Senin, 19 Juli 2021

PENJELASAN TATA CARA SHALAT 'ID DI RUMAH

PENJELASAN TATA CARA SHALAT 'ID DI RUMAH 

Setelah Allah ta'ala memberikan kita hidayah untuk beribadah dan meraih berbagai keutamaan di bulan Ramadhan dan juga di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, maka sebagai bentuk syukur kepada Allah kita melaksanakan shalat Id. 

Shalat Id, disebutkan juga shalat 'Idain (dua hari raya), karena di lakukan di hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Shalat Id adalah ibadah yang agung dan merupakan syi'ar Islam yang besar, sehingga Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam memerintahkan kita semua untuk keluar menghadirinya. 

Shalat Id pada asalnya dilakukan di lapangan luas. Namun ketika ada udzur dan ada kesulitan untuk mengerjakannya di lapangan, seperti sedang sakit, terlewat, atau adanya wabah, para ulama membolehkan shalat Id dilakukan di rumah. Berikut ini penjelasan ringkas tentang shalat jika dilakukan di rumah.

Hukum Shalat Id

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Id, menjadi 3 pendapat:

Pertama, shalat Id hukumnya fardhu 'ain. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, juga salah satu pendapat Imam Ahmad. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy Syaukani, Ash Shan'ani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnul Utsaimin. Mereka berdalil dengan ayat:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Shalatlah kepada Rabb-mu dan menyembelihlah” (QS. Al Kautsar: 2).

Dalam ayat ini Allah ta'ala memerintahkan untuk shalat Idul Adha dan menyembelih qurban dengan fi'il amr (kata perintah). Sedangkan hukum asal perintah adalah wajib. 

Demikian juga hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhiallahu’anha :

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نخرج ذوات الخدور يوم العيد قيل فالحيض قال ليشهدن الخير ودعوة المسلمين قال فقالت امرأة يا رسول الله إن لم يكن لإحداهن ثوب كيف تصنع قال تلبسها صاحبتها طائفة من ثوبها

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan wanita yang dipingit (juga wanita yang haid) pada hari Ied, untuk menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin. Kemudian seorang wanita berkata: ‘Wahai Rasulullah jika diantara kami ada yang tidak memiliki pakaian, lalu bagaimana?’. Rasulullah bersabda: ‘Hendaknya temannya memakaikan sebagian pakaiannya‘” (HR. Abu Daud, no.1136. Dishahihkan Al Albani di Shahih Abi Daud).

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan para wanita yang sedang haid dan wanita yang dipingit untuk hadir di lapangan walau mereka tidak ikut shalat Id. Maka bagaimana lagi dengan orang yang tidak sedang haid dan bukan wanita yang dipingit?!

Kedua, shalat Id hukumnya fardhu kifayah. Ini adalah pendapat madzhab Hambali. Dan juga pendapat yang dikuatkan oleh Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta'. Mereka berdalil dengan dalil-dalil pada pendapat pertama, namun yang menunjukkan bahwa kewajiban di sini sifatnya kifayah diantaranya adalah hadits Dhimam bin Tsa’labah radhiallahu’anhu, tentang seorang badui yang bertanya kepada Nabi:

فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ»، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟» قَالَ: «لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ»

“Dia bertanya kepada Nabi tentang Islam. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: shalat 5 waktu sehari-semalam. Orang tadi bertanya lagi: apakah ada lagi shalat yang wajib bagiku? Nabi menjawab: tidak ada, kecuali engkau ingin shalat sunnah” (HR. Bukhari no. 47, Muslim no. 11).

Hadits ini menunjukkan tidak ada shalat yang wajib selain shalat 5 waktu, yaitu kewajiban yang sifatnya fardhu 'ain. Dan mereka membawa perintah untuk shalat yang selain shalat 5 waktu kepada fardhu kifayah.

Ketiga, shalat Id hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu madzhab Syafi'i, Maliki, salah satu pendapat dalam madzhab Hanafi, salah satu pendapat imam Ahmad dan juga ini merupakan pendapat Daud Azh Zhahiri. Diantara dalilnya adalah hadits hadits Dhimam bin Tsa’labah di atas. Juga hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma ia berkata,

لَمَّا بَعَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مُعَاذًا نَحْوَ الْيَمَنِ قَالَ لَهُ « إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ ، فَإِذَا صَلُّوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ ، فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ »

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman, Rasulullah bersabda padanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum Ahlul Kitab. Maka hendaknya yang engkau dakwahkan pertama kali adalah agar mereka mentauhidkan Allah Ta’ala. Jika mereka telah memahami hal tersebut, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mengerjakan itu (shalat), maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka untuk membayar zakat dari harta mereka, diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir. Jika mereka menyetujui hal itu (zakat), maka ambillah zakat harta mereka, namun jauhilah dari harta berharga yang mereka miliki” (HR. Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19).

Dalam hadits ini disebutkan bahwa Allah hanya mewajibkan shalat 5 waktu. 

Wallahu a'lam, yang rajih shalat Id hukumnya fardhu 'ain. Karena Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sampai memerintahkan wanita yang dipingit yang tidak memiliki jilbab untuk keluar menghadirinya. Maka tidak mungkin lelaki atau wanita yang tidak memiliki udzur boleh tinggal di rumah dan tidak menghadiri shalat. 

Adapun pendalilan dengan hadits Dhimam bin Tsa’labah tidak tegas menunjukkan tidak wajibnya shalat Id, karena adanya banyak kemungkinan. Bisa jadi Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda demikian karena tahu orang badui tersebut belum terpenuhi syarat-syarat wajib dari amalan wajib yang lain, bisa jadi itu disabdakan oleh beliau ketika belum turunnya kewajiban-kewajiban lain yang tidak disebutkan dalam hadits, dan kemungkinan lainnya (Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Ibnu Al Utsaimin, 14/337). Sedangkan kaidah ushuliyyah mengatakan, “jika dalam suatu pendalilan terdapat banyak kemungkinan, maka batal pendalilannya”.

Namun kewajiban shalat Id gugur ketika ada udzur seperti dalam kondisi sakit, safar, adanya wabah. Sebagaimana kaidah fikih: “kewajiban bergantung pada adanya kemampuan”.

Hukum Shalat Id Di Rumah

Orang yang tidak bisa menghadiri shalat Id berjama'ah di lapangan karena suatu udzur atau orang yang terlewat darinya, disunnahkan untuk melaksanakannya di rumah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu pendapat madzhab Syafi'i, Hambali dan Maliki. 

Dalilnya sebagaimana disebutkan Imam Al Bukhari dalam Shahih Al Bukhari:

باب: إذا فاتته صلاة العيد يصلي ركعتين، وكذلك النساء ومن كان في البيوت والقرى لقول النبي صلى الله عليه وسلم: "هذا عيدنا أهل الإسلام"، وأمر أنس بن مالك مولاه ابن أبي عتبة بالزاوية فجمع أهله وبنيه وصلى كصلاة أهل المصر وتكبيرهم. وقال عكرمة: أهل السواد يجتمعون في العيد يصلون ركعتين كما يصنع الإمام. وقال عطاء: إذا فاته العيد صلى ركعتين

"Bab: jika seseorang terlewat shalat Id, maka ia shalat dua raka'at. Demikian juga para wanita dan orang yang ada di rumah serta di pedalaman. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam: “ini adalah Id orang Islam”. Dan Anas bin Malik memerintahkan pembantunya (shalat dua raka'at), yaitu Ibnu Abi Utbah untuk menjadi imam, ketika berada di Zawiyah. Dan beliau mengumpulkan istrinya dan anak-anaknya, dan beliau shalat seperti shalat Id yang dikerjakan penduduk kota (yang tidak sedang safar) dan dengan cara takbir yang sama.

Ikrimah berkata: ahlus sawad (orang yang tinggal di pedalaman gurun) di hari Id mereka mengumpulkan keluarganya lalu shalat 2 rakaat sebagaimana shalat yang diadakan oleh imam (ulil amri)

Atha' berkata: jika seseorang tertinggal shalat Id, maka ia shalat 2 rakaat" [selesai nukilan dari Shahih Bukhari].

Dalam atsar ini disebutkan Anas bin Malik radhiallahu'anhu mengumpulkan keluarganya untuk mengerjakan shalat Id berjama'ah di rumah, ketika beliau sedang safar di tempat bernama Zawiyah. Ini menunjukkan disyariatkannya shalat Id di rumah secara berjama'ah ketika tidak bisa menghadiri shalat Id di lapangan. Jika dikerjakan secara berjama'ah, maka posisi imam dan makmum sama seperti pada shalat berjama'ah yang lainnya.

Namun shalat Id di rumah itu boleh dikerjakan sendiri-sendiri, tidak harus berjama'ah. Ibnu Qudamah rahimahullah setelah membawakan atsar dari Anas bin Malik di atas, beliau menjelaskan:

وفكان على صفتها، كسائر الصلوات، وهو مخير، إن شاء صلاها وحده، وإن شاء في جماعة. 

“(shalat Id di rumah) caranya sebagaimana shalat-shalat yang lainnya. Dan seseorang boleh memilih. Jika ia ingin, boleh shalat sendirian. Jika ia ingin, boleh shalat secara berjama'ah” (Al Mughni, 2/289).

Al Muzanni Asy Syafi'i rahimahullah mengatakan:

ويصلي العيدين المنفرد في بيته ، والمسافر ، والعبد ، والمرأة

"Disyariatkan shalat Id sendirian di rumah bagi musafir, budak dan wanita" (Mukhtashar Al Umm, 8/125).

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56689-tata-cara-shalat-id-di-rumah.html

Semoga bermanfaat.

Kunjungi juga website kami: https://kangaswad.wordpress.com
Join channel telegram @fawaid_kangaswad
https://t.me/fawaid_kangaswad