Sabtu, 05 April 2025

Tidak Ada Kewajiban Nafkah Untuk Isteri Wanita Karier

Tidak Ada Kewajiban Nafkah Untuk Isteri Wanita Karier

Sebagian orang ketika membahas fikih keluarga tidak mencermati dan membedakan antara pembahasan kewajiban menafkahi isteri yang kaya karena asset, tabungan atau passive income dengan apakah ada kewajiban menafkahi isteri yang bekerja dan menjadi wanita karier.

Isteri yang kaya karena asset, tabungan dan passive income itu tetap wajib dinafkahi. 

Hal ini berbeda dengan isteri yang seharian full bekerja di luar rumah dan berstatus sebagai wanita karier. Ada perselisihan di antara para ulama tentang hal ini.
 
يري بعض الفقهاء المعاصرين أن المرأة العاملة تستحق النفقة إذا عملت بإذن الزوج فإن عملت بغير إذنه فلا نفقة لها وهذا ما ذهبت إليه كثير من قوانين الأحوال الشخصية.

Syaikh Umar Sulaiman al-Asyqar mengatakan, “Sebagian ulama fikih kontemporer berpandangan bahwa isteri yang berstatus sebagai wanita karier itu berhak diberi nafkah jika bekerja dengan seizin suami. 

Jika isteri kerja tanpa izin suami dia tidak berhak mendapatkan nafkah. 

Inilah pendapat yang dianut oleh berbagai UU keluarga di negeri-negeri Islam.

والصواب من القول أن التي تعمل لا نفقة لها لأن الزوج يستطيع منعها من العمل والخروج من المنزل فذلك حقه وهو إنما ينفق عليها لأنها متفرغة لزوجها محبوسة عليه 

Pendapat yang benar, isteri yang bekerja full seharian itu tidak memiliki hak nafkah karena suami bisa melarangnya untuk bekerja, keluar rumah (dan suami berkewajiban menafkahinya). Melarang bekerja dan keluar rumah adalah hak suami. 

Suami itu hanya berkewajiban menafkahi isterinya karena isteri full time untuk suami dengan berada di rumah. 

Artinya isteri itu ‘tertahan’ di rumah untuk kepentingan suami.
 
فإذا كانت تعمل وتكسب فإن السبب الذي وجب من أجله الإنفاق عليها يكون قد زال.

Jika isteri berkerja dan cari duit (untuk kepentingan pribadinya) maka sebab atau alasan wajib dinafkahi oleh suami itu sudah tidak ada pada diri isteri”. 

Umar Sulaiman al-Asyqar, Ahkām az-Zawāj fī Dhaui al-Kitāb was Sunnah (Amman Yordania: Dar an-Nafais, 2004), hlm 282.

Penjelasan Syaikh Umar bin Sulaiman al-Asyqar, salah seorang ulama Yordania ini menunjukkan bahwa tentang status nafkah isteri yang berstatus sebagai wanita karier, sibuk kerja di luar rumah di pagi siang dan sore hari ulama kontemporer memiliki dua pendapat.

1. Wajib dinafkahi jika isteri bekerja dengan seizin suami atau ada perjanjian sebelum akad nikah boleh tetap kerja.

2. Tidak wajib dinafkahi oleh suami.

Wanita karier dan isteri bekerja yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perempuan yang bekerja dan gaji/pendapatan yang diterima dari pekerjaan tersebut murni untuk kepentingan pribadi isteri dan atau untuk kepentingan keluarga isteri.

Dari dua pendapat yang ada, pendapat yang dinilai benar oleh Syaikh Umar Sulaiman al-Asyqar adalah pendapat kedua. Alasan beliau menguatkan pendapat hukum adalah terkait ketiadaan kausa hukum (manāth atau illah hukum) kewajiban menafkahi.

Nafkah yang diterima isteri adalah kompensasi dari keberadaan isteri di rumah sehingga jika sewaktu-waktu suami ‘membutuhkan’ isterinya posisi isteri siap sedia di rumah. Ketika isteri pada waktu pagi, siang dan sore hari berada di tempat kerja bahkan terkadang malam hari harus lembur maka kompensasi dari kewajiban nafkah itu tidak ada. 

Oleh karena itu dalam kondisi ini tidak ada kewajiban menafkahi isteri.

Memiliki isteri yang sibuk kerja di luar rumah bukanlah permasalahan kontemporer. Alauddin al-Hashkafi salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang wafat pada tahun 1088 H sudah membahas hal ini.

الدر المختار شرح تنوير الأبصار وجامع البحار (ص258):
ولو سلمت نفسها بالليل دون النهار أو عكسه فلا نفقة انقص التسليم.
قال في المجتبى: وبه عرف جواب واقعة في زماننا أنه لو تزوج ‌من ‌المحترفات التي تكون بالنهار في مصالحها وبالليل عنده فلا نفقة لها انتهى، 

Alauddin al-Hashkafi al-Hanafi (w: 1088 H) mengatakan, “Andai isteri hanya bersedia disetubuhi suami hanya di waktu malam dan tidak mau jika siang hari atau sebaliknya hak nafkahnya hilang. Karena dengan perilaku tersebut isteri itu mengurangi kadar kepasrahannya untuk disetubuhi (yang merupakan syarat untuk berhak mendapatkan nafkah). 

Penulis kitab al-Mujtaba menyimpulkan bahwa dari ‘ibarah’/kalimat di atas bisa diketahui jawaban hukum untuk kasus yang terjadi di zaman kita saat ini. Itu kasus seorang laki-laki yang menikahi wanita pekerja yang di siang hari sibuk dengan urusan dan kepentingannya dan hanya di rumah pada malam hari. Isteri semisal ini tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya” ad-Durr al-Mukhtār hlm 258.

Uraian di atas hanya membahas ketiadaan kewajiban menafkahi. Artinya sebagai bentuk ekspresi cinta yang demikian kuat boleh saja suami tetap menafkahi isterinya yang bekerja full seharian di luar rumah dan semua gajinya hanya jadi hak milik isteri. 

Akan tetapi isteri wajib sadar bahwa itu adalah kebaikan suami dan bukan kewajiban suami. Jika hal ini disadari semestinya isteri itu lebih berterima kasih, lebih berbakti dan lebih melayani suami.

Aris Munandar