. Persis juga menjadi salah satu agen penjualan kitab ini.

Seperti yang telah disampaikan diatas, Kitab Oetoesan Wahabi ini secara umum merupakan salinan (terjemahan) atas sebuah kitab yang berjudul “Al Hadiyyah as Saniyyah” karya Syaikh Sulaiman bin Sahman, dengan beberapa ringkasan dan tambahan-tambahan.

Siapakah Syaikh Sulaiman bin Sahman ini ? Apakah Beliau cukup otoritatif mewakili ulama Wahabi ?

Syaikh Sulaiman bin Sahman (wafat 1349 H) merupakan murid dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, penulis kitab Fathul Majid syarah Kitab at Tauhid yang terkenal itu. Syaikh Sulaiman juga belajar kepada Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan dan Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif. Jadi Syaikh Sulaiman bin Sahman belajar kepada 3 generasi keluarga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dari kakek (Syaikh Abdurrahman), anak (Syaikh Abdul Lathif), dan cucu (Syaikh Abdullah). Melihat profil Beliau ini, maka tak ada lagi keraguan mengenai “kewahabian” Syaikh Sulaiman bin Sahman ini.

Kitab Al Hadiyyah As Saniyyah sendiri sebenarnya merupakan kumpulan tulisan/risalah para ulama Wahabi, yang sengaja dikumpulkan oleh Syaikh Sulaiman bin Sahman dalam rangka menjelaskan hakikat dakwah yang dibawa oleh ulama-ulama Wahabi Nejd, pembelaan terhadapnya, serta untuk meluruskan kebohongan-kebohongan yang dibuat-buat oleh sebagian kalangan untuk menjatuhkan nama Wahabi. Kitab ini sendiri diterbitkan atas perintah dari Sultan ‘Abdul Aziz bin Su’ud.

Judul lengkap kitab ini sebagaimana tertulis dalam cover kitab ini adalah “Al Hadiyyah as Saniyyah wa at Tuhfah al Wahabiyyah an Najdiyyah li Jami’ Ikhwanina al Muwahiddin min Ahlil Millah al Hanifiyyah wa ath Thariqah al Muhammadiyyah”. 

Syaikh Sulaiman bin Sahman dalam muqaddimah kitabnya ini juga menamakan kitab ini dengan “Rasaa-il A-immatu Najd wa Ulamaa-uha fi  Ad Da’wah Al Wahabiyyah li Tajdid Al Islam”.

Kitab Al Hadiyyah as Saniyyah terdiri atas 5 risalah, yaitu :

1.       Risalah pertama ditulis oleh Al Imam Abdul Aziz I bin Imam Muhammad bin Su’ud rahimahullah. Risalah ini secara umum berisi penjelasan mengenai hakikat tauhid dan ibadah kepada Allah. Dalam risalah ini juga dijelaskan makna syirik, serta dibahas isu-isu seperti meminta pertolongan kepada makhluk, tawassul, bersumpah dengan selain nama Allah, dan lain-lain. Risalah ini di kemudian hari dicetak secara terpisah

2.       Risalah kedua ditulis oleh oleh Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, yang merupakan guru dari Syaikh Sulaiman bin Sahman. Pada risalah kedua ini dijelaskan hakikat dakwah pemurnian tauhid yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan penjelasan bahwa apa yang Beliau dakwahkan tidaklah bertentangan dengan apa yang dibawa oleh para Salafush Shalih dan Imam-Imam madzhab. Dalam risalah ini Syaikh Abdul Lathif banyak menukil langsung perkataan-perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam menjelaskan hakikat dakwah yang dibawanya.

3.       Risalah ketiga ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab yang didalamnya berisi klarifikasi terhadap tuduhan-tuduhan palsu yang dilemparkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan murid-muridnya. Di kemudian hari, risalah ini ikut dicetak di dalam kitab Ad Durar as Saniyyah fi Ajwibatil an Najdiyyah.

4.       Risalah keempat ditulis oleh Syaikh Hamd bin Nashir bin Utsman Alu Mu’amar an Najdi at Tamimi. Beliau merupakan murid dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Risalah ini diberi judul “Al Fawakihul ‘Idzab fi Raddu ‘ala Man lam Yuhakkimu as Sunnah wal Kitab”. Risalah ini ditulis sebagai jawaban yang disampaikan oleh Syaikh Hamd bin Nashir  ketika Beliau berdiskusi dengan dengan ulama-ulama Makkah mengenai 3 isu utama, yaitu (1) tentang orang yang menyeru kepada para nabi dan wali serta beristighatsah dengan mereka dalam melepaskan kesulitan ; (2) tentang hukum orang yang mengucapkan syahadatain namun tidak shalat ; dan (3) tentang membangun bangunan di atas kuburan. Risalah ini telah dicetak secara terpisah. Muhaqqiq risalah ini memberi sedikit catatan bahwa terjadi kekeliruan dalam pelafalan nama penulis risalah yang ada dalam Al Hadiyah as Saniyah. Pada Al Hadiyah as Saniyah tertulis nama penulis risalah ini adalah “Syaikh Ahmad bin Nashir”, dan yang benar adalah “Syaikh Hamd bin Nashir”. Kekeliruan yang ada pada Al Hadiyah as Saniyah ini ikut terbawa pada Kitab Oetoesan Wahabi.

5.       Risalah kelima ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Syaikh Abdul Lathif bin Syaikh Abdurrahman bin Hasan. Risalah ini berisi penjelasan mengenai aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di kemudian hari, risalah ini ikut dicetak di dalam kitab Ad Durar as Saniyyah fi Ajwibatil an Najdiyyah

Setelah menyalin kelima risalah tersebut di atas, Syaikh Sulaiman bin Sahman kemudian mengakhiri kitab Al Hadiyyah as Saniyyah dengan membeberkan sebab-sebab munculnya fitnah dan tuduhan tidak benar kepada kaum Wahabi dan pihak-pihak dibaliknya. Syaikh Sulaiman menegaskan bahwa setidaknya ada 2 musuh Wahabi saat itu yang menurut Beliau bertanggung jawab terhadap munculnya segala fitnah dan tuduhan yang tidak benar. Musuh yang pertama adalah Syarif Hussain – mantan penguasa Makkah – dan anak keturunannya, yang Beliau sebut sebagai musuh dalam bidang politik. Musuh yang kedua adalah kaum Syi’ah, yang Beliau sebut sebagai musuh dalam bidang aqidah dan madzhab.

Perlu disampaikan disini bahwa kitab “Oetoesan Wahabi” tidak menyalin mentah-mentah kitab Al Hadiyyah as Saniyyah. Penjelasannya sebagai berikut :

1.       Para penyalin kitab “Oetoesan Wahabi” melakukan beberapa peringkasan terhadap uraian-uraian yang ada pada Al Hadiyyah as Saniyyah dengan alasan menghindari pengulangan penjelasan yang tidak perlu. Ini jelas terlihat bagi siapa saja yang membandingkan antara kitab “Oetoesan Wahabi” ini dengan kitab Al Hadiyyah as Saniyyah.

2.       Risalah kelima yang ada pada Al Hadiyyah as Saniyyah tidak diterjemahkan dan dimasukkan dalam Kitab Oetoesan Wahabi. Tidak diketahui apa alasan para penyalin tidak memasukkan risalah kelima ini.

3.       Para penyalin memberikan beberapa catatan kaki singkat disela-sela isi kitab. Isi catatan kaki akan dijelaskan lebih lanjut dibawah.

Selain ketiga hal tersebut diatas, para penyalin “Oetoesan Wahabi” juga menambahkan beberapa hal dalam kitab ini, yaitu ;

1.       Cuplikan berita dari surat kabar Ummul Qura yang memberitakan berlangsungnya diskusi antara Ulama-Ulama Makkah dengan Ulama-Ulama Najd pada tahun 1343 H. Dalam diskusi tersebut disepakati beberapa masalah ushul  (terlampir). Cuplikan diskusi ini di kemudian hari dicetak secara terpisah dan dimasukkan dalam kitab yang berjudul “Al Bayan al Mufid fi Maa Ittifaq ‘alahi ‘Ulama Najd wa Makkah min ‘Aqa-id at Tauhid”.  Kitab Al Bayan al Mufid ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kesepakatan Ulama Mekkah dan Nejd dalam Masalah Aqidah” yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Ilmi (koleksi yang ada pada perpustakaan kami cetakan tahun 2009).

2.       Cuplikan berita dari surat kabar Ummul Qura yang berisi seruan dan maklumat dari Amir Abdul Aziz alu Su’ud bertanggal 12 Jumadi Awwal 1343 H (terlampir). Seruan ini berisi visi dan misi Amir Abdul Aziz dalam mengelola Tanah Suci.

3.       Penyalin menambahkan sebuah pasal peringatan singkat terhadap sebuah kitab berjudul “Al Kawakibul Mudhi’ah fi Raddu ‘ala Jahalatil Wahabiyyah” yang ditulis oleh da’i asal lampung bernama Abu Muhammad Fadlullah Muhammad Nawawi.

Mengenai sebab-sebab yang mendorong para penyalin menerbitkan kitab “Oetoesan Wahabi”, disini setidaknya ada 2 sebab.

Pertama, sebab secara umum. Yakni keinginan para penyalin untuk memberikan informasi yang lengkap dan utuh mengenai paham kaum Wahabi sehingga dengan adanya informasi tersebut masyarakat mampu memberikan penilaian yang adil dan objektif terhadap paham Wahabi.

Disini akan kami nukil penjelasan para penyalin yang ada pada bagian pendahulan kitab ini sebagai berikut (ejaan kami sesuaikan) :

“Amma ba’du. Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, dapatlah kita memenuhkan cita-cita kita, yaitu menyalin ini kitab dari bahasa Arab ke bahasa Melayu, teruntuk kepada saudara-saudara kaum muslimin yang hendak mencari kebenaran. Maka dari sini dapatlah kita menimbang mana yang salah, mana yang pembohong dan mana yang benar, tentang perbincangan orang-orang di seluruh Alam ini, yaitu keadaan, tujuan, haluan, dan kepercayaan kaum Wahabi.”

“Perbincangan mana, selagi yang telah maklum pada saudara-saudara kaum muslimin, bahwa surat-surat kabar diseluruh Hindia ini, rata-rata sedang asyik memperbincangkan hal keadaannya kaum Wahabi, yaitu penduduk kota Najd. Diantara surat-surat kabar itu, ada yang memuji-muji melewati batas. Dan ada yang mencerca dan mencela dengan makian-makian begitu juga. Perkumpulan-perkumpulan pun tak ketinggalan membicarakan hal keadaan yang demikian, sehingga orang Islam yang ingin mencari kebenaran dari antara dua perbincangan itu, amat sukar sekali didapatinya.”

“Jika kita pandang saja keadaan yang serupa itu, dengan tidak berikhtiar hendak memberi satu hakim yang memperhentikan percideraan atau perbincangan itu, tentu semakin lama gelap dan lenyap kelak kebenaran yang dicari itu. Malah persatuannya kaum Muslimin menjadi cerai berai dan tali persaudaraannya menjadi putus.”

“Keadaan yang sebegitu itu, tentu sekali tidak menyenangkan pada orang-orang yang ada perasaan keislaman, yang cinta pada bangsanya, cinta pada agamanya.”

“Dari sebab itu, kita sebagai dari orang-orang Muslimin, dengan hati yang girang, berdaya upaya buat memperbaiki keadaan itu.”

“Perjalanan yang baik sekali dalam pendapatan kita, dan obat yang manjur sekali buat melenyapkan penyakit perselisihan itu, ialah menyalin kitabnya kaum Wahabi sendiri.”

“Moga-moga Tuhan Allah Ta’ala memberi taufik tentang mencari kebenaran, terjauhlah kita daripada fitnah orang-orang yang semata-mata pada masa ini, kebanyakan mengadakan kebaktian dengan membuta-babi.”

(selesai nukilan)

Kedua, sebab secara khusus. Yakni kitab ini diterbitkan sebagai tanggapan secara khusus kepada kitab “Al Kawakibul Mudhi’ah fi Raddu ‘ala Jahalatil Wahabiyyah” yang ditulis oleh Abu Muhammad Fadlullah Muhammad Nawawi dari Kampung Lingai Menggala, Lampung. Ini terlihat dari adanya pasal khusus di akhir kitab Oetoesan Wahabi yang menanggapi kitab Al Kawakibul Mudhi’ah. Ini juga terlihat dari isi catatan-catatan kaki yang ditambahkan oleh para penyalin yang hampir seluruhnya berisi sindirian tajam kepada Muhammad Nawawi. Dan kebetulan memang salah satu penyalin, yakni Ahmad Sjoekri, berasal dari daerah yang sama dengan Muhammad Nawawi. Mengenai Muhammad Nawawi dan kitab Al Kawakibul Mudhi’ah ini kami belum memperoleh informasi lebih lanjut.

Selanjutnya akan kita bahas mengenai profil para penyalin dan apa itu Perhimpunan Idh-haroel Haq yang memegang hak penerbitan atas kitab “Oetoesan Wahabi” ini.

Dari penelusuran yang kami lakukan diketahui bahwa Perhimpunan Idh-haroel Haq ini merupakan organisasi yang berada di bawah Organisasi Al Irsyad pimpinan Syaikh Ahmad Syurkati. Idh-haroel Haq bertugas menjadi semacam “mantel” Al Irsyad dari serangan-serangan pihak-pihak yang tidak suka dengan Al Irsyad, dan juga bertanggung jawab dalam menyebarluaskan dakwah Al Irsyad kepada masyarakat. Peran Idh-haroel Haq sangat vital bagi Al Irsyad karena saat itu banyak sekali tuduhan dan fitnah dilancarkan kepada Al Irsyad sehingga membuat sebagian masyarakat a priori terhadapnya.

Idh-dharoel Haq dipimpin oleh Ali Harharah, yang merupakan salah satu penyalin Kitab Oetoesan Wahabi. Ali Harharah sendiri tercatat merupakan murid Syaikh Ahmad Surkati dan lulusan sekolah Al Irsyad Jakarta. Ali Harharah juga tercatat pernah bertahun-tahun lamanya menjabat sebagai sekretaris organisasi Al Irsyad sebelum akhirnya mengundurkan diri karena sakit berkepanjangan pada tahun 1949.

Ali Harharah sangat terkenal sebagai orator Al Irsyad. Oleh wartawan terkemuka saat itu bernama Saerun, Ali Harharah dijuluki “Spreker” dari Gang Kenari, yang berarti seorang pembicara dan ahli pidato yang memikat pendengar rakyat awam. Gang Kenari merupakan tempat di Salemba Raya, Jakarta dimana Sekolah Al Irsyad dan kegiatan dakwah Al Irsyad dilaksanakan.

Ketika Jong Islamieten Bond (JIB) meminta bantuan Al Irsyad untuk mengirimkan da’i untuk mengajarkan kepada mereka pengetahuan agama Islam dan bahasa arab, Al Irsyad secara resmi menunjuk Ali Harharah sebagai pengajar di JIB mulai bulan November 1929. Kajian Ali Harharah ini dilakukan pada setiap hari ahad.

Kembali ke pembahasan tentang Idh-haroel Haq. Dalam perjalanannya, organisasi ini diperkuat oleh para ahli dan da’i, diantaranya adalah Firmansyah, Wiryosugondo, Tubagus Syu’aib Sastradiwirya, Dahlan Abdullah (di kemudian hari menjadi Duta Besar RI yang pertama untuk Iraq). Setelah lahirnya Persis pada tahun 1923, dan munculnya Haji Fachrodin sebagai salah seorang pemimpin Muhammadiyah, kegiatan dakwah menjadi semakin semarak. Kegiatan dakwah Muhammadiyah dan Persis sering juga diisi oleh da’i-da’i Al Irsyad, khususnya dari Idh-haroel Haq.

Untuk memperkuat penyebaran dakwah, Idh-haroel Haq kemudian menerbitkan majalah bernama “Al Haq” yang terbit setiap bulan. Diantara para penulis tetap yang mengisi majalah ini adalah Ahmad Sjoekrie, salah seorang penyalin kitab Oetoesan Wahabi selain Ali Harharah.

Ahmad Sjoekrie memiliki nama lengkap Ahmad Abdullah Sjoekrie. Sama seperti Ali Harharah, Beliau adalah murid Syaikh Ahmad Surkati dan lulusan sekolah Al Irsyad Jakarta. Tulisan-tulisan Ahmad Sjoekrie dalam Majalah Al Haq kemudian dikumpulkan menjadi beberapa jilid. Jilid pertamanya kemudian diterbitkan oleh penerbit Gema Insani Press Jakarta pada tahun 1986 dengan judul “Pelita Islam” (foto terlampir), dengan bantuan suntingan dari Ahmad Yani Syamsi dan Hussein Badjerei. Ahmad Syukrie sendiri wafat di Jakarta pada 25 Januari 1990. Semoga Allah merahmati Beliau.

Pada perkembangan selanjutnya, Idh-haroel Haq boleh dikatakan terhenti kegiatannya sejak Ali Harharah berangkat ke Hijaz dan bermukim di sana sekitar 1 tahun 8 bulan dan baru kembali ke Jakarta pada bulan Juni 1929. 

Sekembalinya dari Hijaz, Ali Harharah sempat menyalin kembali sebuah risalah yang menceritakan jalannya sebuah kongres ulama Wahabi yang diselenggarakan di Arab Saudi. Risalah ini disalin dan diterbitkan dengan judul “Congres Wahabi (Di Read Nadjd)” dan diterbitkan oleh Penerbit Penjiaran Islam Djokjakarta pada tahun 1929 (foto terlampir). Penerbitan risalah ini dilakukan juga dalam rangka memberikan informasi secara utuh kepada masyarakat Nusantara mengenai hakikat ajaran dan dakwah kaum Wahabi.

Dari sederet fakta-fakta diatas terlihat bagaimana peran Al Irsyad (Syaikh Ahmad Surkati dan murid-muridnya) dalam mencoba mengklarifikasi segala tuduhan yang dilemparkan kepada kaum Wahabi. Klarifikasi ini penting sekali bagi Al Irsyad saat itu – dan juga organisasi reformis lainnya seperti Muhammadiyah dan Persis – yang gencar dituduh sebagai pembawa paham Wahabi di Indonesia.

Penerbitan kitab “Oetoesan Wahabi” dan “Congres Wahabi (Di Read Nadjd)” menunjukkan kesungguhan mereka dalam mencoba memberikan penjelasan kepada masyarakat Nusantara saat itu tentang hakikat dakwah yang disampaikan oleh kaum Wahabi, yang memang banyak juga kesamaannya dengan paham Al Irsyad sendiri, bahwa dakwah mereka sebenarnya tidak bertentangan dengan apa yang dibawa oleh ulama-ulama salafus shalih. Usaha-usaha yang dilakukan Al Irsyad ini juga mendapat dukungan dari organisasi-organisasi reformasi lainnya. Ini terbukti dengan gencarnya Majalah Pembela Islam milik Persis dalam mengiklankan kitab “Oetoesan Wahabi” terbitan Al Irsyad. Meski berbeda jama’ah, mereka bersatu dalam usaha-usaha mengembangkan paham reformis dan pemurnian ajaran Islam di Indonesia.

Selain dalam bentuk penerbitan kitab, usaha-usaha pengembangan ajaran pemurnian Islam juga dilakukan dengan melakukan dialog dan perdebatan. Para ulama reformis saat itu tidak segan mengundang ulama-ulama lain untuk mendiskusikan berbagai macam isu keagamaan, baik yang bersifat ushul maupun furu’. Meski tidak semuanya mendapat respon yang memadai.

Dalam konteks diataslah para penyalin kitab “Oetoesan Wahabi” memberikan sedikit catatannya mereka tuliskan pada bagian-bagian akhir kitab. Setelah menyalin berita dari surat kabar Ummul Qura tentang diskusi antara ulama Makkah dengan Ulama Najd, para penyalin kemudian mencoba membandingkan peristiwa itu dengan yang terjadi di Indonesia. Para penyalin menyinggung perihal undangan-undangan diskusi dan debat yang disampaikan oleh organisasi reformis dan menyesalkan sikap para ulama yang diundang yang sama sekali tidak merespon undangan diskusi tersebut.

Selanjutnya para penyalin menyinggung 3 undangan diskusi yang tidak mendapat respon dengan baik, yaitu :

1.       Undangan dari Perhimpunan Idh-haroel Haq kepada seorang ulama bernama Haji Mansyur Penghulu Kampung Sawah, Jakarta. Undangan ini tidak ditanggapi. Haji Mansyur yang disinggung disini adalah yang terkenal dengan sebutan Guru Mansyur (1878 – 1967), yang merupakan kakek buyut dari da’i terkenal Yusuf Mansyur.

2.       Undangan dari organisasi Sarikat Islam (SI) Bogor kepada seorang ulama di Bogor bernama Hadji Mansoer. Undangan ini juga tidak ditanggapi.

3.       Undangan diskusi di Bandung yang diselenggarakan oleh Persatuan Islam dengan mencoba menghadirkan Syaikh Ahmad Surkati dan Syaikh Ali ath Thayyib asy Syami. Syaikh Ahmad Surkati menghadiri undangan tersebut, sedangkan Syaikh Ali tidak bersedia hadir.

Khusus undangan yang ketiga ini, ada cerita menarik tersendiri. Undangan diskusi tersebut sebenarnya bermula justru dari selebaran yang disebarkan di Bandung oleh Syaikh Ali ath Thayyib dari komunitas Alu Ba’alawi. Dalam selebaran tersebut Syaikh Ali menantang Syaikh Ahmad Surkati untuk berdebat mengenai beberapa permasalahan agama dan menuduh Syaikh Ahmad Surkati bukanlah seorang ulama yang pantas dijadikan sandaran. Menanggapi selebaran tersebut, organisasi Persis Bandung berinisiatif untuk menyelenggarakan pertemuan debat antara keduanya. Namun setelah ditunggu pada waktu yang telah ditentukan, Syaikh Ali tidak menampakkan diri dan terdengar kabar bahwa dirinya pergi ke Surabaya.

Beberapa waktu kemudian, ketika Syaikh Ahmad Surkati berkunjung ke Surabaya, Beliau tiba-tiba mendapat surat tantangan debat kedua dari Syaikh Ali. Syaikh Ali mengundang Syaikh Ahmad Surkati untuk berdebat dengannya di Masjid Ampel ba’da shalat Isya’ pada 21 Sya’ban tahun 1343 H. Tema debat pada 3 masalah, yakni masalah ijtihad dan taqlid ; masalah sunnah dan bid’ah ; serta masalah ziarah qubur, tawassul dan syafa’at. Meski tanpa persiapan yang memadai, Syaikh Ahmad Surkati menghadiri undangan tersebut pada tempat dan waktu yang telah ditentukan, namun lagi-lagi setelah ditunggu lama Syaikh Ali tidak tampak batang hidungnya.

Atas kejadian diataslah, Syaikh Ahmad Surkati kemudian menulis kitab terkenal berjudul “Al Masaa-il ats Tsalats” dalam bahasa Arab yang terbit pada tahun 1925. Kitab ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Tiga Persoalan” dan diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Al Irsyad Al Islamiyyah pada tahun 1988 (foto terlampir)

Sebagai tambahan informasi, kitab “Al Masaa-il ats Tsalats” ini dipuji oleh ulama salafi yang tinggal di Saudi bernama Syaikh Abdurrahman bin Yahya al Mu’alimi al Yamani  (penulis kitab At Tankil yang merupakan bantahan terhadap Muhammad Zahid al Kautsari). Bahkan setelah membaca kitab Al Masaa-il ats Tsalats ini, Syaikh Abdurrahman al Mu’alimi terinspirasi untuk menulis kitab dengan tema serupa yang kemudian diberi judul “Tahqiq al Kalam fi Masaa-il ats Tsalats” (foto terlampir).

Pada tahun 2019 kitab ini diterbitkan oleh penerbit Saudi (Darus Salaf) dengan ditahqiq oleh Ali bin Muhammad al ‘Imran, yang juga merupakan salah seorang muhaqqiq kitab-kitab Syaikh Abdurrahman al Mu’alimi.

Dengan memperhatikan uraian-uraian diatas, maka dapat kita ketahui kekeliruan sebagian kelompok mustasyaddid yang dengan tergesa-gesa mendakwa bahwa Syaikh Ahmad Surkati membenci Wahabi. Lebih dari itu mereka bahkan telah mentahdzir dan mengeluarkan Syaikh Ahmad Surkati dari barisan salafiyyun ahlus sunnah wal jama’ah, mengecapnya sebagai mubtadi' hizbiyyun, memfitnahnya sebagai agen orang kafir, serta menggelari pengikut-pengikut dan pembela-pembelanya dengan sebutan “Surkatiyyun atau Irsyadiyyun”, seolah-seolah Syaikh Ahmad Surkati ini seorang ahli bid’ah semacam Jahm bin Shafwan yang merupakan pencetus bid’ah pemikiran Jahmiyyah.

Bagaimana dakwaan tersebut bisa diterima, sedangan karya Beliau sendiri telah dipuji oleh ulama salafi dan diterbitkan di negeri Wahabi. Selain itu, Beliau dan murid-murid Beliau juga bahu-membahu membela paham Wahabi di Indonesia, baik lisan maupun tulisan, jauh sebelum kelompok mustasyaddid dan ustadz-ustadz mereka itu lahir. 

Selesai.. 

Referensi :

1.       Kitab Oetoesan Wahabi

2.       Congres Wahabi (Di Read Nadjd)

3.       Majalah Pembela Islam, Persatuan Islam

4.       Al Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, H. Hussein Badjerei

5.       Al Hadiyyah as Saniyyah, Syaikh Sulaiman bin Sahman

6.       Al Fawakihul ‘Idzab fi Raddu ‘ala Man lam Yuhakkimu as Sunnah wal Kitab, Syaikh Hamd bin Nashir

7.       Sanad Ijazah 100 Ulama, Ustadz Abu Abdillah Rikrik Aulia Rahman As Surianji

8.       Syaikh Ahmad Syurkati (1874 – 1943) Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, Prof. Dr. Bisri Affandi, M.A.

9.       Al Masaa-il ats Tsalats, Syaikh Ahmad Surkati

10.   Tahqiq al Kalam fi Masaa-il ats Tsalats

11.   Ad Durarus Saniyyah fi Ajwibah an Najdiyyah

12.   Dan lain-lain