Minggu, 07 Januari 2024

FAEDAH) KENAPA BANYAK HADITS DHOIF DALAM KITAB-KITAB FIKIH??

‼️(FAEDAH) KENAPA BANYAK HADITS DHOIF DALAM KITAB-KITAB FIKIH??
Oleh : Ahbib Sholih
➖➖➖➖➖➖

🔰 Dalam kitab Hukmu al-'Amali Bi al-Hadits adh-Dhoif Wa Atsaruhu Fii al-Ahkam (Risalah Megister di Universitas Ummul Quro), karya Muhammad bin Ibrohim bin Hasan as-Sa'idi, beliau menjelaskan bahwa hadits dhoif ada dua macam :

🔻 PERTAMA : HADITS DHOIF YANG TIDAK ADA PENGUATNYA. Hadits dhoif jenis ini maka para ulama secara umum ada tiga pendapat, yaitu :

1. Pendapat pertama menyatakan boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam bab hukum ataupun fadhoil a'mal.

2. Pendapat kedua menyatakan boleh diamalkan dalam bab fadhoil a'maal, tapi tidak dalam bab hukum.

3. Pendapat ketiga menyatakan tidak boleh diamalkan secara mutlak. Kebalikan dari pendapat pertama.

Beliau dalam hal ini merajihkan pendapat yang disampaikan oleh Imam an-Nawawi, yang menyatakan bolehnya diamalkan ketika berbicara tentang larangan, sebagai bentuk dari sikap hati-hati. Tetapi larangan yang terkandung dalam hadits dhoif tersebut hanya dihukumi makruh, tidak sampai pada derajat haram. (Lihat penjelasan beliau di "Khotimah", jilid 2 halaman 534).

🔻 KEDUA : HADITS DHOIF YANG DIKUATKAN DENGAN HAL LAIN. Hadits dhoif apabila dikuatkan dengan hal lain, maka hakikatnya hal tersebut tidak mengangkat derajat status hadits tersebut, hanya saja hal itu menguatkan dhonn akan tetapnya hukum yang terkandung.

Apa yang dimaksud dengan "hal lain yang menjadi penguat" dalam masalah ini? Berikut penjelasannya :
➖➖➖➖➖➖➖

🔰 Beberapa hal yang bisa menjadi penguat terhadap hadits dhoif :

1️⃣. MUTABA'AH DAN SYAWAHID.
__________________________________
🔸Menurut istilah, mutaba’at ialah hadis yang didalam riwayatnya bersekutu para perawinya dengan rawi hadis yang menyendiri, baik secara lafadz dan makna atau secara maknanya saja, dan (sanadnya) menyatu pada sahabat. (Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan muta'akhirin).

Dapat pula dikatakan -menurut sebagian ulama-, mutaba’at adalah keikutsertaan seorang perawi dengan perawi lainya pada periwatan hadis, yang mana satu menguatkan yang lainnya.

🔸Adapun pengertian syawahid menurut definisinya dalam ilmu hadis adalah adalah hadis yang sesuai dengan hadis lain dari sahabat yang berbeda dengan menggunakan matan yang menyerupainya dalam hal lafal dan maknanya secara keseluruhan atau dalam maknanya saja.

Dengan kata lain, syahid adalah hadis yang matannya ada kesamaan dengan hadis lain (hadis garīb) dari segi lafal atau maknanya saja, namun sanad sahabat kedua hadis tersebut berbeda.

🔸Tetapi kata Ibnu Hajar, beliau menyatakan bahwa terkadang istilah mutaba'ah dimaksudkan sebagai syahid, begitu juga sebaliknya. Lihat kitab Nuzhah an-Nadhor, hal. 36.

🔸Hadits yang lemah apabila terdapat syawahid atau mutaba'ah maka akan naik derajatnya, minimal menjadi hadits hasan lighoirihi, dan hadits hasan lighoirihi adalah hadits yang bisa diamalkan. Hal seperti ini termasuk pembahasan yang sudah masyhur dan ma'ruf di kalangan pemerhati ilmu hadits.

2️⃣. PENERIMAAN UMAT ISLAM AKAN HADITS TERSEBUT.
__________________________________
🔸Ketika ada sebuah hadits lemah tetapi diterima oleh umat (talaqqothu al-ummatu bi al-qobul), maka hal tersebut menjadi penguat akan kandungan hadits, sehingga bisa diamalkan. 

🔸Lalu apa maksud "Umat menerimanya"? Ada beberapa pendapat :

- Pertama : maksudnya adalah kesepakatan para ulama akan sebuah khobar. Dan ulama tersebut berterus terang akan sandarannya terhadap hadits tersebut.

- Kedua : maksudnya adalah umat ini (dari kalangan ulama) terbagi menjadi dua keolmpok dalam menyikapi hadits itu. Kelompok pertama, terang-terangan dalam menerimanya dan kelompok kedua, melakukan ta'wiil akan hadits tersebut.

- Ketiga : maksudnya adalah hadits yang cabangnya bersifat mutawatir, tapi bersifat ahad pada ashlu (awal sanadnya). As-Sarokhsi berkata, bahwa maksud dari hal ini adalah apabila ada sebuah hadits yang dinukil oleh sejumlah orang, yang terdapat wahm untuk sama-sama berdusta, tetapi kemudian diterima oleh ulama dan juga diamalkan. (Lihat keterangan dalam kitab Ushul as-Sarakhsi, 1/291).

🔸Berikut beberapa nukilan para ulama, yang menunjukkan bahwa hal ini bisa menjadi penguat hadits lemah, sehingga kandungannya bisa diamalkan. Majduddin Ibnu Taimiyah berkata dalam al-Muswaddah,

والقطع بصحة الخبر الذي تلقته الأمة بالقبول أو عملت بموجبه لأجله قول عامة الفقهاء من المالكية ذكره عبد الوهاب والحنفية فيما أظن والشافعية والحنبلية
[مجد الدين بن تيمية ,المسودة في أصول الفقه ,page 241]

🔸Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Istidzkar, ketika berbicara tetang sanad hadits yang berbicara tentang kesucian air laut, beliau menyatakan bahwa ada cela dalam sanadnya, kemudian beliau berkata,

وَهَذَا إِسْنَادٌ وَإِنْ لَمْ يُخْرِجْهُ أَصْحَابُ الصِّحَاحِ فَإِنَّ فُقَهَاءَ الْأَمْصَارِ وَجَمَاعَةً مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ مَاءَ الْبَحْرِ طَهُورٌ بَلْ هُوَ أَصْلٌ عِنْدَهُمْ فِي طَهَارَةِ الْمِيَاهِ الْغَالِبَةِ عَلَى النَّجَاسَاتِ الْمُسْتَهْلِكَةِ لَهَا وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّهُ حَدِيثٌ صَحِيحُ الْمَعْنَى يُتَلَقَّى بِالْقَبُولِ وَالْعَمَلِ الَّذِي هُوَ أَقْوَى مِنَ الْإِسْنَادِ الْمُنْفَرِدِ
[ابن عبد البر، الاستذكار، ١٥٩/١]

🔸Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah ketika menyebutkan tentang hadits talqin mayit setelah dikuburkan, beliau menyatakan bahwa haditsnya dhoif, tetapi tetap bisa diamalkan karena hadits ini telah diterima oleh umat. Dalam kitab ar-Ruh, beliau berkata,

ويروى فِيهِ حَدِيث ضَعِيف ذكره الطبرانى فِي مُعْجَمه من حَدِيث أَبى أُمَامَة قَالَ قَالَ رَسُول الله إِذا مَاتَ أحدكُم فسويتم عَلَيْهِ التُّرَاب فَليقمْ أحدكُم على رَأس قَبره....... إلخ

فَهَذَا الحَدِيث وَإِن لم يثبت فإتصال الْعَمَل بِهِ فِي سَائِر الْأَمْصَار والأعصار من غير انكار كَاف فِي الْعَمَل بِهِ
[ابن القيم، الروح، صفحة ١٣]

🔸Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab an-Nukat Alaa Kitab Muqoddimah Ibnu Abbas, di pembahasan hadits dhoif, beliau menyampaikan bahwa hadits dhoif terkadang bisa diterima dan diamalkan. Beliau berkata,

من جملة صفات القبول التي لم يتعرض لها شيخنا أن يتفق العلماء على العمل بمدلول حديث، فإنه يقبل حتى يجب العمل به.
وقد صرح بذلك جماعة من أئمة1 الأصول.
ومن أمثلته قول الشافعي - رضي الله عنه -: "وما قلت من أنه إذا غير طعم الماء وريحه ولونه يروى عن النبي - صلى الله عليه وسلم -من وجه لا يثبت أهل الحديث مثله1، ولكنه قول العامة لا أعلم بينهم فيه خلافا".
وقال في حديث: "لا وصية لوارث": "لا يثبته أهل العلم بالحديث، ولكن العامة تلقته بالقبول وعملوا به حتى جعلوه ناسخا لآية الوصية للوارث"
[ابن حجر العسقلاني، النكت على كتاب ابن الصلاح لابن حجر، ٤٩٤/١]

🔸Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafrib ar-Rowi berkata ketika menjelaskan tentang hadits dhoif,

وَكَذَا مَا اعْتُضِدَ بِتَلَقِّي الْعُلَمَاءِ لَهُ بِالْقَبُولِ. قَالَ بَعْضُهُمْ: يُحْكَمُ لِلْحَدِيثِ بِالصِّحَّةِ إِذَا تَلَقَّاهُ النَّاسُ بِالْقَبُولِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِسْنَادٌ صَحِيحٌ.
[السيوطي، تدريب الراوي في شرح تقريب النواوي، ٦٦/١]

3️⃣. IJMA' ULAMA
__________________________________
🔸Maksud dari poin ini adalah adanya ijma' ulama yang sesuai dengan kandungan hadits. Dan sebenarnya poin ini turunan dari poin sebelumnya. Di poin sebelumnya dijelaskan bahwa maksud dari "diterima oleh umat" ada beberapa penafsiran, diantara penafsirannya adalah kesepakatan para ulama akan bersandarnya para ulama dengan hadits tersebut. 

🔸Jadi, ketika ada ijma dari para ulama dan kaitannya dengan hadits dhoif, maka ada dua kemungkinan: kemungkinan pertama, para ulama terang-terangan bersandar pada sebuah hadits dhoif tertentu, kemungkinan pertama inilah gambaran dari poin sebelumnya.

Kemungkinan kedua, para ulama bersepakat akan suatu hukum, tapi tidak berterus terang bahwa mereka bersandar dengan hadits dhoif. 

🔸Lalu, apakah ketika ada ijma' tersebut dan ternyata konten ijma'-nya sesuai dengan kandungan dari hadits yang lemah, apakah hal itu menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak lemah, dan dihukumi sebagai hadits shohih? Padahal para ulama itu tidak menyatakan dengan tegas tentang sandarannya terhadap hadits itu.

Maka masalah ini terdapat khilaf yang panjang, dan terdapat lima pendapat. Pendapat yang dikuatkan oleh penulis kitab Hukmul amali bil hadits dhoif adalah pendapat yang menyatakan bahwa ijma' seperti ini tidaklah memberikan faedah akan keshohihahn suatu hadits, baik yang bersifat qoth'i ataupun dhonni. Tetapi makna yang terkandung dalam hadits tersebut dihukumi sebagai makna yang shohih, dimana hal ini diketahui dari adanya ijma' para ulama. 

4️⃣. ADANYA QIYAS YANG BERTEPATAN DENGAN MAKNA HADITS
__________________________________
🔸Apabila ada sebuah hadits yang lemah, kemudian memberikan faedah akan suatu hukum syar'i, kemudian terdapat qiyas yang memberikan faedah hukum yang sama, apakah adanya qiyas seperti ini menguatkan derajat hadits dhoif, sehingga bisa menjadi hujjah?

Jawabannya adalah ada diantara ulama yang menyatakan bahwa hal itu bisa menjadi penguat bagi hadits dhoif, sehingga bisa menjadi hujjah. Diantara yang menyatakan hal tersebut adalah as-Subki (sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Jam' al-Jawami', 2/203), kemudian az-Zarkasyi dalam al-Bahru al-Muhith, 4/410, dan beliau menisbatkan pendapat ini kepada Imam Syafi'i dan kebanyakan ashab-nya (ulama Syafi'iyah), kemudian juga al-Qodhi Abu Bakar, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Suyuthi dari sebagian ulama ushul. Lihat kitab Tadrib ar-Rowi, 1/201.

🔸Biasanya para fuqoha, dalam kebanyakan masail fiqhiyyah, mereka sering kali menyebutkan pendalilan dari hadits dhoif (apabila tidak ditemukan hadits shohih atau hasan) kemudian menyertakan juga dengan dalil qiyas.

🔸Contohnya adalah dalam masalah kadar mengusap khuff (sepatu). Dimana ulama Malikiyyah dan Syafi'iiyyah menyatakan akan kesunnahan mengusap bagian atas khuff dan juga bagian bawahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang lemah, dari Mughiroh bin Syu'bah, bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam mengusap bagian atas khuff-nya dan juga bagian bawahnya. (HR. At-Tirmidzi).

Kemudian mereka juga berdalil dengan qiyas. Para ulama meng-kiyas-kan perbuatan mengusap ini dengan perbuatan mencuci kaki. Sebagaimana bila orang tidak memakai khuff, kemudian berwudhu maka bagian kaki dicuci semuanya, maka begitu juga saat seseorang memakai khuff, maka dianjurkan bagian yang diusap adalah semua bagiannya, bagian atasnya dan juga bawahnya.

5️⃣. MADZHAB SHOHABI ATAU QOUL SHOHABI
__________________________________
🔸Terkait qoul shohabi, maka secara umum ada dua macam. Pertama : qoul shohabi yang tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihinya. Jenis ini bisa menjadi hujjah menurut jumhur ulama.

Kedua : qoul shohabi yang diketahui ada sahabat lain yang menyelisihinya, maka untuk jenis ini semua ulama sepakat bahwa hal itu tidak bisa menjadi hujjah. Lihat keterangan dalam kitab al-Ihkam, 3/195, I'laam al-Muwaqqi'in, 3/119, Kasyfu al-Asror, 3/317, dan al-Bahr al-Muhith, 6/53.

🔸Masalah : Apabila ada sebuah hadits lemah, kemudian terdapat qoul shohabi yang semakna dengan hadits lemah tersebut, apakah qoul shohabi itu bisa menjadi penguat? Sehingga hadits dhoif itu bisa diterima dan diamalkan?

Masalah ini terdapat khilaf, dan yang dirajihkan oleh penulis risalah kitab Hukmul amali bil hadits dhoif adalah merinci, apabila qoul shohabi tersebut berisi sesuatu yang akal tidak boleh ikut campur di dalamnya, maka hadits lemah tersebut bisa dikuatkan. Karena qoul shohabi yang semacam itu marfu' secara hukum, sehingga bisa dikatakan bahwa qoul shohabi semacam ini seperti halnya status syawahid wal mutaba'ah.

Namun apabila ada qoul shohabi dalam perkara yang bersifat ijtihad, kemudian tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihinya, maka beliau menyatakan bahwa hal itu tidak bisa menguatkan hadits yang lemah (dalam arti hadits tersebut benar dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam), walaupun qoul shohabi tersebut secara dzatnya bisa menjadi hujjah.

🔸Contoh pendalilan dengan hadits dhoif kemudian disertai dengan penyebutan atsar dari sahabat : Imam Syafi'i menganjurkan untuk menghidupkan malam hari raya id, baik idul Fitri ataupun Idul Adha, dan beliau berdalil dengan hadits dhoif yang berbunyi, "Barangsiapa yang menghidupkan malam dua hari raya, maka hatinya tidak akan mati di hari dimana banyak hati yang akan mati."

Kemudian beliau menguatkan hal tersebut dengan atsra dari Ibnu Umar, bahwa hal itu (menghidupkan malam hari raya) adalah amalan penduduk kota Madinah. Lihat kitab al-Umm, 1/204.

6️⃣. KAEDAH-KAEDAH FIKIH.
__________________________________
🔸Masalah : Apakah boleh berdalil dengan kaedah fikih dalam sebuah mas'alah? Jawabannya perlu dirinci, karena kaedah fikih itu bermacam-macam :

- Jenis pertama : Apabila kaedah fikih tersebut adalah kaedah yang dinashkan langsung dalam Al-Qur'an atauapun Hadits, maka bisa menjadi dalil. Contoh hadits, "Adh-Dhororu Yuzal." (Suatu kemadhorotan harus dihilangkan) ini merupakan nash hadits, dan juga menjadi kaedah fikih kubro.

- Jenis kedua : Apabila kaedah fikih tersebut adalah hasil istinbath dari dalil-dalil al-Qur'an dan sunnah, maka itu juga bisa menjadi dalil.

- Jenis ketiga : Apabila kaedah fikih tersebut adalah hasil istinbath dari masail-masail fikih yang kemudian digabungkan dengan suatu hubungan. Maka kaedah jenis ini terdapat khilaf, dan penulis kitab Hukmul amali bil hadits dhoif menguatkan pendapat yang menyatakan tidak bisa menjadi dalil.

🔸 Berdasarkan pembagian kaedah-kaedah fikih diatas, maka masalah apakah hadits dhoif bisa dikuatkan dengan kaedah fikih juga perlu dirinci. Apabila kaedah fikihnya termasuk jenis pertama atau kedua, maka bisa menguatkan hadits yang lemah tersebut.

Tetapi apabila kaedah fikih tersebut termasuk jenis yang ketiga, maka tidak bisa menjadi penguat hadits lemah.
➖➖➖➖➖➖

🔰 KESIMPULAN :

⭕ Ini beberapa hal yang bisa menjadi penguat hadits dhoif, atau penguat terhadap hukum yang terkandung dalam sebuah hadits dhoif. 

⭕ Yang penting untuk diketahui adalah manhaj para ulama fikih dalam kitab-kitab induk yang muthowwalat mereka mendahulukan penyebutan hadits dhoif sebelum dalil-dalil yang lain (seperti qiyas, qoul shohabi atau yang lain) walaupun hakekatnya dalil-dalil itu terkadang lebih kuat daripada hadits dhoif itu sendiri. Dan hal ini mereka lakukan karena kemuliaan penisbatannya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

⭕ Adapun kitab-kitab yang tidak termasuk induk, maka terkadang penulisnya hanya mencukupkan dengan penyebutan hadits dhoif, dan seseorang yang ketika belajar fikih hanya mencukupkan diri dengan membaca kitab-kitab jenis seperti ini, biasanya akan menyangka bahwa para fuqoha hanya berdalil dengan hadits lemah semata. 

⭕ Selalu perbanyak telaah kitab-kitab para ulama, sehingga tidak tergesa-gesa dalam menghukumi suatu hal, apalagi sampai menisbatkan suatu cela kepada para ulama kibar.
➖➖➖➖➖➖

Nb : foto di Nakhah al-Wadi, tempat ngeteh atau ngopi di Madinah Munawwarah, bersama temen2 satu angkatan di pondok Imam Bukhori.

Ditulis di :
Madinah Munawwarah, 6 Januari 2024