[ Anda Saja yang Boleh Makan Dulu, Baru Boleh Anak Istri ]
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ابدأ بنفسك، فتصدق عليها، فإن فضل شيء، فلأهلك، فإن فضل عن أهلك شيء، فلذي قرابتك، فإن فضل عن ذي قرابتك شيء، فهكذا، وهكذا
"Mulailah dari diri sendiri, bersedekahlah untuk diri sendiri, jika ada sisa berikanlah kepada keluargamu, jika ada sisa dari keluargamu berikanlah kepada sanak saudaramu, jika ada sisa dari sanak saudaramu berikanlah, dan begitu seterusnya" (HR Muslim)
Sebagian memahami hadits berikut, jika Anda punya uang Rp 10,000 untuk makan 1x maka Anda makan dulu, anak istri tidak boleh. Jika ada kelebihan, maka baru boleh anak istri makan. Jika ada kelebihan, boleh untuk yang lain.
Pemahaman seperti ini benar, hanya jika kondisinya semua anggota keluarga sedang kelaparan yang sangat dan mengancam nyawa. Akan tetapi bila kepala keluarga masih bisa menahan lapar dan memilih mendahulukan keluarga maka tentu saja hukumnya boleh. Ibn Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
وهذا واضح أن الواجب البداءة بالواجب وأول ما واجب عليك نفسك ابدا بنفسك ثم بمن تعول ولكن قد تكون هناك أحوال تطرأ يكون تقديم غير أهلك أمراً مؤكداً كدفع ضرورة جائع سيموت مثلاً.
إذا أنقذته بطعام وأهلك لا يموتون لو لم تطعهم الآن هنا نقدم الجائع ندفع ضرورته
"Hal ini jelas bahwa hendaknya kita memulai dengan yang wajib, dan yang wajib pertama kali atas dirimu adalah dirimu sendiri, kemudian orang-orang yang berada dalam tanggung jawabmu. Namun, bisa jadi ada keadaan yang mengharuskan kita untuk mendahulukan orang lain daripada keluarga, seperti misalnya dalam hal memenuhi kebutuhan orang yang kelaparan dan hampir meninggal.
Jika kalian menyelamatkannya dengan memberi makanan dan keluarga kalian tidak akan mati jika kalian tidak memberi mereka makan, maka sekarang mendahulukan yang kelaparan lebih didahulukan untuk mencegah madharat."
Maka di sini Ibn Utsaimin rahimahullah tidak memahami hadits tersebut saklek sebagaimana pemahaman sebagian da'i hingga akhirnya muncul istilah laki-laki egois.
Lebih lanjut pemahaman yang lebih implikatif dari hadits ini, wallahu a'lam, adalah terkait sedekah tathawwu'/donasi di luar nafkah wajib. Hal ini diperkuat dengan riwayat lain,
تصدقوا فقال رجلٌ يا رسولَ اللهِ عندي دينارٌ قال تصدق به على نفسِك قال عندي آخرُ قال تصدق به على زوجتِك قال عندي آخرُ قال تصدق به على ولدِك قال عندي آخرُ قال تصدق به على خادمِك قال عندي آخرُ قال أنت أبصرُ
"Bersedekahlah kalian. Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku punya satu dinar.” Dia berkata, “Berikanlah itu sebagai sedekah untuk dirimu sendiri.” Dia bilang, “Aku punya satu lagi.” Dia berkata, “Berikanlah itu sebagai sedekah kepada istrimu.” Dia bilang, “Aku punya satu lagi.” Dia berkata, “Berikanlah itu sebagai sedekah kepada anakmu.” Dia bilang, “Aku punya satu lagi.” Dia berkata, “Berikanlah itu sebagai sedekah kepada budakmu.” Dia bilang, “Aku punya satu lagi.” Dia berkata, “Kamu lebih tahu yang terbaik.” (HR Ahmad, An Nasa'i, dinilai shahih oleh Al Albani)
Maka di sini kepala keluarga memiliki uang 1 dinar, dan sudah dimaklumi jika ia punya uang 1 dinar maka logikanya nafkah minimum sandang pangan papan, sudah ditunaikan semua. Di sini ia memiliki lebihan 1 dinar yang kurang lebih sekarang Rp 7,5jt, bolehkah ia sedekah sunnah/donasi ke orang lain? Maka jawab Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, tidak boleh. Berikan ke anak dan istrimu dulu. Berikutnya ke keluargamu, budakmu, lalu baru boleh didonasikan ke orang lain.
Maka bisa saja dimaklumi ada orang yang punya rumah, kendaraan bagus, tapi jarang donasi. Mungkin dia sedekahnya ke keluarganya dulu jutaan rupiah, jika ada lebihan baru ke proyek donasi lain.
Faidah lain dari hadits ini adalah pentingnya duit lanang. Seorang laki-laki tidak boleh menyerahkan uangnya bahkan kartu ATMnya ke istri. Harus punya cekelan duit sendiri untuk menjadi lelaki yang bermartabat dan tidak meminta-minta ke orang lain, kemudian baru memberikan jatah uang nafkahnya ke anak istri.
Ust yhouga pratama