Rabu, 23 Maret 2022

Masalah Dzahirah dan khofiyah

Masalah Dzahirah dan khofiyah

Masalah Dzahirah adalah masalah yang sudah jelas dan diketahui oleh semua orang. Masalah seperti ini tidak lepas dari perkara yang disebut dengan ma’lum fiddin bidharurah. Contohnya seperti wajibnya sholat lima waktu, puasa ramadhan, hajji dsb. Haramnya minum arak, zina, mencuri dsb.

Sedangkan masalah khofiyah adalah masalah yang tersembunyi yang banyak orang tidak mengetahuinya. Hanya orang orang tertentu saja yang tahu. 

Dalam masalah yang dzahirah tidak diterima padanya udzur kejahilan. Karena masalah tsb telah jelas kepada semua orang. Maka orang yang mengingkarinya otomatis kafir. 

Namun…
Masalah masalah dzahirah atau juga perkara yang mu’lum fiddin bidharurah adalah masalah masalah yang bersifat relatif. 
Semakin merebak kejahilan, semakin banyak kesamaran dalam masalah agama. 
Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

فكون الشيء معلوما من الدين ضرورة أمر إضافي ، فحديث العهد بالإسلام ، ومن نشأ ببادية بعيدة : قد لا يعلم هذا بالكلية ، فضلا عن كونه يعلمه بالضرورة . وكثير من العلماء يعلم بالضرورة أن النبي صلى الله عليه وسلم سجد للسهو ، وقضى بالدية على العاقلة ، وقضى أن الولد للفراش ، وغير ذلك مما يعلمه الخاصة بالضرورة ، وأكثر الناس لا يعلمه ألبتة

“Sesuatu dianggap ma’lum fiddin secara darurat adalah perkara yang bersifat relatif. Orang yang baru masuk islam dan orang yang tinggal di pedalaman terkadang tidak mengetahui masalah ini sama sekali. Apalagi menjadi perkara yang diketahui secara darurat. Dan banyak ulama yang mengetahui secara darurat bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam sujud sahwi, mewajibkan diyat atas ‘aqilah, memutuskan bahwa anak (zina) dinisbatkan kepada firosy dan sebagainya. Sedangkan kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Majmu Fatawa 13/118)

Sebuah contoh juga adalah istighotsah kepada selain Allah adalah syirik yang telah jelas keharamnnya. Namun untuk sebagian orang menjadi samar karena banyaknya syubhat. 

Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

علم بالضرورة أنه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات ، لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم ، لا بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ، ولا بلفظ الاستعاذة ولا بغيرها، كما أنه لم يشرع لأمته السجود لميت ، ولا لغير ميت، ونحو ذلك، بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور، وأن ذلك من الشرك الذي حرمه الله تعالى ورسوله . 
لكن لغلبة الجهل وقلة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين : لم يمكن تكفيرهم بذلك ، حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم ، مما يخالفه. 

“Telah diketahui secara dharurah bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam tidak pernah mensyariatkan kepada umatnya untuk berdoa kepada mayat. Baik mayat itu nabi atau orang salih. Baik dengan lafadz istigotsah atau lainnya. Juga lafadz isti’adzah dan lainnya. Sebagaimana juga Nabi tidak pernah mensyariatkan sujud kepada mayat atau selain mayat dan sebagainya. Bahkan Kita mengetahui bahwa beliau melarang perkara perkara itu semua. Dan bahwa itu termasuk kesyirikan yang diharamkan oleh Allah Ta’ala dan rasul-Nya. 
Namun.. karena merajalelanya kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang risalah pada banyak orang orang belakangan, tidak mungkin untuk mengkafirkan mereka karena itu hingga menjadi jelas kepada mereka ajaran yang dibawa oleh Rasul Shallallaahu ‘alaihi Wasallam dari ajaran yang menyelisihinya.”
(Ar Raddu ‘alal bakri 2/731)
Ustadz abu yahya badrusalam