Sabtu, 06 Januari 2024

JENIS-JENIS PERSELISIHAN

JENIS-JENIS PERSELISIHAN 

Syaikh Shalih Al-Fauzan -hafidzahullah- berkata: “Tersisa bagi kita untuk mengetahui hakikat dari ikhtilaf atau perselisihan dalam masalah fiqh. Khilaf/perselisihan terjadi dan ada dalam perkara fiqh sekarang ini. kemudian, apakah hal ini termasuk ikhtilaf yang tercela?

Kita katakan: ikhtilaf terbagi menjadi dua:

JENIS PERTAMA: ikhtilaf dalam agama, seperti ikhtilaf dalam masalah ibadah dan aqidah. ini adalah ikhtilaf yang tercela dan haram; karena agama bukanlah arena untuk berijtihad, bukanlah arena untuk berpendapat, karena agama adalah tauqifi (berhenti pada dalil), dan ibadah bersifat tauqifiyyah, tidak ada tempat untuk berijtihad di dalamnya.

 Wajib bagi kita untuk berpegang dengan apa yang Allah syariatkan kepada kita berupa agama dan aqidah, tanpa mengintervensi dengan pendapat dan ijtihad kita. Demikian juga ibadah, dia bersifat tauqifiyyah: dalil datang kepada kita, maka kita mengamalkannya dan yang tidak ada dalilnya sesungguhnya ia adalah bid’ah wajib untuk ditinggalkan; berdasarkan hadits:

‌مَنْ ‌أَحْدَثَ ‌فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ  فَهُوَ رَدٌّ 

“Barang siapa yang membuat hal baru dalam perkara kami ini yang bukan merupakan bagian darinya maka dia tertolak”
Dan hadits:

وَإِيَّاكُمْ ‌وَمُحْدَثَاتِ ‌الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”

Perkara aqidah, ibadah dan agama secara umum tidak ada tempat untuk perselisihan selamanya!. Hanya ada mengikuti nash-nash dari Al-kitab, sunnah, dan apa yang ditempuh oleh Salaf umat ini.

JENIS KEDUA: ikhtilaf dalam ranah bolehnya berpendapat, atau dibolehkan untuk berijtihad dalam masalah fiqh dan istimbath hukum dari nash/dalil. Dalam hal ini boleh terjadi khilaf padanya karena kecerdasan manusia berbeda-beda dalam istinbath hukum dari nash-nash/dalil-dalil. Perkara ijma sangat terbatas yang tidak boleh diselisihi. Akan tetapi yang bukan ijma dari permasalahan-permasalahan ijihad yang memang merupakan ranah untuk berijtihad maka Allah -jalla wa ‘ala- mengkhususkan kepada setiap ulama berupa kecerdasan dan pemahaman masing-masing dan juga dalil-dali yang sampai kepada mereka masing-masing. Ijtihad disyariatkan dalam hal seperti ini. Dan telah terjadi ijtihad di masa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana telah diketahui. Maka ini adalah ikhtilaf dalam masalah ijtihad, bukan ikhtilaf dalam masalah aqidah dan juga agama, akan tetapi ini adalah ikhtilaf dalam masalah fiqh.  Manusia di jaman Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berijtihad dan berbeda pendapat.

Dan ijtihad jenis kedua ini ada dua macam:

MACAM PERTAMA: adalah macam dimana dalil nampak pada salah satu dari dua pendapat yang berselisih, padanya wajib mengambil pendapat yang berada di atas dalil, dan meninggalkan pendapat yang tidak berada di atas dalil! Maka pendapat para ahli fiqh diuji dengan dalil. Pendapat mana saja yang ditunjuki dalil maka wajib diambil dan meninggalkan pendapat yang menyelisihinya. 

Dan wajib bagi mujtahid yang belum diberikan taufiq kepada pendapat yang benar dan dia menyelisihi dalil untuk menerima haq dan kembali kepada kebenaran. Tidak boleh baginya untuk terus menerus dalam ijtihadnya yang salah. Dan tidak boleh bagi kita mengikuti ijtihadnya yang salah! Seluruh para Imam mewasiatkan hal ini dan mengatakan:

اعرضوا أقوالنا على الكتاب والسنة

“Periksalah pendapat-pendapat kami dengan Al-Kitab dan Sunnah!”

Dan Imam Abu hanifah -rahimahullah- berkata:

إذا جاء الحديث عن الرسول فعلى الرأس والعين فإذا جاء الحديث عن صحابة رسول الله فعلى الرأس والعين و إذا جاء الحديث عن التابعين فنحن رجال وهم رجال.

“Apabila datang hadits dari Rasul maka aku terima dengan senang hati, apabila datang hadits dari sahabat Rasulullah maka aku terima dengan senang hati, dan apabila datang hadits dari tabi’in maka kami dan mereka sama” ini adalah perkataan Imam Abu Hanifah -rahimahullah- Imam madzhab yang empat yang paling terdahulu.

Dan Imam Malik -rahimahullah- berkata:

كلنا راد ومردود إلا صاحب هذا القبر

“Setiap kita bisa menolak dan ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kuburan ini” maksudnya adalah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Ia juga berkata:

أوكلما جاءنا رجل أجدل من رجل، تركنا ما نزل به جبريل على محمد لجدل هؤلاء؟

“Apakah setiap kali datang kepada kita lelaki yang paling pandai berdebat, kita meninggalkan apa yang diturunkan Jibril kepada Muhammad-shallallahu ‘alaihi wasallam- karena lihainya perdebatan mereka?” ini adalah perkataan Imam Malik -rahimahullah-.
Dan dia juga berkata: 

لا يصلح آخرهذه الأمة ما أصلح أولها 

“Tidak akan memperbaiki generasi akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang memperbaiki generasi awalnya.”  Apakah sesuatu yang memperbaiki generasi awal umat ini? Yaitu Al-Kitab dan Sunnah. Ini adalah perkataan Imam Malik rahimahullah-.

Imam Syafi’i rahimahullah- berkata:

أجمع المسلمون على أن من استبانت له سنة رسول الله لم يكن له أن يدعها لقول أحد

“Kaum muslimin telah ijma’ bahwa barang siapa yang jelas baginya Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, tidak boleh baginya meninggalkannya karena mengikuti perkataan seseorang.”
Ia -rahimahullah- juga berkata:

إذا خالف قولي قول رسول الله صلى الله عليه وسلم فاضربوا بقولي عرض الحائط

“Apabila ucapanku menyelisihi ucapan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lemparkanlah ucapanku ke arah tembok.”
Ia -rahimahullah- berkata: 

إذا صح الحديث فهو مذهبي

“Apabila shahih suatu hadits maka ia adalah madzhabku”
Ini adalah perkataan-perkataan Imam Syafi’i -rahimahullah-.

Dan Imam Ahmad -rahimahullah- berkata: “Aku merasa heran dengan suatu kaum yang mengetahui sanad dan keshahihannya, mereka bermadzhab dengan pendapat Imam Sufyan! Padahal Allah -ta’ala- berfirman:

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ 
 
“Hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintahnya berhati-hati dari ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih” QS. An-Nur: 63
Apakah kalian tahu apa itu fitnah? Fitnah adalah kesyirikan, bisa jadi apabila ia menolak sebagian sabdanya -maksudnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- akan timbul dihatinya penyimpangan kemudian dia akan binasa.”

Demikianlah , inilah perkataan para Imam mujtahid, mereka berijtihad dengan ilmu dan dengan keahlian ijtihad. Akan tetapi mereka tidak mengklaim kema’shuman untuk diri mereka sendiri, bahkan mereka mewasiatkan untuk mengambil pendapat mereka yang sesuai dengan dalil. Maka wajib bagi Hanbali apabila melihat dalil bersama Syafi’i untuk mengambil pendapat Syafi’i, dan wajib bagi Syafi’i apabila melihat dalil bersama Hanafi untuk mengambil pendapat Hanafi, dan wajib bagi pengikut Maliki apabila melihat dalil bersama Hanbali untuk mengambil pendapat Hanbali; karena tujuannya adalah mengikuti dalil. Bukanlah sebagai tujuan pendapatnya fulan dan fulan, mereka tidak ta’assub kepada para Imam mereka, akan tetapi ta’assub hanya kepada dalil. Dan perkataan mereka dalam hal ini sudah maklum dalam kitab-kitab mereka.

 Inilah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak fanatik. Akan tetapi maksudnya bukanlah kita menolak madzhab-madzhab dan meninggalkannya, bahkan kita mengambil faidah dari madzhab-madzhab dan fiqh para Imam; karena itu adalah perbendaharaan yang besar, hanya saja kita harus mengikuti dalil. Siapa yang bersamanya dalil kita akan ambil pendapatnya, dan hal ini hukumnya wajib.

Dan orang yang tidak mengetahui dalil ia bertanya kepada ahli ilmu, Allah berfirman:

 فَسۡـَٔلُوٓاْ أَهۡلَ ‌ٱلذِّكۡرِ ‌إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ 
 
 “Dan tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila kalian tidak mengetahui” QS. An-Nahl: 43
Karena engkau ingin melepaskan kewajiban. Apabila engkau mengetahui maka Alhamdulillah, ambilah dalil! Dan apabila engkau tidak mengetahui, maka engkau bertanya kepada ahli ilmu, inilah yang wajib baginya!.

JENIS KEDUA: dari ijtihad fiqh adalah yang tidak ada keunggulan dalil pada salah satu dari dua pendapat. Bahkan kedua pendapat mengandung kemungkinan benar dan salah. Maka jenis ini tidak ada pengingkaran dalam permasalahan ijtihad selama belum rojih (diunggulkan) dengan dalil, maka tidak ada pengingkaran terhadap pendapat manapun, dengan syarat ia tidak ta’assub dan memiliki hawa nafsu, akan tetapi yang diinginkan adalah kebenaran; oleh karena itu Hanbali tidak mengingkari Syafi’i dan Syafi’i tidak mengingkari Hanbali. Keempat Imam dan pengikutnya bersaudara sepanjang jaman, alhamdulillah. Tidak ada permusuhan diantara mereka dan perpecahan. Apabila terjadi hal demikian maka bersumber dari sebagian yang fanatik yang mereka tidak dianggap pada dasarnya. Akan tetapi kebanyakan pengikut empat madzhab -alhamdulillah- tidak ada permusuhan, perpecahan, dan perselisihan.  Mereka saling  menikahkan, sebagian sholat dibelakang lainnya, saling bersaudara, padahal mereka berselisih dalam sebagian masalah ijtihadiyah yang mengandung kemungkinan benar dan salah yang tidak nampak keunggulan sebagiannya atas sebagian lainnya. Dari sinilah keluar kalimat yang populer: “Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihad”

Apabila penduduk negeri bersepakat dengan satu pendapat dari perkara ijtihad yang belum nampak kebenaran pendapat yang menyelisihinya atau menentangnya, mereka bersepakat dalam satu pendapat dari pendapat-pendapat fiqh, maka tidak boleh bagi seorangpun memecah belah kesepakatan mereka, bahkan selayaknya menyepakatinya bukan malah menyelisihi mereka. “ Selesai.

[Syarah Masail Jahiliyyah, Syaikh Sholih Fauzan -hafidzahullah-, hlm (41-46) cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh]

Terjemah: Dika Wahyudi
Jum’at, 17 Jumadal Awal
1 Desember 2023