Sabtu, 08 Maret 2025

KIYAI SYAFIQ MUGHNI (PP MUHAMMADIYAH): TEOLOGI (AKIDAH) IBNU TAIMIYYAH (W.728 H) MERUPAKAN TEOLOGI ISLAM YANG MODERAT/WASATHIYYAH/PERTENGAHAN

Kutipan (lagi) status FB Ustaz Ridwan (dari Muhammadiyah) pada hari kemarin (dengan sedikit pengeditan): 

KIYAI SYAFIQ MUGHNI (PP MUHAMMADIYAH): TEOLOGI (AKIDAH) IBNU TAIMIYYAH (W.728 H) MERUPAKAN TEOLOGI ISLAM YANG MODERAT/WASATHIYYAH/PERTENGAHAN

Secara lintas generasi, menurut Muhammadiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) sejatinya adalah pelopor Islam Moderat dalam akidah, dan juga pemersatu umat. Kitab-kitab beliau dijadikan rujukan dalam pemurnian akidah dan ibadah, sebagaimana telah dimulai oleh pendiri Muhammadiyyah, KH Ahmad Dahlan (w. 1923 M), begitu pula dengan Buya Hamka (w. 1981 M). 

Di Nusantara, yang pertama kali menerjemahkan kitab 'Aqidah Wasithiyyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah tokoh Muhammadiyah, Bey Arifin (w. 1985 M), hingga gerakan purifikasi (pemurnian) ajaran Islam terus berjalan, sebagaimana yang juga dilakukan oleh PERSIS (Persatuan Islam), Al-Irsyad, dan ormas lainya.

Tokoh Muhammadiyyah generasi berikutnya, adalah sebagaimana pandangan Buya Prof. Yunahar Ilyas (w. 2020 M), dan Prof. Syafiq 'Abdul Mughni (Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hubungan Antar Agama dan Peradaban), menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki Aqidah Wasathan (Pertengahan), yaitu Aqidah Islam berdasarkan atsar para salaf.

Prof. Syafiq 'Abdul Mughni mengatakan,

"Aliran-aliran yang berkembang itu menyebabkan kebingungan bagi sebagian umat Islam bukan saja mereka yang awam tetapi juga mereka yang memiliki posisi penting dalam institusi agama, seperti hakim (qadhi). Dalam sejarah disebutkan bahwa seorang hakim yang berkedudukan di Wasith, sebuah wilayah di Negeri Iraq, menulis surat kepada Ibnu Taimiyyah. Dalam surat itu, hakim tersebut bertanya tentang akidah atau teologi Islam dan jawaban-jawaban Ibnu Taimiyyah akan dijadikan dasar untuk memberikan fatwa-fatwa keagamaan. Jawaban Ibnu Taimiyyah ditulis dalam sebuah naskah yang kemudian diberi judul al-'Aqidah al-Wasithiyyah, yang dinisbatkan kepada nama wilayah Wasith. 

Al-Wasithiyyah itu menggambarkan teologi yang moderat atau tengahan (wasath). Moderasi itu berada pada posisi di antara dua ekstrim, misalnya antara tamtsil yang dianut oleh Musyabbihah dan ta'thil yang dianut oleh Jahamiyyah. Moderasi itu juga terlihat dalam soal perbuatan manusia, yakni antara Jabariyyah dan Qadariyyah, juga antara Murjiah dan Wa'idiyyah. Dalam soal keimanan, wasathiyyah terlihat di antara posisi Haruriyyah (Khawarij) dan Mu'tazilah, dan antara Murjiah dan Jahmiyyah. Demikian juga, dalam soal penilaian terhadap para sahabat yang terlibat dalam perang saudara, moderasi berada pada posisi di antara Rafidhah dan Khawarij. Wasathiyyah ini juga sesungguhnya menjadi posisi Islam di antara agama-agama di dunia ini.

Posisi wasathiyyah itu menjadi lebih menarik jika diletakkan dalam konteks perdebatan tentang apa yang disebut teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang dalam pendapat Ibnu Taimiyyah disebut juga Ahlu al-Kitab was Sunnah. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa wasathiyyah dalam masalah teologi itu sesungguhnya merupakan posisi Ahlu al-Salaf, yakni para sahabat Nabi SAW dan generasi sesudahnya. Dalam memahami akidah, Ahlu al-Salaf sangat terikat dengan teks ayat-ayat Quran dan Hadits. Kelompok ini disebut juga Ahlu al-Hadits, yang memiliki pemahaman tektualis, yang menolak penakwilan terhadap teks yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan. Ahlu al-Hadits menolak falsafah yang mereka sebut sebagai 'ulum al-awail. Ilmu Kalam juga mereka tolak karena sarat dengan pengaruh falsafah Yunani atau Hellenisme yang mendistorsi akidah. Dalam tradisi Ahlu al-Hadits ini tidak jarang ditemukan kitab-kitab yang mengecam Ilmu al-Kalam, misalnya Dzamm al-Kalam karya 'Abdullah al-Anshari dan Tahrim al-Nazhar fi Kutub Ahl al-Kalam karya Ibn Qudamah. Karena penolakan terhadap Kalam, Ahlu al-Hadits menyebut kepercayaan mereka dengan akidah, dan tidak pernah mau menggunakan istilah Kalam atau Ilmu Kalam bagi pemahaman mereka tentang keimanan. Cara berfikir tekstualis seperti ini dikecam oleh lawannya, Ahlu al-Ra'yi karena penolakannya terhadap Kalam. Ibnu Taimiyyah yang dalam eksposisi akidahnya menggunakan dalil-dalil Quran dan Sunnah termasuk dalam kelompok Ahlu al-Hadits yang memiliki akar pada posisi Ahmad bin Hanbal yang anti-Mu'tazilah. 

Sebagai lawan dari Ahlu al-Hadits, Ahlu al-Ra'y menggunakan pemahaman rasional, memanfaatkan khazanah Hellenisme, mempromosikan Kalam dan takwil dalam memahami teks. Mereka berpendapat bahwa Kalam perlu dimanfaatkan dan takwil perlu dilakukan untuk menjaga prinsip-prinsip keadilan dan keesaan Tuhan. Mereka tidak jarang mewariskan literatur yang berada membela Kalam, misalnya Istihsan al-Khaudl fi 'Ilm al-Kalam, sebuah karya yang tidak jelas siapa penulisnya sekalipun sering dinisbatkan kepada al-Asy'ari. Ahlu al-Hadits menyebut kelompok Ahlu al-Ra'y ini dengan sebutan yang lebih pejoratif, yakni Ahlu al-Bid'ah. Dalam konteks perdebatan antara Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ra'y, Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa sesungguhnya Abu al-Hasan al-Asy'ari adalah tokoh Ahlu al-Hadits, sedangkan Asy'ariyyah, seperti al-Baghdadi, al-Baqillani, dan al-Juwayni, adalah Ahlu al-Ra'y.... 

Dalam kitab al-'Aqidah al-Wasithiyyah, Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak menyinggung soal ilmu Kalam, dan dengan demikian, tidak menyampaikan posisinya dalam persoalan tersebut. Tetapi, jelas sekali bahwa posisinya bisa dikategorikan sebagai Ahlu al-Hadits yang menurutnya identik dengan Ahlu as-Sunnah. Dalam perpespektif ini, kita bisa menyatakan bahwa konsep Ahlu al-Sunnah menurut Ibnu Taimiyyah berbeda dengan konsep yang diyakini Asy'ariyyah yang mengakomodasi Kalam dan takwil. 

Wasathiyyah yang dipromosikan Ibnu Taimyah relevan dalam konteks trikotomi, yaitu dua ekstrim dan satu moderat dan bukan dalam dikotomi. Wasathiyyah adalah posisi ideal tetapi perlu diletakkan dalam konteks yang benar."

[Lihat: Majalah Suara Muhammadiyah, edisi ke-14 tahun ke-102, tahun 2017, hlm. 12-13].

https://www.facebook.com/share/1AScnf3wyM/