#DaurahSyari_iyyah
#STAI_Ali_bin_Abi_Thalib
#Fawaid
#ResumeDaurahSyariyyah_24
#STAI_ALI_BIN_ABI_THALIB
#Catatan_Keenam
#Syaikh_Fathi_Abdullah_al-Mushily_hafizhahullah
#Risalah_tentang_larangan_terhadap_bid‘ah_dan_perpecahan
PERTEMUAN 02
Di halaman 05
Qori hafizhahullah membaca:
الموقف الوسط من هجران أهل البدع
الهجران قد يكون مقصوده ترك سيئة البدعة التي هي ظلم وذنب وإثم وفساد، وقد يكون مقصوده فعل حسنة الجهاد والنهي عن المنكر وعقوبة الظالمين لينزجروا ويرتدعوا، وليقوى الإيمان والعمل الصالح عند أهله؛ فإن عقوبة الظالم تمنع النفوس عن ظلمه وتحضها على فعل ضد ظلمه من الإيمان والسنة ونحو ذلك.
SIKAP PERTENGAHAN DALAM MEMBOIKOT AHLI BID’AH
Hajr (pemboikotan) terkadang dimaksudkan untuk meninggalkan keburukan bid‘ah yang merupakan bentuk kezaliman, dosa, kesalahan, dan kerusakan; dan terkadang dimaksudkan untuk melakukan kebaikan berupa jihad, amar ma’ruf nahi munkar, serta memberi hukuman kepada orang zalim agar mereka jera dan berhenti, serta agar keimanan dan amal saleh semakin kuat di kalangan orang-orang beriman; karena hukuman terhadap pelaku kezaliman dapat mencegah orang dari kezalimannya dan mendorong untuk melakukan lawannya seperti iman, sunnah, dan semacamnya.
فإذا لم يكن في هجرانه انزجار أحد ولا انتهاء أحد، بل بطلان كثير من الحسنات المأمور بها، لم تكن هجرة مأموراً بها، كما ذكره أحمد عن أهل خراسان إذ ذاك: أنهم لم يكونوا يقوون بالجهمية، فإذا عجزوا عن إظهار العداوة لهم سقط الأمر بفعل هذه الحسنة، وكان مداراتهم فيه دفع الضرر عن المؤمن الضعيف، ولعله أن يكون فيه تأليف الفاجر القوي.
Jika dari hajr (pemboikotan) itu tidak timbul efek jera atau perubahan pada siapa pun, bahkan justru menyebabkan hilangnya banyak kebaikan yang diperintahkan untuk dilakukan, maka hajr tersebut tidak lagi diperintahkan. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad tentang penduduk Khurasan pada masa itu: mereka tidak memiliki kekuatan menghadapi kaum Jahmiyah, sehingga ketika mereka tidak mampu menampakkan permusuhan terhadap mereka, maka gugurlah kewajiban melakukan hajr tersebut. Dalam kondisi seperti itu, sikap memaklumi mereka dilakukan demi mencegah bahaya terhadap kaum mukminin yang lemah, dan bisa jadi hal itu juga untuk menarik simpati pelaku maksiat yang kuat.
وكذلك لما كثر القدر في أهل البصرة، فلو ترك رواية الحديث عنهم؛ لا ندرس العلم والسنن والآثار المحفوظة فيهم، فإذا تعذر إقامة الواجبات من العلم والجهاد وغير ذلك إلا بمن فيه بدعة مضرتها دون مضرة ترك ذلك الواجب كان تحصيل مصلحة الواجب مع مفسدة مرجوحة معه خيراً من العكس، ولهذا كان الكلام في هذه المسائل فيه تفصيل.
Demikian pula ketika paham Qadariyah menyebar luas di tengah penduduk Bashrah, maka jika periwayatan hadis dari mereka ditinggalkan, niscaya ilmu, sunnah, dan atsar-atsar yang terjaga akan lenyap. Maka jika menunaikan kewajiban berupa ilmu, jihad, dan selainnya hanya bisa dilakukan dengan bantuan orang yang memiliki bid‘ah yang madharatnya lebih kecil daripada madharat meninggalkan kewajiban tersebut, maka meraih maslahat dari kewajiban itu meskipun disertai mafsadat kecil adalah lebih baik daripada meninggalkannya. Oleh karena itu, pembahasan tentang masalah ini memang memerlukan rincian.
Penjelasan Syaikh Fathi hafizhahullah:
الحمد لله، وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليماً كثيراً.
Segala puji bagi Allah, dan semoga salawat tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya dengan salawat yang banyak.
المصنف رحمه الله تعالى يبين أن الأحكام وأن الوسائل في مقاصدها، وبالتالي فلا بد من النظر إلى مقصود الهجر، وهذا يؤكد أن المصنف ينظر إلى المسألة بنظر أهل المقاصد.
Penulis rahimahullah menjelaskan bahwa hukum-hukum dan sarana-sarana dalam syariat dikaitkan dengan tujuannya. Oleh karena itu, perlu dilihat maksud dari hajr (pemboikotan), dan ini menegaskan bahwa penulis memandang persoalan ini dengan sudut pandang ahli maqāṣid (ilmu tujuan syariat).
والمقصود من الهجر، أي هجر العصاة وهجر المبتدع، أحد أمرين: إما الترك، وإما الفعل.
Adapun maksud dari hajr terhadap para pelaku maksiat dan ahli bid‘ah adalah salah satu dari dua hal: meninggalkan (mereka), atau melakukan sesuatu terhadap mereka.
نهجرهم لأجل ترك سيئة البدعة، ونهجرهم لأجل إقامة الواجب عليهم بعقوبتهم ودفع ظلمهم.
Kita memboikot mereka agar meninggalkan keburukan bid‘ah, dan juga agar menegakkan kewajiban atas mereka melalui pemberian hukuman dan mencegah kezhaliman mereka.
والمقصودان مطلوبان شرعاً، فأنت بهجرك تريد إزالة ورفع سيئة البدعة، وفي الهجر تريد أيضاً إقامة الدين ونصرته، والقيام بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.
Kedua tujuan tersebut dituntut secara syar‘i; karena dalam hajr kamu bermaksud menghilangkan keburukan bid‘ah, dan dalam hajr pula kamu ingin menegakkan agama dan menolongnya, serta menjalankan amar ma‘ruf nahi munkar.
هنا فائدة تربوية لا يتسع المقام لبسطها: أن الثواب في شريعتنا بحسب المقاصد، فكلما كان مقصدك من الفعل كثيراً، كلما كان الثواب أكثر.
Di sini terdapat faedah pendidikan yang tidak cukup waktu untuk dijelaskan panjang lebar: bahwa pahala dalam syariat kita tergantung pada tujuan. Semakin besar tujuanmu dalam suatu amal, maka semakin besar pula pahala yang akan diperoleh.
فأنت هنا في الهجر لا تريد رفع سيئة البدعة فقط، وإنما تريد أيضاً القيام بواجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، فهنا تنوّعت المقاصد.
Maka, dalam hajr ini, kamu tidak hanya ingin menghilangkan keburukan bid‘ah, tetapi juga ingin menunaikan kewajiban amar ma‘ruf nahi munkar. Maka, di sini terdapat keberagaman tujuan.
ولهذا، ماذا يقول؟ هنا قاعدة أخرى: ما ناقض المقصود فتركه هو المقصود.
Oleh karena itu, beliau menyebutkan kaidah lain: “Apa yang bertentangan dengan tujuan, maka meninggalkannya adalah tujuan itu sendiri.”
إذا كان الهجر في مكان ما لا يدفع سيئة، وليس فيه مصلحة ولا اعتبار ولا استجابة، فما الفائدة؟ لا توجد فائدة.
Jika hajr di suatu tempat tidak mampu melenyapkan keburukan, tidak ada maslahat, tidak mendapat pengaruh, dan tidak ada respons dari pihak yang diboikot, maka apa faedahnya? Tidak ada faedahnya.
إلا أن الإنسان أحياناً ينتصر لنفسه في الرد على هؤلاء، وهذا مقصود غير شرعي، وإنما المقصود الشرعي أن هؤلاء يتركون البدع، أو أن لا يغتر الناس بهم.
Terkadang seseorang bertindak hanya karena ingin membela dirinya sendiri dalam menghadapi mereka, dan ini adalah tujuan yang tidak syar‘i. Sedangkan tujuan syar‘i adalah agar mereka meninggalkan bid‘ah, atau agar masyarakat tidak tertipu oleh mereka.
فإذا لم يتحقق المقصود، فالحكم في ترك الهجر لا في فعله. ولهذا، الهجر لا يقصد لذاته، وإنما هو وسيلة لتحصيل المصالح ودفع المفاسد.
Jika tujuan tidak tercapai, maka hukum yang berlaku adalah meninggalkan hajr, bukan melakukannya. Oleh karena itu, hajr tidak dimaksudkan sebagai tujuan itu sendiri, melainkan sebagai sarana untuk meraih kemaslahatan dan mencegah kemudaratan.
فإذا تعثرت هذه الوسيلة لا يُسار إليه، ويُشار إلى غيره من الوسائل، إما لدفع ضررهم بتأليف قلوبهم، أو كما ذكرنا أن ندفع ضررهم بالإعراض عنهم.
Jika sarana ini tidak bisa dilaksanakan, maka jangan menempuhnya, tetapi carilah sarana lain, seperti mencegah bahaya mereka dengan cara melunakkan hati mereka, atau sebagaimana telah disebutkan, dengan cara berpaling dari mereka.
لأنه إذا لم يتعين الهجر، تكون وذُكر مثال على ذلك أن أهل خراسان لما ظهرت الجهمية وصارت لهم قوة، عجز أهل السنة عن إظهار العداوة، فسقط أمر الهجر، وصار الناس يداهنون هؤلاء لأن صارت لهم سلطة.
Karena jika hajr tidak menjadi satu-satunya pilihan, maka tidak wajib dilakukan. Sebagai contoh, ketika paham Jahmiyah muncul di Khurasan dan menjadi kuat, kaum Ahlussunnah tidak mampu menampakkan permusuhan, maka gugurlah kewajiban hajr, dan masyarakat pun terpaksa bersikap lunak kepada mereka karena mereka memiliki kekuasaan.
وكذلك في البصرة، وفي بعض البلاد في وقت تدوين الحديث، كان بعض الرواة ممن تأثروا ببدعة القدر، فلو قلنا بالهجر المطلق لهم لتعذرت مصلحة أخذ الحديث.
Demikian pula di Bashrah dan sebagian negeri pada masa kodifikasi hadis, sebagian perawi telah terpengaruh oleh bid‘ah Qadariyah. Maka, jika kita katakan bahwa mereka semua harus dihajr secara mutlak, maka akan terhalanglah maslahat mengambil hadis dari mereka.
أضرب مثالاً: الآن هل ستذهب للدراسة في بلد من البلدان، في جامعة من الجامعات، وجميع أو غالب المدرسين مخالفون لاعتقاد أهل السنة والجماعة؟
Saya berikan contoh: apakah kamu akan pergi belajar di suatu negara, di sebuah universitas, di mana semua atau mayoritas pengajarnya menyelisihi akidah Ahlussunnah wal Jama‘ah?
فإذا أنت في الهجر، وفي هذا البلد لا توجد كلية أو جامعة لنشر العلم الواجب إلا هذه، فلو قلنا بوجوب الهجر والتحذير لتعطلت مصلحة العلم في ذلك البلد.
Dalam konteks hajr, jika di negeri itu tidak ada lembaga pendidikan lain untuk menyebarkan ilmu syar‘i kecuali institusi itu, maka jika kita mewajibkan hajr dan memperingatkan (agar menjauhi mereka), niscaya maslahat ilmu akan terhenti di negeri tersebut.
أو أن تدخل في بلد آخر، ترى غالب أئمة المساجد ليسوا على اعتقاد صحيح، فإن ألزمت نفسك بقاعدة الهجر لتعطلت الجمع والجماعات في هذا البلد.
Atau kamu memasuki negeri lain, lalu mendapati bahwa mayoritas imam masjid di sana tidak berada di atas akidah yang benar. Maka jika kamu memaksakan diri dengan kaidah hajr, maka akan rusaklah pelaksanaan salat Jumat dan berjamaah di negeri itu.
وهذا أمر دقيق، في أنك في قضية الهجر، لا تنظر إلى مفسدة الهجر إلى مفسدة البدع، وإنما انظر إلى المصلحة التي ستفوت عند هجرنا لهذا المبتدع.
Ini adalah perkara yang sangat halus, yaitu bahwa dalam masalah hajr (pemboikotan), jangan hanya melihat kerusakan akibat bid‘ah, tapi lihatlah maslahat (kebaikan) yang akan hilang jika kita menghajr pelaku bid‘ah tersebut.
لماذا؟ لأن أهل البدع هم يدعون إلى البدع، لكن هناك مصالح شرعية قائمة بهم، هذا مدرس، وهذا حاكم، وهذا قاض، وهذا من أهل الجهاد، وهذا من أهل النفقة.
Mengapa? Karena para pelaku bid‘ah memang mengajak kepada bid‘ah, tetapi di sisi lain terdapat maslahat-maslahat syar‘i yang bergantung pada mereka. Seperti: ada yang menjadi guru, hakim, qadi, mujahid, dan ada yang dermawan.
بل قد تجد أوقافًا في بعض البلاد، أوقافًا كاملة للمسلمين هو قيّمٌ عليها، أو قيّم على أموال اليتامى، وهو صاحب بدعة.
Bahkan bisa jadi di sebagian negeri, kamu menemukan wakaf-wakaf sepenuhnya dikelola oleh pelaku bid‘ah, atau ia adalah pemegang amanah harta anak-anak yatim—padahal ia pelaku bid‘ah.
فالمسألة هنا تقبل: نُنكر بدعته ونعينه على الواجب، هذا أولًا.
Maka perkaranya harus disikapi dengan seimbang: kita ingkari bid‘ah-nya, namun tetap membantunya dalam kewajiban yang diemban. Ini yang pertama.
ثانيًا: نُحذّر من بدعته ولا نهجره بسبب هذا، بمعنى لا يكون هجرنا له سببًا في تضييع هذا الواجب، الذي لو هجرناه لضاعت مصالح المسلمين ولتعطلت الشرعية.
Yang kedua: kita peringatkan terhadap bid‘ah-nya, tapi kita tidak menghajarnya karena hal itu bisa mengakibatkan gugurnya kewajiban yang sedang ia emban. Sebab jika kita menghajarnya, maslahat kaum muslimin bisa hilang, dan syariat bisa terganggu pelaksanaannya.
هذا فقه دقيق، فقه دقيق.
Ini adalah pemahaman yang sangat mendalam, sangat teliti.
لأن البعض إذا كان المبتدع قائمًا بمصلحة عامة أو شرعية، الناس لهم نظران:
Karena sebagian orang ketika mendapati pelaku bid‘ah sedang menjalankan maslahat umum atau maslahat syar‘i, maka orang-orang terbagi dua pendapat:
طائفة تنظر إلى خطورة بدعته فتقوم بهجره، ولا تلتفت إلى مصلحته.
Kelompok pertama hanya memandang bahaya bid‘ah-nya, lalu langsung menghajarnya tanpa mempertimbangkan maslahat yang sedang ia jalankan.
طائفة أخرى على العكس، لا تنظر إلا إلى مصلحته ولا تلتفت إلى ضرر بدعته.
Kelompok lainnya bersikap sebaliknya, hanya melihat maslahat yang dilakukan oleh pelaku bid‘ah dan tidak mempedulikan bahayanya.
فأي الطائفتين أحق؟ الأولى تنظر إلى خطورة البدعة ولا تلتفت إلى المصلحة القائمة بهذا المبتدع.
Maka di antara dua kelompok itu, manakah yang lebih benar? Kelompok pertama hanya melihat bahaya bid‘ah dan tidak peduli pada maslahat yang melekat pada pelaku bid‘ah.
وطائفة أخرى لا تنظر إلا إلى أن هذا قيّم على الأيتام، تنظر إلى المصلحة القائمة به ولا تلتفت إلى البدعة المضافة إليه.
Sedangkan kelompok kedua hanya melihat bahwa orang ini memegang amanah terhadap anak-anak yatim, dan hanya melihat maslahat tersebut tanpa memperhatikan bid‘ah yang ada padanya.
فأي الفريقين أحق؟ نعم؟ ترصد؟ الأول أستاذ الذي نعم يجمع، يدفع البدع ويحفظ النصيحة، انظر هذا هو تأصيل شيء كبير، يدفع البدعة وينظر ماذا؟ لا سيما...
Maka kelompok manakah yang lebih tepat? Ya? Perhatikan? Kelompok pertama (yang lebih berhati-hati) adalah guru yang mampu menghimpun keduanya: menolak bid‘ah sekaligus menjaga nasihat. Lihatlah—ini adalah fondasi besar: menolak bid‘ah sambil memperhatikan apa?
لا سيما وقد قال ذلك المصنف في بعض كتبه: قال: لا سيما في العصور المتأخرة، لا تجد مبتدعًا إلا وهو قائم بمصلحة، ولا تجد قائمًا بمصلحة إلا وعنده بدعة.
Terutama sekali sebagaimana dikatakan oleh penulis (ulama) dalam sebagian kitabnya: “Terutama di zaman akhir ini, engkau tidak akan menemukan pelaku bid‘ah kecuali ia sedang menjalankan maslahat, dan tidak ada orang yang menjalankan maslahat kecuali ia membawa bid‘ah.”
ولهذا هنا تحتاج إلى الموازنة بالنظر الشرعي الدقيق. نعم. رحمه الله تعالى.
Oleh karena itu, dalam persoalan ini diperlukan keseimbangan dengan pandangan syar‘i yang teliti. Ya. Semoga Allah merahmati beliau.
Hal 6:
Qori:
وكثير من أجوبة الإمام أحمد وغيره من الأئمة خرج على سؤال سائل قد علم المسؤل حاله، أو خرج خطاباً لمعين قد علم حاله؛ فيكون بمنزلة قضايا الأعيان الصادرة عن الرسول - صلى الله عليه وسلم - ، إنما يثبت حكمها في نظيرها.
Banyak jawaban Imam Ahmad rahimahullah dan para imam lainnya diberikan berdasarkan pertanyaan seorang penanya yang telah diketahui keadaannya oleh yang ditanya, atau berupa ucapan yang ditujukan kepada orang tertentu yang keadaannya telah diketahui; maka hal itu seperti kasus-kasus individu yang berasal dari Rasulullah ﷺ, yang hukumnya hanya berlaku untuk yang serupa.
فإن أقواماً جعلوا ذلك عاماً، فاستعملوا من الهجر والإنكار ما لم يؤمروا به؛ فلا يجب ولا يستحب، وربما تركوا به واجبات أو مستحبات وفعلوا به محرمات ،
Namun, sebagian orang menjadikannya umum, lalu mereka menerapkan sikap boikot dan pengingkaran yang tidak diperintahkan; sehingga tidak wajib dan tidak disunnahkan, bahkan bisa jadi mereka meninggalkan kewajiban atau amalan yang disunnahkan, dan melakukan perbuatan yang diharamkan.
وآخرون أعرضوا عن ذلك بالكلية؛ فلم يهجروا ما أمروا بهجره من السيئات البدعية، بل تركوها ترك المعرض لا ترك المنتهي الكاره أو وقعوا فيها،
Sebaliknya, kelompok lain berpaling sepenuhnya dari perkara ini; mereka tidak mengingkari atau memboikot keburukan-keburukan bid‘ah yang diperintahkan untuk ditinggalkan, tetapi mereka meninggalkannya seperti orang yang acuh tak acuh, bukan seperti orang yang benar-benar menjauhi karena membencinya — atau bahkan mereka terjatuh ke dalamnya.
وقد يتركونها ترك المنتهي الكاره، ولا ينهون عنها غيرهم ولا يعاقبون بالهجرة ونحوها من يستحق العقوبة عليها؛
Mereka mungkin saja meninggalkan perbuatan itu karena membencinya dan telah berhenti, namun tidak melarang orang lain darinya, dan tidak memberi hukuman seperti boikot dan sejenisnya kepada orang yang pantas diberi hukuman atas perbuatan tersebut.
فيكونون قد ضيعوا من النهي عن المنكر ما أمروا بهإيجاباً أو استحبابا؛ فهم بين فعل المنكر أو ترك النهي عنه، وذلك فعل ما نهوا عنه وترك ما أمروا به ؛
Maka mereka telah menyia-nyiakan perintah untuk mencegah kemungkaran yang seharusnya mereka lakukan, baik secara wajib maupun dianjurkan; sehingga mereka berada antara melakukan kemungkaran atau meninggalkan pencegahannya, yang berarti melakukan sesuatu yang dilarang dan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan.
فهذا هذا، ودين الله وسط بين الغالي فيه والجافي عنه، والله سبحانه أعلم.
Inilah hakikat perkara tersebut, dan agama Allah berada di tengah antara orang yang berlebihan dalam menjalankannya dan orang yang lalai darinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala Maha Mengetahui.
Syaikh Fathi hafizhahullah mengatakan:
المصنف إذا ذكر الطائفتين: طائفة تلتفت إلى السيئات البدعية، وطائفة تلتفت إلى الواجبات الشرعية، والملخص: الوسطي هو الذي ينظر ماذا؟ إلى هذا وهذا.
Penulis (ulama) ketika menyebut dua kelompok: satu kelompok yang hanya fokus pada keburukan bid‘ah, dan kelompok lain yang hanya memperhatikan kewajiban syar‘i, maka posisi tengah (moderat) adalah yang mempertimbangkan keduanya.
لكن المصنف ذكر فائدة مهمة، وهي: الإمام أحمد رحمه الله كان يُسأل عن بعض الأشخاص، فيقول: لا يُسلَّم عليه، أو يُهجر، أو يُترك، من غير التفات إلى المصلحة القائمة به.
Namun penulis menyebut satu faedah penting, yaitu bahwa Imam Ahmad rahimahullah ketika ditanya tentang sebagian orang, beliau menjawab agar tidak disapa, diboikot, atau diabaikan—tanpa melihat maslahat yang melekat pada orang tersebut.
وهذا يقع كثيرًا، فنرى بعض طلبة العلم يذهب إلى كلام السلف في ذم البدع: لا تُصاحب مبتدعًا، لا تُسلِّم عليه، ثم يأتي فيُنزِّل هذه النصوص والآثار في ذم البدع على كل مخالف في عصره.
Ini sering terjadi. Kita melihat sebagian penuntut ilmu menyandarkan diri pada ucapan salaf dalam mencela bid‘ah—seperti: “jangan berteman dengan pelaku bid‘ah”, “jangan beri salam kepadanya”—lalu ia menerapkan teks-teks celaan tersebut kepada setiap orang yang menyelisihi di zamannya.
فشيخ الإسلام ردّ على هذه الشبهة التي كثرت في زماننا، فماذا يكون؟ يقول: أجوبة الإمام أحمد في بعض الأمور بالهجر القطعي قال: هي من قضايا الأعيان، قضيةُ عينٍ، أي: هو أجاب بجواب يتعلق بواقعةٍ يعلم ما يتعلق ماذا؟ بتفاصيلها وزمانها.
Maka Syaikhul Islam menjawab syubhat yang makin banyak di zaman kita. Bagaimana penjelasannya? Ia berkata: “Jawaban Imam Ahmad mengenai beberapa kasus dengan hajr (pemboikotan) secara total, itu termasuk qadhiyyat ‘ayn (kasus personal), artinya beliau memberi fatwa berdasarkan kasus spesifik yang beliau tahu detil dan waktunya.”
ولا يكون هذا قاعدةً عامة، وإنما القاعدة العامة أن تنظر إلى جهة المفسدة في فعل المبتدع.
Dan itu tidak boleh dijadikan sebagai kaidah umum. Adapun kaidah umumnya adalah: melihat sisi kerusakan (madharat) yang ditimbulkan oleh perbuatan si pelaku bid‘ah.
أن تنظر إلى جهة المفسدة، أي: أن تنظر إلى سيئات البدع، وإلى الواجبات الشرعية التي يقوم بها المبتدع، وهنا أنت بنظر الفقه الدقيق، وربما قد تتقدّم جانب السيئات البدعية.
Melihat dari sisi kerusakan maksudnya adalah menimbang keburukan dari bid‘ah itu, dan pada saat yang sama menilai kewajiban syar‘i yang dilaksanakan oleh pelaku bid‘ah tersebut. Di sinilah engkau dituntut memakai pandangan fikih yang teliti. Mungkin saja, sisi keburukan bid‘ah-nya lebih besar dibandingkan maslahat amalnya.
panjang sekaaaaaaaaaaliiiiiii....sudah ready versi pdf nya inSya Allah dibukukan segera, semoga Allah mudahkan