Minggu, 06 April 2025

H. Fachrodin Muhammadiyah tentang Ziarah Kubur

H. Fachrodin Muhammadiyah tentang Ziarah Kubur

===================

Hari ini menyempatkan membuka-buka kembali beberapa koleksi buku. Salah satu yang menarik perhatian adalah tulisan H. Fachrodin tentang hukum ziarah kubur. 

Bagi kalangan Muhammadiyah, nama H. Fachrodin (1890 M – 1929 M) tentu bukan nama asing. Beliau adalah salah satu murid langsung K.H. Ahmad Dahlan sekaligus motor penggerak organisasi pada awal-awal berdirinya Muhammadiyah. Beliau adalah Ketua Pertama Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah Bagian Tabligh sekaligus pemimpin redaksi majalah Soewara Moehammadiyah tahun 1922-1923.

Tulisan H. Fachrodin ini kami kutip dari buku “Islam Nyawa Kemajuan” yang dieditori oleh Mu’arif, sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan-tulisan H. Fachrodin yang tersebar di berbagai edisi penerbitan Soewara Moehammadijah. Tulisan tentang Ziarah Kubur ini sendiri terdapat pada Soewara Moehammadijah No. 12/th ke-3/1922.

===================

Ziarah Kubur
Ditulis oleh H. Fachrodin

SUDAH beberapa kali kita diminta oleh kebanyakan saudara kita terutama pembaca Soewara Moehammadijah, agar supaya kita menerangkan akan hukumnya orang Islam berziarah kubur. Sebab, telah beberapa banyak kaum Muslimin di tanah Jawa ini, terutama bangsa kita; yang sama salah faham tentang hal ini. Keterangan mana hendaklah dimuat di dalam Soewara Moehammadijah agar supaya pembaca Soewara Moehammadijah dapat keterangan yang lebih jelas. Maka baru sekaranglah kita dapat meluluskan akan permintaan saudara-saudara, yang sudah lama menunggu-nunggu akan keterangan kita. Maka oleh sebab kelamaan kita itu, maka minta maaf kepada saudara-saudara, sebab baru sekaranglah kita dapat kesempatan mengarangkan hal ziarah kubur.

Hukum ziarah kubur itu adalah dua bagian. Pertama, Ziarah Syar’iyah. Kedua, Ziarah Bid'ah.

Ziarah Syar’iyah itu ada dua macam. Ziarah kuburnya orang Mukmin atau Islam, dan yang semacam ziarah kuburnya orang kafir atau orang yang bukan Islam.

Adapun ziarah kuburnya orang Mukmin atau orang Islam menurut hukum Syar'iyah, yakni akan bermaksud mendoakan kepada orang Mukmin, yaitu seperti orang yang menyembahyangkan ketika sebelum dikuburkan. Adapun caranya orang akan berziarah ke kuburan harus memberi salam kepada ahli kubur, dengan pembacaan: “Assalamu'alaikum Ahlaaddiyar, minal mu’minin wal muslimin. Wainna insyaa Allah bikum lahiqun. Wayarhamullahu al-mustaqdimin, minna waminkum, Wal musta’khirin. Nas’alullaha taala lana walakum al-‘afiyah. Allabumma la tahrimna ajrahum, Wala taftinna ba’dahum." Artinya, "Keselamatan bagi kamu sekalian ahli rumah (kubur) dari kamu orang Mukmin dan Islam. Dengan kita, mudah-mudahan Allah menemukan kepadamu. Dan mudah-mudahanlah Allah memberi belas kasihan kepada sekalianmu yang telah mendahului kita dan kamu yang membelakangi. Hamba mohon ke hadapan Tuhan, mudah-mudahanlah kita dan kamu sekalian mendapat ampunan. Hai Tuhanku, janganlah mengharamkan kepada kita sekalian akan pahala Tuhan, dan janganlah memberi fitnah kepada sekalian akan kemudiannya."

Keterangan lagi. Tersebut di dalam hadis sahihnya Imam Muslim diceritakan dari Abu Hurairah demikian: “Bahwa ketika Kanjeng Nabi Muhammad berziarah ke kuburnya orang Islam memberi salam demikian: “Assalamu’alaikum dara Qaumi mu’minin, wa ana insya Allahu bikum lahiqun." Artinya, “Bahwasanya keselamatan bagi kamu sekalian Mukminin bahwa kami insya Allah kepadamu dapat bertemuan."

Adapun ziarah kuburnya orang kafir atau orang bukan Islam ialah supaya bermaksud mencari tepa tulada (Jawa: contoh atau teladan-ed.) atau mencari peringatan akan akhirat. Tiadalah diperkenakan mendoakan kepadanya sebagai mendoakan orang Islam dan Mukmin seperti yang tersebut di atas tadi. Sebagai keterangan yang sudah diterangkan di dalam hadisnya Imam Muslim,dan Abi Dawud, dan Nasai, dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah, Abi Hurairah menceriterakan tahu akan Kanjeng Nabi Muhammad berziarah di mana kubur ibunya, Siti Aminah. Di mana sebelah kubur itu, Kanjeng Nabi Muhammad sambil bersabda: “Kami minta izin ke hadapan Tuhan, perlu memintakan ampun akan dosanya ibuku, akan tetapi tiadalah diizinkan. Kami lalu minta diizinkan akan berziarah saja, kami diizinkan tetapi dengan perintah, agar supaya untuk peringatan bagi kami sekalian akan hari kemudian (akhirat).” 

Demikianlah ziarah syar’iyah yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad dan sekalian sahabatnya dan tabi'in zaman dahulu kala. Dan ziarah yang demikian itu, sudahlah mufakat sekalian Muslimin dan Mujtahidin dan Rasyidin, menghukum Sunnat.

Adapun ziarah bid'ah ialah ziarahnya orang ke kubur, bermaksud minta doa kepada ahli kubur, atau mempunyai persangkaan bahwa kuburan itu tempat mustajab bagi orang yang akan memohon kapada Tuhan. Ziarah cara yang demikian itu, Kanjeng Nabi Muhammad dan sekalian sahabat tiadalah menjalankan sekalian pun. Dan ziarah dengan yang demikian itu, ialah termasuk dalam golongan Syirik Khafi (Arab:syirik samar/kecil-ed.), dan bisa menjadikan sebabnya Musyrik.

Demikian juga, apabila ada salah seorang, yang membikin kuburan, dibikin Masjid, atau mencampurkan kuburan dengan masjid, maka perbuatan yang demikian itu, ialah perbuatan yang dilarang oleh Agama kita Islam, hukumnya Haram.

Demikian pula orang yang sembahyang di mana masjid itu, hukumnya pun haram, dan mendapat kemurkaan dari pada Tuhan, yang sedemikian itulah menurut sepanjang hadis Kanjeng Nabi Muhammad demikian: "Isytadda Ghadbullahi 'ala qaumin, ittakhadu Qubura Ambiyaihim Masajida." Artinya, “Dengan sungguh sangatlah akan kemurkaan Tuhan, kapada sekalian kaum yang membuat kubur Nabinya, dibuat Masjid." Dan hadis lagi: "Anna man kana Qablukum kanu, yattakhiduna al-qubura Masajida Fa inni anbakum 'an dzalik." Artinya, “Bahwa sesungguhnya orang sebelummu itu, sama membuat kuburan dijadikan masjid, apakah tidak demikian? Maka oleh karena itu, janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan dibikin menjadi masjid, sesungguhnya kami mencegah kepadamu dari berbuat yang demikian." Jadi, halnya kuburan ada di dalam masjid, itulah sesungguhnya diharamkan bagi orang yang sembahyang di tempat itu.

Syahdan, apabila ada orang yang mempunyai i’tiqad, bahwa tempat kuburannya si fulan itu adalah suatu tempat mustajab untuk mendoa kepada Tuhan, disebabkan si fulan itu ada seorang shaleh, keramat atau wali. Hati ber-i'tiqad yang demikian itu, itulah menjadi awal permulaan sebabnya Musyrik. Sebab, tiadalah beda dengan i’tiqad-nya kaum Nabi Nuh sehingga menyembah kepada arca. Telah bersabda Sayidina Ibnu 'Abbas demikian: "Kana baina Adam wa Nuh, 'asyarata qurun, kulluhum 'ala al-Islam. Tsumma dzahara asy-syirka bi sababi ta'dzimi quburi salihihim." Artinya, “Bahwasanya telah kejadian di antaranya Kanjeng Nabi Adam dengan Kanjeng Nabi Nuh kira-kira sepuluh abad, kebanyakan orang itu berdiri atas agama Islam, lalu menampaklah Musyriknya, disebabkan mereka itu men-tadzim-kan akan kuburannya orang-orang yang dianggap saleh (orang yang beramal saleh).

Sampai di sinilah kita menerangkan hal hukum ziarah kubur, kita rasa sudah sampai terang, dan mudah-mudahanlah saudara-saudara terutama pembaca Soewara Moehammadijah. Kita mohon ke hadhirat Tuhan Yang Maha Belas Kasihan, dan Maha Penunjuk Jalan Yang Benar, mudah-mudahanlah pembaca keterangan kita ini, dapat fikiran dan penerimaan yang terang, sehingga tiadalah menjadi salah tampa (Jawa: terima-ed.). Maka doa kita itu, kita sertai dengan ucapan: “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’in. Ihdina-sirathal mustaqim. Siratballadzina an'amta ‘alaihim, ghairil-maghdubi ‘alaihim waladlallin. Amin!! 

(selesai nukilan)

===================

Dari tulisan di atas, setidaknya ada beberapa hal penting terkait pemurnian aqidah yang disampaikan oleh H. Fachrodin, yaitu:

1. Muhammadiyah tidak melarang secara mutlak ziarah kubur. Muhammadiyah hanya melarang ziarah kubur bid’iyyah dan menganjurkan ziarah kubur syar’iyyah dengan perincian sebagaimana diterangkan H. Fachrodin di atas.

2. Ziarah syar’iyyah dimaksudkan untuk mendoakan mayit dan sebagai pengingat akhirat, sedangkan ziarah bid’iyyah dimaksudkan untuk meminta doa kepada ahli kubur, atau mempunyai persangkaan bahwa kuburan itu tempat mustajab bagi orang yang akan berdoa.

3. Ziarah ke kuburan orang kafir dibolehkan jika dimaksudkan untuk mengingat akhirat, dimana H. Fachrodin menyebutkan dalilnya berupa hadits ziarah Rasulullah ke kuburan ibunya, Siti Aminah.

4. Mendirikan masjid di kuburan atau mencampurkan kuburan dengan masjid dan shalat didalamnya tidak diperbolehkan.

5. Awal mula kesyirikan adalah ketika beri’tiqad bahwa tempat kuburan tertentu adalah suatu tempat mustajab untuk berdoa karena orang yang dikubur diyakini sebagai seorang shalih, keramat atau wali.

Dari tulisan di atas dapat diketahui bahwa ruh tashfiyah (pemurnian) baik dibidang aqidah maupun ibadah telah menjadi perhatian ulama-ulama Muhammadiyah generasi awal, dibuktikan peringatan yang diberikan oleh H. Fachrodin atas praktik-praktik ziarah kubur yang mengarah kepada syirik dan bid’ah. 

Hal ini sekaligus membantah anggapan sebagian kalangan bahwa Muhammadiyah baru mengarah kepada gerakan pemberantasan TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat) setelah wafatnya Kyai Ahmad Dahlan, masuknya pengaruh pemikiran reformis ke dalam tubuh Muhammadiyah dari para ulama Minang, terkhususnya Haji Abdul Karim Amrullah, serta didirikannya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansyur. 

Tulisan H. Fachrodin ini menepis anggapan itu semua, karena tulisan tersebut ditulis pada tahun 1922, dimana saat itu Kyai Ahmad Dahlan masih ada (Beliau wafat pada Februari 1923), Muhammadiyah belum masuk ke tanah Minang (baru masuk pada tahun 1925 diinisiasi oleh Haji Abdul Karim Amrullah) dan Majelis Tarjih belum dibentuk (baru dibentuk pada tahun 1927)

Selain itu, tulisan H. Fachrodin diatas sangat kuat dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiyyah dalam kitabnya Qa’idah Jalilah fi Tawassul wal Wasilah (atau Kitab Tawassul wal Wasilah atau Kitab fil Wasilah). 

Hal ini nampak pada kemiripan narasi yang disampaikan H. Fachrodin di atas dengan narasi penjelasan Ibn Taimiyyah pada Kitab Qa’idah Jalilah, bahkan sampai pada kesamaan narasi takhrij hadits yang disampaikan (narasi terlampir). 

Pengaruh ini memperkuat keterangan yang disampaikan oleh murid Kyai Ahmad Dahlan lainnya, K.R.H. Hadjid, yang menyebutkan bahwa kitab Tawassul wal Wasilah ini merupakan salah satu kitab rujukan Kyai Ahmad Dahlan dalam melakukan gerakan pemurnian.
Ust wahyu indra wijaya

https://www.facebook.com/share/p/1BEx8D39Xz/