SORBAN SHUFI DAN SYIAH
Jika orang shufi dan syiah pakai sorban, janganlah takjub dan kagum. Jangan pula menyangka bahwa itu menunjukkan kealiman seseorang, apalagi itu menggambarkan kemulian dan kewalian. Dan jangan pula terpesona dan tertipu dengan sorban-sorban mereka.
Berkata Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi'i rahimahullah :
لسنا نستغرب من علماء السوء ولسنا نستغرب من الصوفية ومن الشيعة وإن كبُرت عمائِمُهم
فهي عمائِم على بهائِم“. [ المصارعة ( ٤١٧ ) ] .
Kita tidak merasa aneh dari ulama yang jelek dan kita tidak merasa aneh dari kaum Shufiyyah dan kaum Syi'ah, walaupun sorban-sorban mereka besar, maka sorban-sorban itu (layaknya sorban-sorban) di atas binatang-binatang ternak. (Al Mushoro'ah hal.417).
Memakai sorban itu bukanlah sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, memakainya hanya sekadar mubah (boleh) dan hanya mengikuti kebiasaan adat budaya arab.
Berkata Para Ulama Al-Lajnah Ad-Daimah :
وأما لبس العمامة فهو من المباحات و ليس بسنة كما توهمت. و الأولى أن تبقى على ما يلبس أهل بلدك على رؤوسهم من الغترة و الشماغ و نحوه
“Adapun memakai imamah (sorban), maka ia termasuk dari perkara mubah (boleh), dan bukan termasuk perkara sunnah sebagaimana yang telah engkau sangka. Dan yang lebih utama, engkau tetap memakai pakaian yang dipakai oleh penduduk negerimu di atas kepala-kepala mereka berupa ghitrah, shimagh, dan yang semisalnya.” (Fatwa Lajnah Daimah : 24/42).
Berkata Syekh Muqbil Al Wadi rahimahullah :
العمامة تعتبر من عادات العرب التي أقرها الإسلام. كتاب تحفة المجيب
Ai 'Imamah (sorban) adalah salah satu kebiasaan orang Arab yang diadopsi oleh Islam. (Kitab Tuhfatul Mujib).
Jangan merasa yang memakai sorban diatas sunnah dan memandang yang memakai penutup kepala ciri khas daerah atau negara tertentu (selama tidak menyelisihi syariat) dianggap menyelisihi sunnah. Justru yang tampil beda dengan memakai sorban ditengah-tengah masyarakat yang tidak berbudaya memakai sorban, yang menyelisihi sunnah.
Berkata Syekh Utsaimin rahimahullah :
لبس العمامة ليس من السنن لا المؤكدة ولا غير المؤكدة ، لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم كان يلبسها اتباعاً للعادة التي كان الناس عليها في ذلك الزمن ، ولهذا لم يأت حرف واحد من السنة يأمر بها ، فهي من الأمور العادية التي إن اعتادها الناس فليلبسها الإنسان لئلا يخرج عن عادة الناس ، فيكون لباسه شهرة ، وإن لم يعتدها الناس فلا يلبسها ، هذا هو القول الراجح في العمامة " انتهى من "فتاوى نور على الدرب".
“Memakai imamah bukanlah sunnah. Bukan sunnah muakkadah ataupun sunnah ghayru muakkadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah termasuk perkara adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang. Seseorang memakainya dalam rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan orang setempat, sehingga kalau memakai selain imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian syuhrah (ketenaran). Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan memakainya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah imamah” (Fatawa Nurul Ala Ad-Darbi)..
Dan Berkata Syekh Utsaimin rahimahullah :
"لا ، لباس العمامة ليس بسنة ، لكنه عادة ، والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم يكن محرماً بذاته ، وإنما قلنا هذا ؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة ، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة ، فإذا كنا في بلد يلبسون العمائم لبسنا العمائم ، وإذا كنا في بلد لا يلبسونها لم نلبسها ، وأظن أن بلاد المسلمين اليوم تختلف ، ففي بعض البلاد الأكثر فيها لبس العمائم ، وفي بعض البلاد بالعكس ، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يلبس العمامة ؛ لأنها معتادة في عهده ، ولهذا لم يأمر بها ، بل نهى عن لباس الشهرة ، مفيداً إلى أن السنة في اللباس أن يتبع الإنسان ما كان الناس يعتادونه ، إلا أن يكون محرماً ، فلو فرضنا أن الناس صاروا يعتادون لباس الحرير وهم رجال قلنا : هذا حرام ولا نوافقهم ، ولو كنا في بلد اعتاد الرجال أن يلبسوا اللباس النازل عن الكعبين قلنا : هذا حرام ولا نوافقهم" انتهى من "لقاء الباب المفتوح" (160/23) .
“Memakai imamah (sorban) bukan sunnah. Akan tetapi ia sebuah adat (kebiasaan). Yang sunnah atas setiap insan, hendaknya dia memakai pakaian yang dipakai oleh manusia (penduduk negerinya) selama tidak termasuk perkara yang diharamkan. Kami mengatakan ini, karena seorang memakai pakaian yang menyelisihi adat manusia (penduduk negerinya), maka hal itu termasuk pakaian syuhroh (pakaian ketenaran (tampil beda)).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari memakai pakaian syuhrah. Jika kita tinggal di negeri yang penduduknya memakai imamah (sorban), maka kita pakai imamah. Dan jika kita tinggal di negeri yang penduduknya tidak memakainya, maka kita tidak memakainya. Dan aku menyangka, sesungguhnya negeri-negeri kaum muslimin sekarang berbeda-beda. Ada sebagian negeri yang kebanyakan penduduknya memakai imamah. Dan ada sebagian negeri yang sebaliknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai imamah, karena hal itu merupakan adat waktu itu. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk memakainya. Bahkan melarang dari memakai pakaian syuhrah (ketenaran/tampil beda) yang memberikan faidah, sesungguhnya yang sunnah dalam berpakaian itu, hendaknya seorang insan mengikuti apa yang telah menjadi adat penduduk negerinya dalam berpakaian, kecuali pakaian yang diharamkan.” [ Liqo’ Babil Maftuh : 24/160 ].
AFM