Jumat, 31 Agustus 2018

Ulama yg sering makan roti sisa

ULAMA YANG SERING MAKAN ROTI SISA DAN ADA BEKAS SARANG LABA-LABA

Ulama dari tanah Yaman, Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah
Yaman belum pernah mendapati seorang seperti beliau selama sejak beratus-ratus tahun. Dahulu hanya bekerja sebagai satpam sebuah bangunan di Makkah. Suatu ketika ia diberi hadiah beberapa buku bekas pelajaran sekolah tentang pelajaran tauhid termasuk pula kitab Fathul Majid. Ia pun tersentuh dengan buku-buku itu.

Lantas ia teringat negerinya, ia pun pulang kemudian mengajarkan manusia tentang tauhid serta mengingkari perbuatan syirik penduduk desanya. Sehingga tak ayal lagi, penduduk desa justru memusuhi beliau dan memaksa dia untuk belajar sekte Syi'ah yang memang berkembang di Yaman, agar akidah tauhid yang suci itu dipaksa hilang dari kepalanya. Akan tetapi beliau kembali ke negeri tanah suci itu sambil membawa semangat belajar ke sana.

Setelah sekian lama belajar, beliau lulus dari Jami'ah Islamiyah Madinah (Universitas Islam Madinah) sambil membawa dua Ijazah. pertama ijazah dari kuliah dakwah dan yang kedua ijazah dari kuliah syari'ah yang mana dia kerjakan secara paruh waktu.
Ia bercerita tentang ijazah syari'ahnya dahulu,
"Aku sangat takut jika waktuku hilang sehingga aku berikrar agar berbekal ilmu sebanyak-banyaknya di Madinah."
Dosen pembimbing tesis magister beliau bertutur,
"Kalau seandainya peraturan kampus memperbolehkan, pasti aku akan memberi Syaikh Muqbil dua tugas tesis sekaligus, yaitu tesis magister dan doktor karena kegigihan dia dan begitu sabarnya dia dalam belajar."

Sering sekali dia memungut sisa-sisa roti jatuh dan membersihkannya dari benang laba-laba dan memakannya demi bertahan hidup. Bahkan terkadang hanya dapat minum air zam-zam supaya tulang rusuknya bisa tegak menuntut ilmu.
Beliau adalah seseorang yang diberikan Allah kelezatan dengan yang namanya Ilmu agama, beliau berkata, "Allah Maha Tahu bahwa aku merasa seperti seorang raja." Lantaran nikmatnya ilmu yang dia cari.

Seorang muridnya yang menceritakan kisah ini berkata,
"Satu kalimat beliau yang sangat membuat kami terkesan adalah ucapannya terhadap para muridnya: 'Tahukah kalian bahwa aku adalah orang yang paling banyak dikaruniai anak, karena kalian semua adalah anak-anakku.'"
Murid-muridnya lebih dari 2000 orang, sedangkan Syaikh sendiri semua anaknya adalah perempuan.

Kejadian Langka Beliau yang Menunjukkan Kejujuran dan Keberanian Beliau
Suatu ketika Presiden Yaman bertanya kepada beliau, "Apakah engkau akan berdoa untukku?"
Syaikh menjawab, "Kadang-kadang."
Maka Presiden berkata, "Maka doakanlah kebaikan untukku."

Ia Mencari Ilmu Bukan Untuk Dunia
Termasuk hal yang unik bahwa Ijazah-ijazahnya semuanya hilang, termasuk ijazah magister, sedangkan beliau tak tahu lagi tentangnya. Dahulu beliau berkata, "Ijazah ini pasti akan hilang juga."

Syaikh Ibn Baaz dan Syaikh Al-Albani banyak memuji keutamaan beliau, bahkan Syaikh Al-Faqih ibnu Utsaimin berkata tentangnnya, "Demi Allah! Bahwa Syaikh Muqbil termasuk imam dari para imam-imam agama!"

Beliau juga selalu bermuhasabah akan dirinya, beliau bertutur, "Ketika uban pertamaku mulai tumbuh, lantas kugenggam janggutku dan berkata: 'Hei Muqbil Apa yang telah engkau sumbangkan kepada islam?'"

Pada sabtu malam tepatnya setelah Maghrib tanggal 15/3/1421 H, beliau menyampaikan pelajaran untuk terakhir kalinya yang mana pada pagi Ahad beliau dilarikan ke rumah sakit, kemudian diterbangkan dari Yaman ke Saudi untuk meneruskan pengobatannya.

Ketika sampai di Saudi, dokter meminta agar di pindahkan ke Amerika mengingat perlengkapan medis di sana yang sangat minim ketika itu. Beliau meminta agar dipulangkan dahulu ke Yaman agar mengucapkan salam kepada keluarganya sebelum safarnya yang jauh.

Setelah dilakukan pengobatan di Amerika, maka alhamdulillah beliau sehat dan kembali ke negeri dan keluarganya serta murid-murid tercinta di Yaman. Ketika disambut di Yaman beliau berkata, "Mungkin bisa jadi tahun depan kalian tak bertemu lagi denganku."
Kemudian beberapa saat kemudian, beliau sakit lagi dan di terbangkan Ke Amerika, namun para dokter mengatakan bahwa keadaannya semakin kritis, kemudian setelah itu beliau kembali ke Saudi dan menulis wasiatnya dan wafat 10 hari setelahnya.

Salah seorang yang mendampingi ketika beliau sakit berkisah, "Ketika kami mendampingi Syaikh, maka seakan-akan kami yang sakit dan Syaikh justru yang menyabarkan akan sakit kami itu."

Beliau dishalatkan di Masjidil Haram Makkah dan dikuburkan di pemakaman Al-‘Adl di samping makam dua sahabat sekaligus ulama kibar di zaman ini; Syaikh Ibn Baaz dan Al-Faqih Ibnu Utsaimin -rahimahumullahu jami'an-.

Seorang putra asli pedalaman Yaman, hidup dalam keadaan yatim, pernah sebagai satpam bangunan, namun Allah mengharumkan namanya karena Ilmu.

Beliau meninggalkan 4 putri dan dua Istri. Dilahirkan pada tahun 1352 H dan wafat di tahun 1422 H di umurnya yang ke-70 tahun.
Sebagian perkataan beliau,

"Siapa saja yang ingin duduk bersama para pendusta besar, maka hendaknya ia baca koran-koran, apabila sedikit saja roti, gula, dan garam berkurang maka mereka langsung mengkafirkan pemerintah. Namun ketika pemerintah memenuhi keinginan mereka, justru bermuka dua sambil memuji-muji: 'Pemimpin kita adalah khalifah yang mendapat Ilham.'"
Juga perkataannya,
"Siapapun yang berusaha menolak sunnah, niscaya dihinakan Allah, dan siapapun yang menjadi musuh terhadap sunnah, janganlah kalian membalasnya, karena Allah pasti yang akan menurunkan azabnya kepada musuh sunnah itu."

Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kepada ruh beliau dan kepada kita semua.

Al-Haram Al-Madani An-Nabawi,
23/1/1436 H
Fauzi Rifaldi, mahasiswa Univ. Islam Madinah
(dengan sedikit perbaikan kalimat)

Copas

Kamis, 30 Agustus 2018

Setial hal yg tidak ada dzikir kepada Allah adalah lahwun

"setiap hal yang tidak ada dzikir kepada Allah adalah lahwun (kesia-siaan) dan permainan belaka, kecuali empat perkara :

1. candaan suami kepada istrinya
2. seorang lelaki yang melatih kudanya
3. Latihan memanah
4. mengajarkan renang"
(Al-Hadits, Shahih)

Abu hanifah jandriadi yasin

Rabu, 29 Agustus 2018

Hasan basri : cara menebus ghibah

قال الحسن البصري : كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

"Cara menebus dosa ghibah adalah dengan memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang yang engkau ghibahi."

(Disebutkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di Majmu' Al-Fatawa 3/291)

Orang yg paling besar dosanya

Orang Yang Paling Besar Dosanya
" إن أعظم الذنوب عند الله رجل تزوج امرأة فلما قضى حاجته منها طلقها و ذهب بمهرها و رجل استعمل رجلا فذهب بأجرته و آخر يقتل دابة عبثا ".
“Orang yang paling besar dosanya di sisi Allah adalah 1) laki-laki yang menikahi seorang wanita namun setelah menggaulinya dia ceraikan isterinya tersebut dan dia tidak mau menyerahkan maharnya 2) seorang yang mempekerjakan orang lain namun tidak mau memberikan upah yang menjadi haknya 3) seorang yang membunuh binatang hanya untuk sekedar main-main” [HR Hakim, hasan]

Ustadz aris munandar mpdi

Selasa, 28 Agustus 2018

Hadist hadist shohih tentang kemiripan anak

Berikut ini hadits-hadits shahih yang berhubungan dengan permasalahan kemiripan anak.

HADITS PERTAMA 
Di dalam shahih muslim, dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

هَلْ تَغْتَسِلُ الْمَرْأَةُ إِذَا احْتَلَمَتْ وَأَبْصَرَتِ الْمَاءَ؟ فَقَالَ: «نَعَمْ» فَقَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ: تَرِبَتْ يَدَاكِ وَأُلَّتْ، قَالَتْ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعِيهَا. وَهَلْ يَكُونُ الشَّبَهُ إِلَّا مِنْ قِبَلِ ذَلِكِ، إِذَا عَلَا مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ، أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَهَا أَشْبَهَ أَعْمَامَهُ»

“Apakah seorang wanita harus mandi jika mimpi dan melihat air? “ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab “Ya”

Aisyah radhiyallahu ‘anha pun berkata “Celaka kamu!”

Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Biarkan dia. Bukankah kemiripan itu berasal dari air mani itu? Jika mani istri lebih lebih mendominasi mani suami maka anaknya akan mirip saudara-saudara ibunya, dan jika mani si suami lebih lebih mendominasi mani istri maka anaknya akan serupa dengan saudara-saudara bapaknya.”

HADITS KEDUA 
Diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

و أما الشَّبَهُ فِي الْوَلَدِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشِيَ الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشَّبَهُ لَهُ وَإِذَا سَبَقَ مَاؤُهَا كَانَ الشَّبَهُ لَهَا

“Adapun kemiripan anak, apabila seorang laki-laki menyetubuhi wanita dan maninya lebih dulu masuk dari mani perempuan maka anaknya akan mirip bapaknya, Apabila mani perempuan lebih dulu masuk lebih dulu dari mani laki-laki maka anaknya akan mirip ibunya,”

HADITS KETIGA 
Dalam riwayat Muslim dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ، وَمَاءُ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ، فَإِذَا اجْتَمَعَا، فَعَلَا مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ، أَذْكَرَا بِإِذْنِ اللهِ، وَإِذَا عَلَا مَنِيُّ الْمَرْأَةِ مَنِيَّ الرَّجُلِ، آنَثَا بِإِذْنِ اللهِ

“Mani laki-laki itu putih dan mani wanita itu kuning. Apabila bertemu dua mani maka apabila mani laki-laki lebih mendominasi mani wanita maka maka anaknya laki-laki seizin Allah ta’ala. Adapun jika mani wanita lebih mendominasi mani laki-laki maka anaknya akan berjenis kelamin perempuan dengan seizin Allah.”

PERTENTANGAN ANTARA LAFAZH HADITS 
Di dalam hadits-hadits ini seolah-olah ada pertentangan.

Pada hadits ‘Aisyah disebutkan,

إِذَا عَلَا مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ، أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ

“Jika mani istri lebih mendominasi mani suami maka anaknya akan mirip saudara-saudara ibunya.”

Pada hadits ‘Anas disebutkan bahwa yang mempengaruhi kemiripan anak justru dari mani siapa yang lebih mendahului,

فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشِيَ الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشَّبَهُ لَهُ

“Apabila seorang laki-laki menyetubuhi wanita dan maninya lebih dulu masuk dari mani perempuan maka anaknya akan mirip bapaknya.”

Sedangkan pada riwayat Tsauban malah sebaliknya, banyaknya mani bukan menyebabkan kemiripan, akan tetapi menyebabkan perbedaan jenis kelamin.

فَعَلَا مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ، أَذْكَرَا بِإِذْنِ اللهِ

“Maka apabila mani laki-laki lebih mendominasi mani wanita maka maka anaknya laki-laki seizin Allah ta’ala.”

PENGUMPULAN MAKNA HADITS 
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul Bari (7/273) berusaha mengumpulkan lafazh-lafazh hadits ini. Beliau berkata,

“Yang nampak adalah apa yang telah aku sampaikan sebelumnya, yaitu dengan menta’wil lafzh “al ‘uluw/mendominasi” pada hadits ‘Aisyah (yaitu dita’wil dengan makna “as sabq/lebih mendahului” sebagaimana di dalam hadits Anas –pent).

Adapun hadits Tsauban maka “al ‘uluw” tetap bermakna “banyak”.

KESIMPULAN 
Dari ucapan Al Hafizh dapat disimpulkan bahwa “lebih mendahului” adalah penyebab jenis kelamin anak, laki-laki atau perempuan, biidznillah. Adapun “banyak atau sedikitnya” mani adalah penyebab kemiripan anak.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa sebab jenis kelamin dan kemiripan anak dibagi menjadi enam:

1. Mani suami masuk lebih dulu dan lebih banyak, maka anaknya laki-laki dan mirip keluarga bapaknya.

2. Mani istri masuk lebih dulu dan lebih banyak, maka anaknya perempuan mirip keluarga ibunya.

3. Mani suami masuk lebih dahulu, tetapi mani istri lebih banyak maka anaknya perempuan dan mirip keluarga bapaknya.

4. Mani istri masuk lebih dulu, tetapi mani suami lebih banyak, maka anaknya laki-laki mirip keluarga ibunya.

5. Mani suami masuk lebih dulu dan jumlahnya sama banyak dengan mani istri, maka anak akan mirip bapaknya tapi jenis kelaminnya tidak tentu, bisa laki-laki bisa perempuan.

6. Mani istri masuk lebih dulu dan jumlahnya sama banyak, maka anaknya akan mirip ibunya tapi jenis kelaminnya tidak tentu, bisa laki-laki bisa perempuan.

Dan semuanya ini tentunya terjadi biidznillah, dengan seizin dari Allah ‘azza wajalla.

MASALAH: BAGAIMANA KALAU TIDAK MIRIP ORANGTUANYA? 

Permasalahan ini sepertinya layak untuk ditambahkan ke dalam pembahasan hadits. Bagaimana jika anak tidak mirip dengan kedua orang tuanya? Tidak mirip bapaknya, demikian juga tidak mirip dengan ibunya?

Di dalam shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

جَاءَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي فَزَارَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ امْرَأَتِي وَلَدَتْ غُلَامًا أَسْوَدَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَمَا أَلْوَانُهَا؟» قَالَ: حُمْرٌ، قَالَ: «هَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ؟» قَالَ: إِنَّ فِيهَا لَوُرْقًا، قَالَ: «فَأَنَّى أَتَاهَا ذَلِكَ؟» قَالَ: عَسَى أَنْ يَكُونَ نَزَعَهُ عِرْقٌ، قَالَ: «وَهَذَا عَسَى أَنْ يَكُونَ نَزَعَهُ عِرْقٌ»،

“Seorang lelaki dari Bani Fazarah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya istriku telah melahirkan seorang anak berkulit hitam.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, “Apakah kamu punya unta?” 

Lelaki itu menjawab, “Ya.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Apa warnanya?” 

Lelaki itu menjawab, “Merah”. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah ada warna abu-abunya?” 

Lelaki tadi menjawab, “Ya, ada warna abu-abunya.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Dari manakah datangnya warna abu-abu itu?” 

Lelaki itu menjawab, “Mungkin karena faktor keturunan (genetis).” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Begitu juga dengan anakmu, mungkin sebab keturunan.” 

Al Imam An Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan,

“Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa anak itu tetap diikutikan kepada sang suami meskipun warna kulitnya berbeda. Sampai-sampai walau bapaknya putih dan anaknya hitam atau sebaliknya. Tidak boleh bagi sang bapak untuk menolak sang anak hanya karena perbedaan warna kulit, meskipun kedua suami istri kulitnya putih, tapi anak yang keluar kulitnya hitam, atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan si anak mewarisi gen dari leluhur-leluhur bapak dan ibunya.”

Jadi mungkin si anak tidak mirip bapaknya, tidak mirip ibunya, akan tetapi mirip dengan kakek-kakeknya atau nenek-neneknya yang terdahulu.

Wallahu ta’ala a’lam.
Disusun oleh Wira Mandiri Bachrun
di Perpustakaan Darul Hadits Syihir – Hadramaut
22 Sya’ban 1434 H – 01/07/2013 M

Fenomena tahdzir cela mencela sesama ahlusunnah dan solusinya

FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUS SUNNAH DAN SOLUSINYA

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Pada masa sekarang ini, ada sebagian ahlussunnah yang sibuk menyerang ahlussunnah lainnya dengan berbagai celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan sikap saling tidak akur.

Padahal mereka saling cinta mencintai dan saling berkasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi ahlussunnah.

Adanya fenomena diatas disebabkan dua hal:
Pertama. Ada sebagian ahlussunnah pada masa sekarang ini yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan ahlussunnah lainnya dan mendiskusikan kesalahan tersebut, baik yang terdapat di dalam tulisan maupun kaset-kaset. Kemudian dengan bekal kesalahan-kesalahan tersebut mereka melakukan tahdzir terhadap ahlussunnah yang menurut mereka melakukan kesalahan.

Salah satu sebab mereka melakukan tahdzir adalah karena ada Ahlussunnah lain yang bekerjasama dengan salah satu yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mengadakan ceramah-ceramah atau seminar-seminar keagamaan. Padahal Syaikh abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah memberikan ceramah kepada pengurus yayasan keagamaan tersebut melalui telepon. Dan kerjasama Ahlussunnah lain dengan yayasan tersebut sebenarnya sudah dinyatakan boleh oleh dua ulama besar itu dengan fatwa.

Oleh karena itu, hendaknya mereka introspeksi terhadap diri mereka terlebih dahulu sebelum menyalahkan dan mencela pendapat orang lain; apalagi tindakan ahlussunnah lain tadi bersumber dari fatwa ulama besar. Anjuran introspeksi diri seperti ini pernah disampaikan oleh sebagian Sahabat Rasulullah setelah dilangsungkannya perjanjian Hudaibiyah. Sebagian sahabat ada yang berkata, “Wahai Manusia, hendaklah kalian mau introspeksi diri agar tidak menggunakan akal kalian dalam masalah agama.”

Amat disayangkan, padahal mereka yang dicela itu telah banyak membantu masyarakat, baik melalui pelajaran-pelajaran yang disampaikan, karya-karya tulis, maupun khotbah-khotbahnya. Mereka di-tahdzir hanya dikarenakan tidak membicarakan tentang si Fulan atau jamaah tertentu. Sayang sekali memang, fenomena cela mencela dan tahdzir ini telah merembet ke negeri Arab. Ada di antara mereka yang terkena musibah ini yang memiliki keilmuan yang luas dan memiliki usaha yang keras dalam menampakkan, menyebarkan dan menyeru kepada Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir terhadap mereka telah menghalangi jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang hendak mengambil manfaat dari mereka, baik dari sisi ilmu maupun ahlak.

Kedua, Ada sebagian Ahlussunnah yang apabila melihat kesalahan Ahlussunnah lain, maka mereka menulis bantahannya, lalu pihak yang dibantah membalas bantahan tersebut dengan bantahan yang serupa. Pada akhirnya kedua belah pihak sibuk membaca tulisan-tulisan pihak lawan atau mendengarkan kaset-kaset, yang lama maupun yang baru, dalam rangka mencari kesalahan dan kejelekkan lawannya, padahal boleh jadi kesalahan-kesalahan tadi hanya disebabkan karena terpeleset lidah. Semua itu mereka kerjakan secara perorangan atau secara berkelompok. Kemudian tiap-tiap pihak berusaha untuk memperbanyak pendukung yang membelanya dan merendahkan pihak lawannya. Kemudian para pendukung di tiap pihak berusaha keras membela pendapat pihak yang didukungnya dan mencela pendapat pihak lawannya. Merekapun memaksa setiap orang yang mereka temui untuk mempunyai sikap yang jelas terhadap orang-orang yang berada di pihak lawan.

Apabila orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka dia pun dianggap masuk sebagai kelompok ahli bid’ah seperti kelompok lawannya. Sikap tersebut biasanya diikuti dengan sikap tidak akur satu pihak dengan pihak lainnya. Tindakan kedua belah pihak serupa dengan itu merupakan pangkal muncul dan tersebarnya konflik pada skala yang lebih luas. Dan keadaan bertambah parah, karena pendukung masing-masing kelompok menyebarkan celaan-celaan tersebut di jaringan internet, sehingga para pemuda ahlussunnah di berbagai negeri, bahkan lintas benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan di website masing-masing pihak. Berita yang disebarkan oleh masing-masing pihak hanyalah berita-berita qila wa qala saja, tidak jelas sumbernya, dan tidak mendatangkan kebaikan sedikit pun, bahkan hanya akan membawa kerusakan dan perpecahan. Sikap yang dilakukan para pendukung masing-masing pihak seperti orang yang bolak balik di papan pengumuman untuk mengetahui berita terbaru yang ditempel. Mereka juga tidak ubahnya seperti supporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Permusuhan, kekacauan dan perselisihan sesama mereka merupakan akibat dari dihasilkan sikap-sikap seperti itu.

Solusi Permasalahan Ini
Ada Beberapa Solusi Yang Bisa Diketengahkan Dalam Permaslahan Ini.

Pertama.
Berkaitan dengan cela mencela dan tahdzir perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

1. Orang-orang yang sibuk mencela ulama dan para penuntut ilmu hendaknya takut kepada Allah subhanahu wa Ta’ala dengan tindakkannya tersebut. Mereka hendaknya lebih menyibukkan diri memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri agar bisa terbebas dari kejelekan orang lain. Mereka hendaknya berusaha menjaga kekalnya kebaikan yang dia miliki. Janganlah mereka mengurangi amal kebaikan mereka walaupun sedikit, yaitu dengan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia cela. Hal itu karena mereka lebih membutuhkan kebaikan tersebut dibanding yang lain pada hari dimana harta dan anak-anak takkan berguna kecuali orang yang datang kepada Allah Ta’ala dengan hati yang selamat. [Maksudnya pada hari kiamat, -pen]

2. Hendaknya mereka berhenti melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu menyibukkan diri memperdalam ilmu yang bermanfaat; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa manfaat dari ilmu tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Hendaknya mereka menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, baik dengan belajar mengajar, berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih membawa kebaikan. Jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti itu, tentu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah mereka sibuk mencela sesama ahlussunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu, karena hal itu akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat keilmuan dari mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk perbuatan-perbuatan yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan cela-mencela seperti itu, setelah mereka meninggal tidak meninggalkan bekas ilmu yang bermanfaat, dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang ilmunya bermanfaat bagi mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka manusia merasa selamat dari keburukan.

3. Para penuntut ilmu dari kalangan ahlussunnah hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan kaset-kaset ceramah para ulama ahlussunnah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsiamin, daripada sibuk menelepon fulan atau si Fulan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Fulan atau Fulan?” atau “Bagaimana komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap si Fulan dan tanggapan si Fulan terhadap si Fulan?”

4. Berkaitan dengan pertanyaan tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang keilmuan, mereka boleh dimintai fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Lembaga Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang mengetahui keadaan mereka, hendaknya mau melayangkan surat kepada pimpinan Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang keadaan mereka untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar sumber penilaian cacat seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan, maka yang mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai rujukan fatwa dalam berbagai permasalahan, juga selayaknya dijadikan sebagai sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil ilmunya. Hendaknya janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya.

Kedua.
Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

1. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya jelas terlihat. Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian diterapkannya.

2. Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.

3. Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.

4. Seorang penuntut ilmu tidak diperbolehkan mengajak orang lain serta memaksanya untuk memilih si Fulan (yang dibantah) atau ikut dia (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya.

Tidak boleh seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai manhaj Ahlussunnah. Dan siapapun tidak diperbolehkan menggelari orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj Ahlussunnah adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak pada anaknya, Syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat sedikit pun bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan saling menghalangi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah. Beliau berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda.

أَوَّلُ جَيْشٍ يَغْزُو الْقَسْطَنْطِيْنِيَةَ مَغْفُوْرَلَهُ

“Pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin akan diampuni dosa-dosanya.”

Dan pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan Abu Ayyub Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut.

Oleh karena itu, selayaknya kita bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap seperti itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Dalam kitab yang sama (III/415), beliau juga berkata, “Sikap seperti itu juga akan memecah belah umat Islam. Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (XX/164), “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figure tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.

Para pendidik tidak boleh mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala.

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]

Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَم الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ

Dia berkata, “Termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.”

Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al ‘Hikam (I/288), beliau berkata, “Hadist ini merupakan landasan penting dalam masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin abu Zaid, salah seorang imam Madzhab Malik pada zamannya, pernah berkata: “Adanya berbagai macam adab kebaikan bercabang dari empat hadist, yaitu hadist Rasulullah:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman dengan Allah Ta’ala dan hari akhirat hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam.”
Lalu hadits:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَم الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ

“Salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”

Lalu hadist Rasulullah yang mengandung wasiatnya yang singkat:

لاَتَغْضَبْ

“Jangan marah,”

Kemudian yang terakhir hadist:

الْمُوْ مِنُ يُحِبُّ لأَِخِيْهِ مَايُحِبُّ

“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”

Saya Berkata : Betapa perlunya para penuntut ilmu dengan adab-adab diatas, karena adab-adab tersebut jelas akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar yang hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan mencerai-beraikan persatuan.

Menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri agar berhenti mengikuti tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi telaah pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk mereka lihat adalah website Fatwa Lajnah Daimah yang sampai kini telah mencapai dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang berisi telaah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]

Read more https://almanhaj.or.id/719-fenomena-tahdzir-cela-mencela-sesama-ahlus-sunnah-dan-solusinya.html

Fonomena tahdzir dan norma normanya

Pendahuluan

Empat belas abad sudah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kita umat Islam. Semakin hari kemurnian ‘ajaran Islam’ semakin keruh akibat tercemar ‘benda-benda asing” (baca: bid’ah dkk.). Ibarat suatu aliran sungai yang telah ribuan kilometer meninggalkan mata airnya; berubah menjadi amat keruh karena telah bercampur dengan sampah-sampah yang dicampakkan ke dalamnya oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab.

Jauh-jauh hari, fenomena ini telah disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« فإنه لا يأتي عليكم يوم أو زمان إلا والذي بعده شر منه حتى تلقوا ربكم »

“Tidaklah datang kepada kalian suatu hari atau suatu zaman melainkan sesudahnya lebih buruk dari sebelumnya, hingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian.” (HR. Ibnu Hibban (XIII/282 no. 5952 -al-Ihsan). Muhaqqiq Shahih Ibn Hibban menshahihkan hadits ini.)

Maka, sudah merupakan suatu hal yang lazim, jika kita kaum muslimin dituntut untuk berusaha memurnikan kembali ‘ajaran agama kita’, dan membersihkannya dari noda-noda yang telah melekat lama di tubuhnya. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan upaya tashfiyah(memurnikan).

Sebelum menyibukkan diri dengan mentarbiyah (mendidik) umat, kita dituntut untuk terlebih dahulu mentashfiyah ajaran yang di atasnya kita akan mendidik umat ini. Jadi, metode yang tepat adalah tashfiyah dulu baru tarbiyah. (Untuk pembahasan lebih luas rujuk: At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fi Isti’nafi al-Hayah al-Islamiyyah, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi.)

Di antara upaya yang dilakukan oleh para ulama untuk meraih kembali beningnya ajaran Islam; mempraktekkan metode tahdzir.

Definisi Tahdzir

Tahdzir adalah: memperingatkan umat dari kesalahan individu atau kelompok dan membantah kesalahan tersebut; dalam rangka menasehati mereka dan mencegah agar umat tidak terjerumus ke dalam kesalahan serupa.

Dalil Disyari’atkannya Tahdzir

Banyak sekali dalil-dalil -baik dari al-Qur’an maupun sunnah- yang menunjukkan akan disyari’atkannya tahdzir, jika dilakukan sesuai dengan norma-norma yang digariskan syari’at.

Di antaranya adalah firman Allah ta’ala,

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran: 104)

Ayat di atas menjelaskan akan disyariatkannya amar ma’ruf nahi munkar, dan para ulama telah menjelaskan bahwa tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahmenerangkan, “Kalaupun dia (ahlul bid’ah tersebut) tidak berhak atau tidak memungkinkan untuk dihukum, maka kita harus menjelaskan bid’ahnya tersebut dan mentahdzir (umat) darinya, sesungguhnya hal ini termasuk bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ al-Fatawa (XXXV/414). Lihat pula: Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani: hal. 109-112)

Senada dengan keterangan Ibnu Taimiyah di atas; penjelasan yang dibawakan oleh Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah.( Lihat: al-Kafiah fi al-Jadal, hal. 20-21)

Di antara dalil disyari’atkannya tahdziradalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله؛ ينفون عنه تحريف الغالين, وانتحال المبطلين, وتأويل الجاهلين »

“Agama ini diemban di setiap zaman oleh para ulama; yang menyisihkan penyimpangan golongan yang ekstrim, jalan orang-orang batil dan ta’wilnya orang-orang yang jahil.” (HR. Al-Khathib al-Baghdady rahimahullah dalam Syaraf Ashab al-Hadits(hal. 65 no. 51) dan yang lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad rahimahullah sebagaimana dalam Syaraf Ashab al-Hadits (hal. 65). Al-’Ala’i rahimahullah dalam Bughyah al-Multamis,hal. 34 berkata, “Hasan shahih gharib”. Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Thariq al-Hijratain, hal. 578 berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari banyak jalan yang saling menguatkan”. Senada dengan perkataan Ibnu al-Qayyim: penjelasan al-Qashthallani dalam Irsyad as-Sari, (I/7). Syaikh Salim al-Hilaly hafizhahullah telah mentakhrij hadits ini secara riwayah dan dirayah dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul fi Tashih Hadits al-’Udul, dan beliau menyimpulkan bahwa derajat hadits ini adalah hasan.)

Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan akan disyari’atkannya tahdzir(Lihat dalil-dalil tersebut dalam kitab: Mauqif Ahl as-Sunnah, karya Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaily hafizhahullah (II/482-488), al-Mahajjah al-Baidha’ karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah(hal. 55-74), ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid syafahullah (hal. 22-29), dan Munazharat A’immah as-Salaf, karya Syaikh Salim al-Hilaly hafizhahullah(hal.14-19)) Bahkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempraktekkan metode tahdzir dalam kehidupannya; entah itu tahdzir terhadap individu maupun tahdzir dari suatu kelompok tertentu.

Di antara contoh praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir suatu individu; tatkala beliau mentahdzir dari ‘nenek moyang’ Khawarij: Abdullah bin Dzi al-Khuwaishirah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إنه سيخرج من ضئضئي هذا قوم يقرؤون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية »

“Akan muncul dari keturunan orang ini; generasi yang rajin membaca al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak melewati kerongkongan (tidak memahami apa yang mereka baca). Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah yang menancap di tubuh buruan lalu melesat keluar dari tubuhnya.” (HR. Ahmad (III/4-5). Para muhaqqiq Musnad (XVII/47) menshahihkan isnadnya. Hadits ini aslinya dalam Bukhari (no. 6933) dan Muslim (II/744 no. 1064))

Adapun praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir dari suatu kelompok yang menyimpang, antara lain tatkala beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammentahdzir umat dari sekte Khawarij dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« شر قتلى قتلوا تحت أديم السماء وخير قتيل من قتلوا كلاب أهل النار »

“Mereka adalah seburuk-buruk orang yang dibunuh di muka bumi. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang terbunuh ketika memerangi anjing-anjing penghuni neraka.” (HR. Ibnu Majah (I/62 no. 176). Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah (I/76) berkata, “Hasan shahih”)

Praktek Para Ulama dalam Menerapkan Metode Tahdzir

Para ulama Ahlus Sunnah telah menjelaskan bahwa mentahdzir dari ahlul bid’ah dan membantah mereka merupakan amalan yang disyari’atkan di dalam agama Islam dalam rangka menjaga kemurnian agama Islam dan menasihati umat agar tidak terjerumus ke dalam kubang bid’ah tersebut.

Di antara keterangan tersebut, perkataan Imam al-Qarafi rahimahullah, “Hendaknya kerusakan dan aib ahlul bid’ah serta pengarang buku-buku yang menyesatkan dibeberkan kepada umat, dan dijelaskan bahwa mereka tidak berada di atas kebenaran; agar orang-orang yang lemah berhati-hati darinya sehingga tidak terjerumus ke dalamnya. Dan semampu mungkin umat dijauhkan dari kerusakan-kerusakan tersebut.” (Al-Furuq, IV/207)

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Mana yang lebih engkau sukai; seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf atau mengkritik ahlul bid’ah? Beliau menjawab, “Kalau dia shalat, puasa dan i’tikaf maka manfaatnya hanya untuk dia sendiri, namun jika dia mengkritik ahlul bid’ah maka manfaatnya bagi kaum muslimin, dan ini lebih afdhal!.” (Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam: XXVIII/231)

Dan masih banyak perkataan-perkataan ulama Ahlus Sunnah yang senada. (Lihat: Mathla’ al-Fajr fi Fiqh az-Zajr bi al-Hajr karya Syaikh Salim al-Hilali (hal. 62-77) dan Ijma’ al-’Ulama’ ‘ala al-Hajr wa at-Tahdzir min Ahl al-Ahwa’, karya Syaikh Khalid azh-Zhufairi, hal. 89-153)

Berikut ini akan kami bawakan beberapa contoh praktek nyata para ulama kita dari dulu sampai sekarang dalam menerapkan metode tahdzir -baik tahdzir terhadap individu maupun terhadap kelompok tertentu-; supaya kita paham betul bahwa metode tahdzir adalah metode yang ashli(orisinil) dan bukan metode bid’ah yang diada-adakan di zaman ini. (Tidak semua tokoh yang kami sebutkan di sini berakidah Ahlus Sunnah dalam setiap permasalahan, namun ada sebagian kecil dari mereka yang berseberangan dengan Ahlus Sunnah dalam berbagai permasalahan. Sengaja mereka kami sebutkan pula, agar umat tahu bahwa metode tahdzir ini juga diterapkan oleh para ahli ilmu di luar lingkaran Ahlus Sunnah, maka amat keliru jikalau Ahlus Sunnah selalu dipojokkan akibat mereka menerapkan metode ini, wallahu a’lam) :

Abdullah bin Umarradhiyallahu’anhuma (wafat thn 73 H)ketika beliau mentahdzir dari sekte Qadariyah dengan perkataannya, “Beritahukanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.” (HR. Muslim, no. 1)Imam al-Bukhari rahimahullah (w. 256 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Jahmiyyah dalam kitabnya: “Khalq Af’al al-’Ibad wa ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah wa Ashab at-Ta’thil.”( Dicetak di Riyadh: Dar Athlas al-Khadhra’, dengan tahqiqDr. Fahd al-Fuhaid)Imam ad-Darimi rahimahullah (w. 280 H) ketika beliau mentahdzir dari Bisyr al-Mirrisi dalam kitabnya: “Naqdh Utsman ad-Darimi ‘ala al-Mirrisi al-Jahmi al-’Anid fima Iftara ‘ala Allah fi at-Tauhid.”( Dicetak di Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan tahqiq Dr. Rasyid al-Alma’i)Imam ad-Daruquthni rahimahullah (w. 385 H) ketika beliau mentahdzir dari ‘Amr bin ‘Ubaid -gembong sekte Mu’tazilah di zamannya- dalam kitabnya “Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab al-Mu’tazili.” (Dicetak di Riyadh; Dar at-Tauhid, dengan tahqiq Muhammad Alu ‘Amir)Imam Abu Nu’aim al-Ashbahanirahimahullah (w. 430 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Rafidhah dalam kitabnya “Al-Imamah wa ar-Radd ‘ala ar-Rafidhah.” (Dicetak di Madinah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, dengan tahqiq Prof. Dr. Ali al-Faqihi)Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah (w. 505 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte al-Bathiniyyah dalam kitabnya “Fadha’ih al-Bathiniyyah.” (Dicetak di Kuwait: Dar al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, dengan tahqiq Abdurrahman Badawi)Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisirahimahullah (w. 620 H) ketika beliau mentahdzir dari Abu al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil -salah seorang tokoh sekte Mu’tazilah- dalam kitabnya “Tahrim an-Nadzar fi Kutub al-Kalam.” (Dicetak di Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, dengan tahqiqAbdurrahman Dimasyqiyyah)Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) ketika beliau mentahdzir dari al-Bakri -salah seorang tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Al-Istighatsah fi ar-Radd ‘ala al-Bakri.” ( Dicetak di Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, dengan tahqiq Dr. Abdullah as-Sahli)Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah (w. 751 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Jahmiyyah dan golongan Mu’athilah dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq al-Mursalah ‘ala al-Jahmiyyah wa al-Mu’athilah.” (Dicetak di Riyadh: Adhwa’ as-Salaf, dengan tahqiq Dr. Ali ad-Dakhilullah)Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah (w. 974 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Rafidhah dan orang-orang Zindiq dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq al-Muhriqah ‘ala Ahl ar-Rafdh wa adh-Dhalal wa az-Zandaqah.” (Dicetak di Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, dengan tahqiq Abdurrahman at-Turki dan Kamil al-Kharrath)Imam Abdul Lathif bin Abdurrahman Alu Syaikh rahimahullah (w. 1292 H)ketika beliau mentahdzir dari Dawud bin Jarjis -salah satu pembesar sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Minhaj at-Ta’sis wa at-Taqdis fi Kasyf Syubuhat Dawud bin Jarjis.” (Dicetak di Riyadh: Dar al-Hidayah)Imam Abu al-Ma’ali al-Alusirahimahullah (w. 1342 H) ketika beliau mentahdzir dari an-Nabhani -salah satu tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Ghayah al-Amani fi ar-Radd ‘ala an-Nabhani.” (Dicetak di Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan ‘inayah ad-Dani Zahwi)Al-’Allamah Abdurrahman as-Sa’dirahimahullah (w. 1376 H) ketika beliau mentahdzir dari Abdullah al-Qashimi -salah satu tokoh yang terpengaruh pemikiran sekuler di zaman itu- dalam kitabnya “Tanzih ad-Din wa Hamalatih wa Rijalih mimma Iftarah al-Qashimi fi Aghlalih.” (Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Jauzi, dengan tahqiq Abdurrahman ar-Rahmah)Al-’Allamah al-Albani rahimahullah (w. 1420 H) ketika beliau mentahdzir dari Hasan Abdul Mannan dalam kitabnya “An-Nashihah bi at-Tahdzir min Takhrib Ibn Abdil Mannan li Kutub al-A’immah ar-Rajiihah wa Tadh’ifih li Mi’aat al-Ahadits ash-Shahihah.” ( Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Qayyim)Al-’Allamah Abdul Muhsin al-’Abbadhafidzahullah ketika beliau mentahdzirdari ar-Rifa’i dan al-Buthi -tokoh-tokoh yang membenci dakwah salafiyah- dalam kitabnya “Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i wa al-Buthi fi Kadzibihima ‘ala Ahl as-Sunnah wa Da’watihima Ila al-Bida’ wa adh-Dhalal.” (Dicetak di Kairo: Dar al-Imam Ahmad)Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid hafidzahullahketika beliau mentahdzir dari Muhammad bin Ali ash-Shabuni -salah satu tokoh sekte Asy’ariyyah abad ini- dalam kitabnya “At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad bi Ali ash-Shabuni fi at-Tafsir.” (Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Jauzi)Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhalihafidzahullah ketika beliau mentahdzirdari Sayyid Quthb -salah satu tokoh pergerakan Islam yang mengusung pemikiran takfiri- dalam kitabnya “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam”( Dicetak di Emirat: Maktabah al-Furqan) dan kitab-kitab beliau lainnya.Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari Hasan as-Segaf -salah satu tokoh sekte Jahmiyah abad ini- dalam kitabnya “Al-Qaul as-Sadid fi ar-Radd ‘ala Man Ankara Taqsim at-Tauhid.” (Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Qayyim)Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilalihafidzahullah ketika beliau mentahdzirdari kelompok-kelompok pergerakan abad ini yang memiliki penyimpangan-penyimpangan, dalam kitabnya “Al-Jama’at al-Islamiyyah fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah bi Fahm Salaf al-Ummah.” (Dicetak di Kairo; Dar al-Imam Ahmad)

Dan masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan contoh praktek nyata para ulama kita -tempo dulu maupun di zaman ini- dalam menerapkan metode tahdzir ini.

Tujuan Tahdzir

Sebagian orang mengira bahwa mentahdzirdari ahlul bid’ah tidak sejalan dengan sifat waro’. Mereka tidak sadar bahwa para ulama Ahlus Sunnah sekaliber Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ibn al-Mubarak, Imam Sufyan ats-Tsauri dan yang lain, mereka juga tidak jemu-jemu untuk senantiasa mentahdzir umat dari ahlul bid’ah. Padahal siapa di antara kita yang tidak mengenal tingginya tingkat ketaqwaan dan derajat kewaro’an mereka?

Barangkali orang-orang tersebut belum mengetahui rahasia besar yang mendorong para ulama kita untuk menerapkan metode ini. Di antara hal-hal yang mendorong penerapan metode ini:

‘Panah beracun’ yang melesat dari bid’ah mengenai secara langsung ke dalam hati dan merusaknya. Jika hati seorang muslim telah rusak maka dampaknya akan sangat besar terhadap lahiriyahnya.Banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengetahui akan keburukan ahlul bid’ah karena mereka menampakkan keshalihan di hadapan umat. Dan ini amat berbahaya bagi kaum muslimin, karena kenyataannya betapa banyak di antara mereka yang terjerumus ke dalam bid’ah gara-gara tertipu dengan ‘penampilan’ pengusungnya.Sedikitnya para ulama yang mengetahui bahaya bid’ah dan perinciannya serta berani dan mampu untuk mengupas penyimpangan ahlul bid’ah dengan terperinci, membongkar syubhat-syubhat mereka dan memberantasnya. Maka budaya tahdzir ini perlu untuk dihidupkan dengan norma-norma yang digariskan oleh agama kita. (Lihat kitab: Mauqif Ahl as-Sunnah: II/493-494 dan Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar: hal. 113-121)

Tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk kasih sayang kepada orang yang keliru dan umat. Memang pahit rasanya bagaikan obat, namun jika kita bersabar untuk ‘menelannya’ niscaya, cepat ataupun lambat, kita akan merasakan manisnya ‘kesehatan’ yang kita dambakan.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa tatkala agama Islam mensyariatkan tahdzir, agama Islam juga telah menggariskan norma-norma tahdzir, agar tidak timbul penerapan tahdzir yang membabi buta yang tidak selaras dengan ajarannya.

Norma-Norma Tahdzir

Tatkala agama Islam telah menjelaskan disyari’atkannya tahdzir, agama kita pun juga telah menjelaskan norma-normanya. Di antara norma-norma tersebut, apa yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah

1. Pengingkaran itu harus dilakukan dengan penuh rasa ikhlas dan niat yang tulus semata-mata dalam rangka membela kebenaran. Di antara konsekwensi ikhlas dalam masalah ini, adalah berharap agar orang yang terjatuh ke dalam kesalahan mendapatkan hidayah dan kembali kepada al-haq. Dan hendaknya pengingkaran tersebut juga diiringi dengan doa kepada Allah agar dia mendapat petunjuk-Nya. Apalagi jika ia termasuk golongan Ahlus Sunnah, ataupun kaum muslimin lainnya. Dahulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendoakan sebagian orang kafir agar mendapatkan petunjuk, bagaimana halnya jika orang yang bersalah berasal dari kaum muslimin yang bertauhid?! (Tentunya dia lebih berhak untuk didoakan).

2. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan oleh seorang alim yang telah mumpuni ilmunya; mengetahui secara detail segala sudut pandang dalam materi bantahan, entah yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at yang menjelaskannya serta keterangan para ulama, maupun tingkat kesalahan lawan, serta sumber munculnya syubhat dalam dirinya, plus mengetahui keterangan-keterangan para ulama yang membantah syubhat tersebut.

Hendaklah orang yang membantah juga memiliki kriteria: kemampuan untuk mengemukakan dalil-dalil yang kuat tatkala menerangkan kebenaran dan mematahkan syubhat. Memiliki ungkapan-ungkapan yang cermat, agar tidak dipahami dari perkataannya kesimpulan yang tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Atau bisa juga tahdzir itu dilakukan oleh thalibul ‘ilm yang menukil perkataan para ulama, dan dia cermat dalam menukil serta memahami apa yang ia nukil.

Jika tidak memenuhi kriteria-kriteria di atas niscaya yang akan timbul adalah kerusakan yang besar.

3. Hendaklah tatkala membantah, ia memperhatikan: perbedaan tingkat kesalahan, perbedaan kedudukan orang yang bersalah baik dalam bidang keagamaan maupun sosial, juga memperhatikan perbedaan motivasi pelanggaran; apakah karena tidak tahu, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau mungkin cara penyampaiannya yang keliru dan salah ucap, atau karena terpengaruh dengan seorang guru dan lingkungan masyarakatnya, atau karena ta’wil, atau karena tujuan-tujuan lain di saat ia melakukan pelanggaran syari’at. Barang siapa yang tidak mencermati atau memperhatikan perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus ke dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian/penyepelean), yang mana ini semua akan berakibat tidak bergunanya perkataan dia atau paling tidak manfaatnya akan menjadi kecil.

4. Hendaklah ia senantiasa berusaha mewujudkan maslahat yang disyariatkan dari bantahan tersebut. Jika bantahan tersebut justru mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyariatkan untuk membantah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan (suatu kaedah penting), “Tidak dibenarkan menghindari kerusakan kecil dengan melakukan kerusakan yang lebih besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian yang ringan dengan melakukan kerugian yang lebih berat. Karena syariat Islam datang dengan tujuan merealisasikan maslahat dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya sedapat mungkin. Pendek kata, jika tidak mungkin untuk memadukan antara dua kebaikan, maka syariat Islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu pula halnya dengan dua kerusakan, jika tidak dapat dihindari kedua-duanya, maka kerusakan terbesarlah yang harus dihindari”. (Al-Masa’il al-Mardiniyah, hal. 63-64).

5. Hendaknya bantahan disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga jika suatu kesalahan hanya muncul di suatu daerah atau sekelompok masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebarluaskan ke daerah lain atau kelompok masyarakat lain yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik penyebarluasan bantahan itu dengan menerbitkan buku, kaset maupun dengan menggunakan media-media lain. Karena menyebarluaskan suatu bantahan atas kesalahan, berarti secara tidak langsung juga menyebarluaskan pula kesalahan tersebut.

Bisa jadi ada orang yang membaca atau mendengar suatu bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, juga tidak merasa puas dengan bantahannya. Jadi, menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan, adalah lebih baik daripada memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendengarkan kebatilan lalu memperdengarkan kepada mereka bantahannya. Para salaf senantiasa mempertimbangkan norma ini dalam bantahan-bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang bertemakan bantahan, tapi di dalamnya mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan al-haq, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa meyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka yang belum dicapai oleh sebagian orang yang hidup di zaman ini.

Pembahasan yang baru saja diutarakan -yang berkaitan dengan menyebarkan bantahan di daerah yang belum terjangkiti kesalahan-, sama halnya dengan pembahasan tentang menyebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di daerah yang sama. Maka tidak seyogyanya menyebarkan bantahan -baik melalui buku maupun kaset- di tengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan tersebut.

Betapa banyak orang awam yang terfitnah dan terjatuh ke kubang keraguan terhadap dasar-dasar agama, akibat membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.

6. Hukum membantah pelaku suatu kesalahan adalah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama yang melaksanakannya, tujuan syariat telah terealisasi dengan bantahan dan peringatan darinya. Maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama yang lain telah gugur. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama dalam pembahasan hukum fardhu kifayah. (Lihat: Nashihah li asy-Syabab (hal. 6-8). Ada beberapa tambahan dari kami atas poin kedua, dan hal tersebut telah disetujui oleh Syaikh Ibrahim. Silahkan merujuk pula: Mauqif Ahl as-Sunnah: II/507-509 dan ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid, hal 53-68 dan 85)

Penutup

Di akhir tulisan ini kami ingin meluruskan beberapa pemahaman keliru yang kerap menjadikan sebagian orang merasa enggan untuk menerapkan metode tahdzir.

Di antara pemahaman yang keliru tersebut:

Pertama: Tahdzir adalah menyebutkan keburukan orang lain, dan ini adalah ghibah. Padahal ghibah jelas keharamannya berdalilkan al-Qur’an, hadits dan ijma’. (Di antara para ulama yang menukil ijma’ akan haramnya ghibah: Imam Ibn Hazm dalam Maratib al-Ijma’ (hal. 156), Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 542) dan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim (VII/380). Sedangkan Imam al-Qurthubi dalam al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, beliau mengatakan bahwa para ulama tidak berbeda pendapat bahwa ghibah adalah termasuk kategori dosa besar)

Jawabnya: Penerapan metode tahdzir dari individu atau kelompok yang memiliki penyimpangan, merupakan salah satu bentuk nasehat yang wajib dilakukan. Dan ini tidak termasuk ghibah yang diharamkan dalam agama Islam.

Imam Ibn Hazm rahimahullah berkata, “Para ulama telah berijma’ akan diharamkannya ghibah, kecuali dalam nasehat yang wajib.” (Lihat: Maratib al-Ijma’, hal. 156)

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ghibah diperbolehkan dalam enam kondisi, di antaranya, “Kondisi keempat: (ghibah diperbolehkan) di saat mentahdzir kaum muslimin dari suatu keburukan, serta ketika menasihati mereka. Dan hal ini ada beberapa macam bentuknya … antara lain: jika seseorang melihat seorang santri berangkat belajar pada ahlul bid’ah atau orang yang fasik dan dia khawatir santri tersebut akan terpengaruh dengan keburukannya, maka hendaknya ia menasihati santri tersebut dengan menjelaskan kepadanya hakikat keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik tersebut, (hal ini dibolehkan) dengan syarat tujuannya adalah untuk nasihat.” (Riyadh ash-Shalihin, hal. 561-562)

Oleh karena itu -sebagaimana telah kita jelaskan di atas- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama sesudah beliau pun menerapkan metode ini. Bukankah mereka juga pasti mengetahui bahwa ghibah haram hukumnya? (Untuk pembahasan lebih luas tentang masalah ini, silahkan merujuk kitab Mauqif Ahl as-Sunnah min Ahl al-Bida’, (II/481-510))

Kedua: Penerapan metode tahdzir akan menimbulkan perpecahan di tubuh umat Islam. Padahal saat ini kita amat butuh untuk bersatu guna melawan musuh-musuh kita.

Jawabnya: Dari beberapa sisi:

1. Selama umat Islam tidak kembali kepada agamanya yang benar, niscaya mereka akan terus menjadi bulan-bulanan musuh mereka. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

« إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلاً لا ينـزعه حتى ترجعوا إلى دينكم »

“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu sistem riba), kalian mengekor hewan ternak kalian, dan terbuai dengan cocok tanam, kemudian kalian meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian, hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, III/477 no. 3462, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, II/365)

Jadi, sekedar menggembar-gemborkan persatuan antar umat, tanpa meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan mengembalikan umat kepada ajaran Islam yang murni, tidak akan bermanfaat untuk mengalahkan musuh.

Kalaupun bersatu dalam jumlah yang banyak, namun persatuan itu hanya ibarat banyaknya buih di lautan. Sebagaimana yang disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

« يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها. فقال قائل: ومن قلة نحن يومئذ؟ قال: بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل »

“Akan tiba saatnya bangsa-bangsa mencaplok kalian, sebagaimana orang-orang yang berebut makanan di dalam nampan. Seseorang bertanya, “Apakah karena saat itu jumlah kita sedikit?”. Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahkan saat itu jumlah kalian banyak, namun kalian bagaikan buih di lautan.” (HR. Abu Dawud (IV/315 no. 4297), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (III/25))

2. Yang kerap menimbulkan perpecahan adalah penerapan metode tahdzir tanpa mengindahkan norma-normanya. Jika ada orang yang menerapkan metode tahdzirtanpa memperhatikan norma-normanya, maka janganlah kita mengingkari metode tahdzirnya; karena metode ini telah disyariatkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat -sebagaimana telah dijelaskan di atas-. Sikap yang benar adalah: kita tetap menerapkan metode ini, namun dengan memperhatikan norma-normanya, sambil berusaha meluruskan pihak yang keliru dalam penerapannya. Jika metode tahdzirtelah dilakukan sesuai dengan norma-normanya insyaAllah tidak akan menimbulkan perpecahan, kecuali dalam satu kondisi yaitu:

3. Orang yang diperingatkan tetap bersikeras dengan kesalahannya. Inilah yang justru menimbulkan perpecahan di dalam tubuh umat. Sudah dijelaskan padanya dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits, serta perkataan-perkataan para ulama yang menerangkan kesalahan dia, namun masih saja ngotot dengan pendapatnya yang keliru; orang-orang model seperti inilah yang seharusnya dikatakan merusak rapatnya barisan kaum muslimin, bukan orang-orang yang berusaha menerapkan metode tahdzir dengan norma-normanya yang benar.

Wallahu taa’la a’lam. Wa shallalllahu’ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alii wa shahbihi ajma’in…

Daftar Pustaka:

Al-Qur’an dan terjemahannya.Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid, ad-Daruquthni.Al-Adzkar, an-Nawawi.Al-Furuq, al-Qarafi.Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibn Hibban, Ibn Balban.Al-Imamah, al-Ashbahani.Al-Istighatsah, Ibn Taimiyah.Al-Jama’at al-Islamiyyah, Salim al-Hilali.Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi.Al-Kafiyah fi al-Jadal, al-Juwaini.Al-Mahajjah al-Baidha’, Rabi’ al-Madkhali.Al-Qaul as-Sadid, Abdurrazaq al-Badr.An-Nashihah, al-Albani.Ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, Bakr Abu Zaid.Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i, Abdul Muhsin al-’Abbad.Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-Haitami.Ash-Shawa’iq al-Mursalah, Ibn al-Qayyim.At-Tahdzir min Mukhtasharat ash-Shabuni, Bakr Abu Zaid.At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah, Ali bin Hasan al-Halabi.Bughyah al-Multamis, al-’Ala’i.Fadha’ih al-Bathiniyyah, al-Ghazali.Ghayah al-Amani, al-Alusi.Ijma’ al-’Ulama, Khalid azh-Zhufairi.Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul, Salim al-Hilali.Irsyad as-Sari, al-Qasthallani.Khalq Af’al al-’Ibad, al-Bukhari.Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.Maratib al-Ijma’, Ibn Hazm.Matha’in Sayyid Quthb, Rabi’ al-Madkhali.Mathla’ al-Fajr, Salim al-Hilali.Mauqif Ahl as-Sunah min Ahl al-Bida’, Ibrahim ar-Ruhaili.Minhaj at-Ta’sis, Abdul Lathif Alu Syaikh.Munazharat A’immah Salaf, Salim al-Hilali.Musnad Ahmad.Naqdh Utsman bin Sa’id, ad-Darimi.Nashihah li asy-Syabab, Ibrahim ar-Ruhaili.Riyadh ash-Shalihin.Shahih al-Bukhari.Shahih Muslim.Shahih Sunan Abi Dawud, al-Albani.Shahih Sunan Ibn Majah, al-Albani.Sittu Durar, Abdul Malik al-Jazairi.Sunan Abi Dawud.Sunan Ibn Majah.Syaraf Ashab al-Hadits, al-Khathib al-Baghdadi.Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Ibn Katsir.Tahrim an-Nazhar, Ibn Qudamah.Tanzih ad-Din, as-Sa’di.Thariq al-Hijratain, Ibn al-Qayyim.

***

Penulis: Abu Abdirrahman Abdullah Zaen

Minggu, 26 Agustus 2018

Khilaf dan ijtihad

🔵BEDA‬ ANTARA KHILAFIYAH DAN IJTIHADIYAH🔴

Catatan: "JANGAN SEDIKIT-SEDIKIT MENGATAKAN KHILLAFIYAH TANPA MEMAHAMAI DGN BENAR APA ITU KHILLAFIYAH.
.
Oleh Ust. Badru Salam, حفظه الله تعالى

Sebagian orang tidak bisa membedakan masalah khilafiyah dan ijtihadiyah.

Masalah khilafiyah adalah masalah yang diperselisihkan.
Sedangkan masalah ijtihadiyah adalah masalah yang tidak ada nash yang sharih (jelas) tidak pula ijma ulama.
.
Yang perlu diingat:

TIDAK SETIAP masalah khilafiyah itu masuk dalam kategori ijtihadiyah.
Tidak setiap yang diperselisihkan DITERIMA PENDAPATNYA. Seperti perselisihan antara ahlussunnah dengan syi’ah. Atau perselisihan ahlussunnah dengan khawarij dan murji’ah.

Karena bila TELAH ADA NASH YANG SHARIH ATAU IJMA ULAMA, pendapat yang menyelisihinya dianggap menyimpang dan sesat.
.
Sedangkan masalah ijtihadiyah maka kita TIDAK BOLEH SALING MEMAKSAKAN PENDAPAT. Apalagi memvonisnya pelakunya sebagai ahlul bid’ah.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Sebagaimana kaum muslimin berbeda pendapat apakah lebih utama tarji’ dalam adzan atau tidak. Apakah lebih utama mengganjilkan iqomah atau menduakan, apakah sholat fajar lebih utama di waktu gelap atau di waktu agak terang, apakah qunut subuh disunnahkan atau tidak, apakah bismillah dibaca dengan keras atau sirr, dan sebagainya.

Ini adalah masalah ijtihadiyah diperselisihkan oleh para ulama terdahulu. Setiap mereka mengakui ijtihad ulama lainnya. Siapa yang benar, ia mendapat dua pahala dan siapa yang telah berijtihad lalu salah, maka kesalahannya dimaafkan.

Ulama yang memandang lebih kuat pendapat Asy Syafi'i tidak mengingkari orang yang menguatkan pendapat Malik.
Siapa yang menguatkan pendapat Ahmad, tidak mengingkari orang yang menguatkan pendapat Asy Syafi'i dan seterusnya."
(Majmu fatawa 20/292)
.
Imam Asy Syathibi berkata:
"Bukan kebiasaan para ulama memutlakkan lafadz bid’ah untuk masalah furu’ (ijtihadi)."
(Al I’tisham 1/208)

Inilah sikap yang benar dalam masalah ijtihadiyah. Adapun masalah khilafiyah maka wajib kita lihat apakah ia termasuk kategori ijtihadiyah atau bukan.

Wallahu a’lam
.
📚 @bbg_alilmu
📝 @ub_cintasunnah
📌 @antibidahclub

Hendaknya seorang punya sahabat 5 sifat

Imam Al Ghazali rahimahullah berpesan dalam kitab beliau Ihyaa 'Uluumuddin 2/362

" Hendaknya seseorang yang ingin engkau jadikan shahabat memiliki lima sifat :
1. Berakal
2. Berakhlaq yang bagus
3. Bukan orang yang fasiq
4. Bukan ahlul bid'ah
5. Bukan orang yang tamak kepada dunia."

Abu asma andre

Imam qotadah : Sebaik baik rezeki

Berkata Al Imam Qatadaah rahimahullah :

" خير الرزق ما لا يطغيك ولا يُلهيك "
" Sebaik baik rezeki adalah yang tidak membuat dirimu berlaku melampaui batas dan tidak menjadi dirimu lalai."

تفسيرالقرطبي ١٣٣١

Fadhilah membaca surat al ikhlas 10 kali

Membaca surat Al-Ikhlas sepuluh kali

Dari Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) حَتَّى يَخْتِمَهَا عَشْرَ مَرَّاتٍ بَنَى اللَّهُ لَهُ قَصْراً فِى الْجَنَّةِ

Siapa yang membaca qul huwallahu ahad sampai ia merampungkannya (surat Al-Ikhlas, pen.) sebanyak sepuluh kali, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Ahmad, 3: 437. Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguat)

 

Diambil dr web rumaysho dot com ustadz muhammad abduh tuasikal

Kiat abdullah bin saba dalam menyebarkan kesesatan

Kiat Abdullah bin Saba’ Dalam Menyebarkan Kesesatan
تاريخ الرسل والملوك (2/ 469، بترقيم الشاملة آليا)
ثم قال لهم بعد ذلك: إنّ عثمان أخذها بغير حقّ، وهذا وصيّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم، فانهضوا في هذا الأمر فحرّكوه، وابدءوا بالطعن على أمرائكم، وأظهروا الأمر بالمعروف، والنهي عن المنكر؛ تستميلوا الناس، وادعوهم إلى هذا الأمر.
Abdullah bin Saba’ memberikan pengarahan kepada para pengikutnya dengan mengatakan, “Sesungguhnya Utsman itu merebut kekuasaan dari Ali secara zhalim. Ali adalah orang yang mendapatkan mandat untuk menggantikan Nabi sebagai kepala negara. Bangkit dan bergeraklah untuk menuntut hal ini.
Mulailah dengan mencela para penguasa dan nampaklah bahwa kalian bermaksud melakukan amar makruf nahi munkar. Dengan cara itu, kalian bisa menarik simpati banyak orang [baca: public]. Baru setelah itu, ajaklah publik untuk mengikuti ajaran kalian” [Tarikh Rusul wa Muluk karya ath Thabari 2/469]

Ustadz aris munandar

Jumat, 24 Agustus 2018

Shalih dan muslih

الوسطية والاعتدال:
*Apa bedanya _shalih_ dengan _mushlih_??*

Oleh Syaikh Shådiq al-Baidhănî حفظه الله

▫Orang yang _shâlih_ itu
خيره لنفسه
Kebaikannya adalah bagi dirinya sendiri.

▫Sedangkan orang yang _mushlih_ (melakukan perbaikan) itu
خيره لنفسه ولغيره
Kebaikannya bagi dirinya sendiri dan juga untuk orang lain.

▪ Orang yang shalih itu,
تحبه الناس
Dicintai orang banyak.

▪Sedangkan orang yang _mushlih_ itu,
تعاديه الناس
Dimusuhi orang banyak

🎯👉🏻 *Kenapa koq bisa demikian* ⁉

🍯👉🏻Karena al-Habîb (kekasih kita) Nabi Shallăllâhu 'alayhi wa salam sebelum _bi'tsah_ (diutus sebagai Rasul) adalah orang yang paling dicintai kaumnya, karena beliau adalah orang yang _shâlih_ (orang yang baik).

🎯👉🏻 Akan tetapi, tatkala Allah _Ta'âlâ_ mengutus beliau sebagai Rasul, maka beliau menjadi _mushlih_ (orang yang melakukan perbaikan), karena itu manusia memusuhi beliau dan menyebut beliau sebagai _tukang sihir, pendusta dan orang gila_.

🎯👉🏻 *apa sebabnya?* ⁉

🎯👉🏻 Karena seorang _mushlih_ itu harus berbenturan dengan kerasnya hawa nafsu orang-orang yang menginginkan untuk melakukan perbaikan dari kerusakan mereka ‼

🎯👉🏻 Karena itulah Lukman Hakim menasehati putera beliau untuk *bersabar* saat memotivasinya untuk berbuat _ishlâh_ (perbaikan), karena ia akan menghadapi permusuhan. Lukman berkata :
_Wahai ananda, tegakkan sholat, perintahkan yang ma'rûf, cegahlah yang mungkar dan bersabarlah atas apa yang menimpamu_ (QS Luqman : 17).

🎁👉🏻 Ulama yang memiliki keutamaan pernah mengatakan :
مصلح واحد أحب إلى الله من آلاف الصالحين
Seorang _mushlih_ itu lebih dicintai Allah daripada ribuan orang yang shalih.

🎯👉🏻 Karena seorang _mushlih_ itu Allah jadikan dirinya sebagai pelindung umat.
🎯👉🏻 Sedangkan seorang yang shalih, ia hanya cukup melindungi dirinya sendiri.

🌹👉🏻 Allah _Azza wa Jalla_ berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :
وما كان ربك ليهلك القرى بظلم وأهلها مصلحون
_Tidaklah Allah akan membinasakan suatu negeri dengan kezhaliman sedangkan penduduknya adalah orang-orang yang mushlih_.  (QS Hůd : 117)
🎯👉🏻 Allah tidak mengatakan : _sedangkan penduduknya adalah orang-orang yang shalih_

🍯👉🏻 Karena itu jadilah orang-orang yang _mushlih_, dan janganlah cukup hanya sekedar menjadi orang yang shalih saja.

🌹🌹 ```Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang shalih lagi mushlih, yang mendapat petunjuk lagi memberikan petunjuk, wahai Rabb pemelihara alam semesta.```
➖➖➖➖➖➖➖➖

Rabu, 22 Agustus 2018

Apa yg menjadi keinginanmu pagi ini

Ustadz Abu asma andre
Apa yang menjadi keinginanmu pagi ini ?

Berkata Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :

إِذَا أَصْبَحَ العَبْدَ وَأَمْسَى وَلَيْسَ هَمَّــہُ إِلَّا اللــہ وَحْدَهُ تَحَمَّلَ اللـــہ كُلُّ حَوَائِجِـــہ وَحَمَلَ عَنْـــہُ كُلُّ مَا أَهَمُّـــہُ وَفَرَّغَ قَلْبَــہُ لِمَحَبَّتِـــہِ وَلِسَانُـــہ لِذَكَرِهِ وَجَوَارِحُــہ لِطَاعَتِــہ
" Apabila seorang hamba ketika memasuki waktu pagi dan sore tidak ada keinginannya melainkan hanya Allah saja, maka akan Allah penuhi semua kebutuhannya, dan Allah wujudkan semua yang menjadi keinginannya, menjadikan hatinya benar benar mencintai Allah, lisannya berdzikir, dan seluruh anggota badannya sibuk menjalankan ketaatan kepada Allah."

الفَوَائِدُ لابـن القيـم ص  83

Rupa orang tidak begitu bagus sebab amalan sholeh jd indah rupanya

Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

فكم مِمَّن لم تكن صورته حَسَنَة وَلَكِن من الْأَعْمَال الصَّالِحَة مَا عظم بِهِ جماله وبهاؤه حَتَّى ظهر ذَلِك على صورته

"Betapa adanya orang yang rupanya tidak begitu bagus, tetapi dengan sebab amalan saleh, agunglah keindahan dan kebaikannya, hingga tampak itu semua pada rupa wajahnya."

--- al-Istiqamah, 1/365

Ustadz hasan al. Jayzi hafidzahullah

Minggu, 19 Agustus 2018

Syaikh utsaimin rahimahullah Tidak butuh berdebat

Tidak butuh berdebat

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata:

" ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل
إلا حرم بركة العلم
لأن غالب من أوتي الجدل
يريد بذلك نصرة قوله فقط
وبذلك يحرم بركة العلم
أما من أراد الحق
فإن الحق سهل قريب
لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة
لأنه واضح ...

"Kebanyakan orang yang suka berdebat itu terhalang dari keberkahan ilmu.
Karena orang yang suka berdebat kebanyakan ingin membela pendapatnya saja.
Oleh karena itu ia terhalang dari keberkahan ilmu.
Adapun orang yang menginginkan alhaq (kebenaran).
Maka alhaq itu mudah dan dekat.
Tidak membutuhkan banyak berdebat.
Karena ia jelas..

Ustad badrusalam lc hafidzahullah